Oleh Dr. Zul Akrial, S.H. M. Hum.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru)
Dalam
pengertian substantif, hukum pidana dihadapkan pada tiga persoalan pokok, yaitu
menyangkut masalah perbuatan pidana (tindak pidana/kejahatan/delik),
pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan.
Dari ketiga
persoalan tersebut, maka yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah
menyangkut masalah pidana dan pemidanaan.
Ancaman
pidana yang dicantumkan pada tiap-tiap delik pada hakekatnya adalah
menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan/delik yang bersangkutan.
Artinya bahwa suatu perbuatan yang diancamkan dengan pidana penjara 2 tahun
akan lebih atau setidak-tidaknya dipandang lebih tercela dibandingkan dengan
perbuatan lain yang diancamkan dengan pidana penjara 1 tahun, misalnya.
Demikian pula halnya dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana seumur
hidup.
Di dalam
Pasal 10 KUHP diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana
pokok (pidana mati[1],
pidana penjara[2],
pidana kurungan dan pidana denda)[3]; dan
pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan
barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut
berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1) Pidana
penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana
penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana
penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun
berturut-turut dalam kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana
mati, pidana seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu, begitu juga dalam
hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan
(residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N 1958 No.
127).
Pidana
penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan.
Bentuk pidana penjara dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana
kehilangan kemerdekaan. Dahulu kala, pidana penjara tidak dikenal di Indonesia
(hukum adat), yang dikenal ialah pidana pembuangan.
Pidana dan
pemidanaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak begitu banyak yang
memberikan sorotan, dan bahkan terkesan sebagai “anak tiri”. Ilmu pengetahuan
hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini masih banyak membicarakan
masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. Pembahasan
tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak
dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum
serasi[4].
Masalah
pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga
pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan
pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak
dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana
yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana.
Pidana
penjara yang merampas kemerdekaan manusia patut sekali mendapat perhatian. Di
satu pihak terdapat persentase yang tinggi dari putusan hakim pengadilan yang
menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, di pihak lain dalam pelaksanaannya
hal itu menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta kedudukannya
sebagai warga negara atau penduduk Negara Republik Indonesia.
Fungsi
pidana sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan melalui rentetan
sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu
cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan,
berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya
dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan, terus
berubah dan berkembang ke arah fungsi pidana (khususnya pidana penjara) sebagai
wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Dalam rangka
ini, bertolak dari ide dasar Dr. Suharjo, SH., pada saat penerimaan gelar
Doktor honoris causa pada tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan ide
pembaharuan sistem pidana penjara. Menurut Suhardjo, tujuan dari pidana penjara
adalah di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena hilangnya
kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya agar
ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan
pemenjaraan yang demikian itu secara singkat disebut dengan pemasyarakatan.
Dari rumusan
tujuan pemidanaan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ide Suhardjo
menganut sistem campuran antara penjeraan (deterrent) dan reformasi
terpidana. Tujuannya ada dua yaitu mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat,
dan membimbing terpidana sehingga dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang
berguna.
Ide Suhardjo
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konferensi Direktur Penjara seluruh
Indonesia pada tanggal 27 April 1964 di Lembang, Bandung.
Pada
konperensi itulah dimulai tekad untuk memperbaiki sistem pembinaan narapidana
dan anak didik. Sistem lama yang berdasarkan Reglement Kepenjaraan warisan
kolonial Belanda diganti dengan sistem pembinaan berlandaskan Pancasila dan UUD
1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
Permumusan Masalah
Dari uraian
di atas, dapat penulis rumuskan yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini
yaitu “bagaimanakah eksistensi pidana seumur hidup dikaitkan dengan sistem
pemasyarakatan ?”
Pembahasan
Pidana
merupakan suatu alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Pidana bukan merupakan
tujuan dan memang tidak mungkin menjadi tujuan. Yang mempunyai tujuan di sini
justru adalah pemidanaan itu sendiri[5].
Tujuan
pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin menjurus
ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah
pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan
atau yang menjadi korban kejahatan. Tujuan pemidanaan seperti ini adalah
bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman
modern ini. Unsur-unsur primitif dari hukum pidana yang demikian itu sukar
untuk dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno yaitu penghapusan dosa (expiation)
atau retribusi (retribution) yaitu melepaskan pelanggar hukum dari
perbuatan jahat atau menciptaskan balance antara yang hak dan yang
bathil.
Berkaitan
dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk
membenarkan penjatuhan pidana yaitu :
1.
Teori absolut/teori pembalasan (vergeldingstheorien)
2.
Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)
3.
Teori gabungan (verenigingstheorien)
Teori pertama
muncul pada akhir abad ke-18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant,
Herbert, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada
filsafat Katolik.
Teori
pembalasan mengatakan, bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang
praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung
unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara multak ada, karena
dilakukannya kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan
pidana itu. Setiap kejahatan berakibat dijatuhkannya pidana pada si pelaku. Oleh
karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu
keharusan. Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan.
Teori
tentang tujuan pemidanaan yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini
mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaraan tertib masyarakat dan
akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi/pencegahan terjadinya
kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, antara lain adalah berupa menakutkan,
memperbaiki atau membinasakan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi
khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang lain pada umumnya tidak
melakukan delik.
Bentuk
tertua dari prevensi umum dipraktekan sampai revolusi Perancis. Prevensi umum
dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana
yang dipertontonkan di depan khalayak ramai.
Kadang-kadang
pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum
dengan sangat ganasnya, dengan tujuan supaya anggota masyarakat ngeri
melihatnya. Untuk itu terkenal suatu adagium Latin yang berbunyi “nemo
prudents punit, quia peccatum, sed net peccetur” (supaya khalayak ramai
betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan
pelaksanaannya di depan umum).
Pada zaman
Aufklarung abad ke-18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara
besar-besaran. Terutama oleh Baccaria dalam bukunya Dei Delliti e delle
pene.
Keberatan
terhadap prevensi umum ini adalah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk
maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah
dipidana, dipergunakan untuk maksud prevensi umum tersebut.
Sebaliknya,
prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Lizt (Jerman)
mengatakan, bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader)
bertujuan mencegah bakal pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal
pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Maksud
prevensi khusus dari suatu pemidanaan adalah :
1.
Bahwa pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya
mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat
buruknya.
2.
Dengan pemidanaan harus mempunyai unsur memperbaiki
terpidana.
3.
Pemidanaan mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak
mungkin diperbaiki lagi, seperti dengan pidana mati.
4.
Tujuan satu-satunya suatu pemidanaan adalah mempertahankan
tata tertib hukum.
Kemudian
teori ketiga yaitu gabungan antara pembalasan dan prevensi/pencegahan
terdapat beberapa variasi. Ada yang menitik beratkan pada pembalasan, dan ada
pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
Yang pertama
yaitu menitikberatkan pada unsur pembalasan yang antara lain dianut oleh Pompe,
yang mengatakan bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan”.
Sedangkan
teori gabungan yang kedua yaitu yang menitik beratkan pada pertahanan tata
tertib masyarakat. Menurut teori ini, bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh
lebih berat dari pada akibat yang ditimbulkan dan gunanya juga tidak boleh
lebih besar dari pada yang seharusnya.
Dalam
Rancangan KUHP Nasional, Pasal 47 diatur masalah tujuan pemidanaan yaitu:
(1) Pemidanaan
bertujuan untuk:
Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Ke-2 Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
Ke-3 Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
(2) Pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan
martabat manusia.
Bertitik
tolak dari ketentuan Rancangan KUHP di atas, maka dapat dikatakan, bahwa
substansi dalam ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari teori gabungan
dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamaian dalam
masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiation).
Dewasa ini
sudah tidak ada lagi penganut teori pembalasan (absolut) yang klasik dalam arti
bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Menurut Sudarto,
kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai teori
pembalasan modern.
Dari apa
yang diuraikan di atas, inilah agaknya menjadi pertimbangan dalam konsiderans
dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan,
“bahwa sistem pemasyarakatan adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang
bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki
diri dan tidak mengulangi tidak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh
lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup
secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Lebih lanjut
dalam penjelasan umumnya dinyatakan “Sistem kepenjaraan yang sangat menekankan
pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga ‘rumah
penjara’ secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang
tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar
narapidana menyadari kesalahannya dan kembali menjadi warga masyarakat yang
bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya”.
Sejak tahun
1964, sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara
mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu
pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara
berubah menjadi Lembaga
Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat
Pemasyarakatan Nomor J.H.G. 8/506 tanggal 17 Juni 1964 yang pada akhirnya diundangkan
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Sebagai
implementasi dari perubahan sistem tersebut mengakibatkan pada perubahan
pengaturan hak-hak narapidana yaitu seperti tecantum dalam Pasal 14
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menetapkan, bahwa narapidana berhak:
a.
Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b.
mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.
Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.
Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.
Menyampaikan keluhan;
f.
Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti mass media lainnya
yang tidak dilarang;
g.
Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang
dilakukannya;
h.
Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang
tertentu lainnya;
i.
Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
j.
Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti
mengunjungi keluarga;
k.
Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.
Mendapatkan cuti menjelang bebas;
m. Mendapatkan
hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan
dengan Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah tempat melakukan proses pembinaan
narapidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, menurut Mulder “Bahwa
pidana merampas kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah
sementara. Terpidana akhirnya tetap diantara kita”.
Apa yang
diuraikan di atas dapat pula dilihat dari perspektif teori relativitas, bahwa
tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat
dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama
sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri. Berkaitan
dengan perspektif teori relativitas ini, menarik untuk disimak apa yang ditulis
oleh Habib Ur Rahman Khan “Bahwa apabila kejahatan dipandang sebagai produk
masyarakat, maka masyarakatlah yang justru membutuhkan perawatan/pembinaan
bukan si penjahat”.
Secara
manusiawi, terdapat kecenderungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur
hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi akan berbuat semaunya di dalam
Lembaga Pemasyarakatan, karena dia berpikir bagaimanapun juga ia melakukan
perbuatan-perbuatan yang baik, toh juga tidak akan mengalami perubahan pidana,
tetap pidana seumur hidup. Sehingga jika ditilik dari sudut ini, maka ide
pemasyarakatan akan mengalami kerancuan berhadapan dengan terpidana seumur
hidup.
PENUTUP
Secara umum,
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tidak sedikitpun
menggambarkan perlakuan terhadap narapidana seumur hidup. Dan jika sistem
pemasyarakatan yang menekankan pada pembinaan dalam rangka resosialisasi,
reeduksi, rehabilitasi maupun readaptasi terhadap para narapidana, maka
narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak
mendapat kesempatan untuk berasimilasi secara total dengan masyarakat.
Dengan
demikian jelas pidana ini, justru tidak menunjukan relevansi jika dihubungkan
dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pemidanaan.
Oleh karena
itu, adalah sangat beralasan sekali jika muncul pandangan yang keberatan
terhadap pidana seumur hidup, yaitu jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan
yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang
berguna, dapat menyadari kesalahannya, dan kelak setelah melalui proses
pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat kembali hidup di tengah-tengah
masyarakat.
Mencermati
pidana positif yang mengatur masalah pidana seumur hidup, dalam hal ini harus
dikaitkan dengan pemidanaan, dalam arti bahwa pemidanaan itu adalah bertujuan
untuk pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari
masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti yang dilakukan
oleh terpidana. Atas dasar itu, maka dapat dikatakan tidak terdapat titik temu
antara perumusan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif dengan keberadaan
dari terpidana yang dipidana dengan pidana sumur hidup dalam praktek
penyelenggaraan hukum pidana.
Dengan
demikian, kiranya perlu dilakukan reformasi terhadap eksistensi dari lembaga
pidana seumur hidup, yaitu seperti dengan memperlunak kebijakan pidana seumur
hidup menjadi pidana seumur hidup bersyarat. Sehingga pengertian pidana seumur
hidup tidak lagi bersifat absolut, melainkan pidana ini dapat berobah menjadi
pidana penjara sementara sesuai dengan perkembangan perilaku selama pembinaan.
Daftar Rujukan
Andi Hamzah.
1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita.
Cetakan Kedua.
Barda Nawawi
Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya
Bakti. Cetakan Kesatu.
------------------------.
1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana.
Bandung : Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama.
Bambang
Purnomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan.
Yogyakarta: Liberty. Cetakan Pertama.
Jimly
Asshiddiqie. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang
Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Figh dan Relevansinya Bagi Usaha
Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung : Angkasa. Cetakan Pertama.
Moeljanto.
1982. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Jakarta : Bina Aksara.
------------.
1987. Azaz-azaz Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. Cetakan Pertama.
Muladi dan
Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni. Cetakan
Kedua.
Soedjono
Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Azaz-azaz Penologi (Pemasyarakatan).
Bandung : Armico. Cetakan Pertama.
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
[1]
Masalah pidana mati dalam hukum Islam, baca Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1998 !
[2]
Secara Panjang lebar masalah ini baca, Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana
Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986 !
[3]
Lihat lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Angkasa, 1995, dan Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem
Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996 !
[4]
Lihat Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem
Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986, hal. 1.
[5]
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1988,
hal. 49.