Oleh
Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Penulis adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru)
Pemadaman
listrik secara tiba-tiba yang dilakukan oleh pihak PLN, bagi konsumen, sudah
menjadi suatu hal yang lazim terjadi dan dirasakan. Keluhan konsumen terhadap
pelayanan PLN pun sudah tak terhitung lagi. Namun konsumen tidak dapat berbuat
apa-apa dan menerima saja kerugian akibat layanan PLN yang tidak memadai itu.
Sebaliknya, jika konsumen terlambat memenuhi kewajibannya, PLN langsung
memberikan denda. Manakala konsumen tidak juga nongol ke loket
pembayaran untuk melunasi kewajiban plus denda sebagai akibat dari
keterlambatan pembayaran, dalam kurun waktu beberapa bulan, tanpa ba-bi-bu PLN
pun langsung memutuskan aliran listrik. Inilah citra buruk dari PLN kita selama
ini.
Dikatakan buruk
dalam hal ini, karena pihak PLN tak pernah mengajukan pertanyaan: mengapa dan
apa latar belakang sehingga konsumen terlambat membayar dan malah menunggak
melakukan pembayaran ? Tidak pernah sama sekali pertanyaan seperti ini diajukan
kepada pihak konsumen. Yang diterapkan oleh PLN selama ini terhadap konsumen
justru adalah konsep “hitam putih”, yaitu jika melewati batas ketentuan
waktu pembayaran, maka konsumen akan dikenai denda. Titik. Jika beberapa bulan
konsumen tidak juga melunasi tunggakannya, maka dilakukan pemutusan hubungan
aliran listrik ke rumah konsumen. Titik. Tanpa basa basi, tanpa ada toleransi
dan tanpa harus membandingkan dengan tingkat layanan yang diberikannya. Dari
sisi hukum, inilah yang dinamakan dengan kepastian hukum.
Kepastian hukum
mengajarkan kepada kita: jika menurut ketentuan hukum “merah”, ya merahlah yang
musti dan harus diterapkan oleh aparat pelaksana. Lima ribu denda keterlambatan menurut
ketentuan hukum, maka lima
ribu itulah yang harus ditagih oleh petugas pelaksana, tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang. Konsep kepastian hukum inilah yang selama ini diterapkan
oleh PLN. Namun dibalik konsep kepastian hukum ada nilai keadilan. Dan
kelihatannya nilai keadilan inilah yang tidak terlihat dalam hubungan ini.
Namun tidak
demikian halnya jika kita bertolak dari sisi keadilan. Jeritan konsumen tentu
juga ikut mendapat pertimbangan, terutama menyangkut latar belakang mengapa si
konsumen itu tidak membayar sewa listriknya. Karena begitu beragamnya konsumen
terutama menyangkut dengan pendapatan/penghasilan, maka tentu tidak dapat
disamaratakan dengan begitu saja nilai pengenaan dendanya. Sama halnya dengan
ketentuan hukum pidana, misalnya Pasal 362 KUHP yang memberi sanksi 5 tahun
bagi kejahatan pencurian. Namun dalam tataran praktek ternyata tidak setiap
pencuri lalu dihukum 5 tahun penjara semuanya. Karena tidak semua pencuri
mempunyai latar belakang dan modus operandi yang sama dalam melakukan
aksi kejahatannya. Ada
orang yang mencuri sepotong roti karena lapar, tentu tidak sama hukumannya
dengan orang lain yang mencuri kenderaan bermotor, atau melakukan pencurian
sambil membunuh, atau melakukan tindakan pencurian untuk menumpuk harta
kekayaan.
Sebaliknya pihak
PLN tidak mau tahu dengan kritikan
yang diajukan oleh konsumen karena tindakannya mematikan listrik yang secara
tiba-tiba tanpa ba bi bu. Alasan PLN bisa beragam. Ya karena travo-nyalah yang
rusak, ya inilah ya karena itulah dan sebagainya.
Untuk itu semua, PLN sangat mengharapkan pengertian
dari konsumen atas kejadian listrik yang mati mendadak dan tiba-tiba itu, entah
terjadinya pada siang, malam maupun pagi hari, namun di pihak lain, PLN justru
tak mau tau dengan kondisi konsumen yang sedang tidak berduit, asal konsumen
menunggak membayar, denda. Jika tak juga membayar, putuskan aliran listriknya.
Pihak konsumen PLN (di Indonesia) sudah cukup maksimal dalam memberikan pengertian, kesabaran dan toleransi dalam
menghadapi pemutusan hubungan listrik secara mendadak dan tiba-tiba itu seraya
pasrah walaupun tak rela tanpa bisa
melawan.
Bertolak dari
uraian di atas, dalam menghadapi sikap arogan dari PLN yang memberikan
pelayanan yang tidak memadai itu, sudah seharusnyalah dimulai meningkatkan
peran civil society sehingga dapat dilakukan bargaining. Karena begitu sulit menghadapi PLN sebagai sebuah badan
hukum (Korporasi) secara individual dan/atau perorangan.
Bagaimana dengan tanggapan
pembaca ??
kalau mematikan listrik secara tiba2 berarti konsumen merasa merugikan karena konsumen sudah membayarkan listrik perbulan karena ada sebagian konsumen yang tidak membyar listrik yang di janjikan bayaran listrik perbulan nya dan untuk apalah membayar listrik kepada pihak PLN bagi pelanggan tersebut ?
BalasHapusJika Pihak PLN tersebut sering melakukan pemadaman listrik secara tiba - tiba apa kita bisa menuntut pihak PLN itu tersebut?