Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 01 Februari 2013

“UANG PELICIN” DAN SUMPAH POCONG



 Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.

Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru 

(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
             
Selain istilah uang pelicin, sebenarnya masih banyak istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pada pengertian yang sama, diantaranya uang semir, uang kopi, salam tempel, TST dan sebagainya. Namun satu hal yang jelas, bahwa dari semua jenis uang itu, merupakan pembayaran yang tidak resmi. Artinya bahwa secara hukum, uang jenis ini tidak ada kewajiban untuk dibayar, karena memang tidak ada ketentuan tertulis dari hukum yang mengharuskan untuk membayarnya. Tapi secara sosiologis atau secara faktual, keberadaan uang pelicin ini merupakan suatu keharusan.
            
Kalau pengaturan biaya atau pembayaran secara hukum, maka jumlah pembayaran atau besarnya biaya untuk pengurusan suatu hal, akan ditentukan secara pasti dan biasanya berlaku umum. Contoh biaya pembuatan SIM C oleh aturan hukum ditetapkan berjumlah sekian ribu rupiah. Ini merupakan biaya resmi dan legal secara hukum. Tapi berapa besar biaya yang harus dikeluarkan ketika kita berhadapan dengan realitas atau kenyataan di lapangan ? Yang jelas, secara realitas tidak mungkin kita membayar kurang dari jumlah itu. Sedangkan kemungkinan membayar lebih dari itu, mempunyai peluang yang besar dengan berbagai dalih dan alasan.
             Di samping dalih dan alasan yang tidak didasar atas aturan hukum yang berlaku (alasan yang dicari-cari), maka ciri lain dari keberadaan uang pelicin ini adalah bahwa pembayaran uang pelicin biasanya tidak disertai dengan bukti kwitansi. Berbeda dengan biaya resmi, setiap kali pembayaran selalu diikuti dengan bukti kwitansi atau bukti pembayaran.
             Perbedaan lain antara uang pelicin dengan biaya resmi, dilihat dari sudut proses pembayaran. Kalau biaya resmi, biasanya dibayarkan pada tempat-tempat resmi dan dilakukan secara terbuka (transparan) dimuka umum. Konsekuensi dari biaya resmi harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan uang pelicin, proses pembayarannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karenanya dilakukan secara tertutup. Proses pembayaran uang pelicin ini bisa dilakukan kapan dan dimana saja, bisa di warung kopi, di rumah atau di tempat-tempat hiburan, bisa diberikan pada waktu malam hari, sore hari atau tengah malam, dan terhadap jumlah penerimaan uang pelicin ini tidak ada pertanggung jawabannya.
             Bertolak dari uraian di atas, maka persoalannya adalah, bagaimana kita membuktikan keberadaan uang pelicin, karena di samping ketiadaan bukti penerimaan berupa kwitansi, proses pembayarannyapun sulit untuk dilacak, sebab pembayarannya dapat dilakukan kapan dan dimana saja.

Asal-usul Uang Pelicin


             Budaya uang pelicin, diduga sebagai akibat dari berkembangnya ‘asas birokrasi Indonesia’ yang menyatakan kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah’. Konsekensinya adalah, ketika seseorang berurusan dengan birokrat, maka apa boleh buat, agar tidak dipersulit, dengan terpaksa menyerahkan beberapa lembar uang rupiah, dengan harapan urusannya dapat dipermudah dan cepat selesai. Ketakutan terhadap berlakunya prinsip ini pada seseorang yang sedang berurusan dengan birokrasi untuk suatu kepentingan tertentu, inilah yang menyebabkan orang lalu cepat-cepat “menyamakan persepsi” dari pada mendapatkan kesulitan kelak.
             Munculnya prinsip “kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah” ini lebih dikarenakan tidak adanya sistem manajemen yang terbuka (open manajemen) serta lemahnya kontrol birokrasi. Di samping itu dapat juga dikemukakan, bahwa budaya uang pelicin akan semakin berkembang biak bila tidak ada transparansi birokrasi. Dengan kata lain, semakin tertutup manajemen birokrasi maka peluang untuk tumbuh dan berkembangnya budaya uang pelicin akan semakin besar dan pesat.
             Penulis kurang sependapat apabila dikatakan bahwa masyarakat sebenarnya juga ikut memberikan andil dalam mengembangkan budaya uang pelicin. Jika manajemen birokrasi sudah rasional, terbuka dan terdapat kontrol yang baik, maka masyarakat tidak akan mempunyai peluang yang besar lagi untuk menggoda para birokrat dengan uang pelicin.
             Menurut hemat penulis, masalahnya terletak pada sistem birokrasi. Walaupun harus disadari, bahwa budaya uang pelicin sebagai bagian dari korupsi ini, sebenarnya juga terjadi pada negara-negara di belahan dunia lain, hanya saja intensitas dan frekuensinyalah yang membedakan antara negara yang satu dengan negara yang lain. Maka dengan demikian, reformasi sistem birokrasi Indonesia hanyalah salah satu upaya untuk memperkecil intensitas terjadi dan berkembangnya budaya uang pelicin, bukan bertujuan untuk mengikis habis.

Membuktikan Uang Pelicin


             Kembali kepada persoalan di atas, bagaimana membuktikan keberadaan uang pelicin itu secara hukum (pidana) ? Seperti diketahui, bahwa hukum menghendaki alat bukti secara kongkrit dan rasional. Alat bukti yang sah menurut hukum pidana[1] antara lain adalah keterangan saksi, keterangan ahli dan surat (seperti kwitansi) dan sebagainya. Bagaimana mungkin kita dapat menghadirkan bukti saksi kecuali saksi korban, karena tidak ada orang lain yang melihat dan menyaksikan ketika kita menyerahkan uang pelicin itu. Dan bagaimana mungkin kita menghadirkan alat bukti surat, sementara kita tidak pernah mendapatkan bukti pembayaran ketika kita membayarkan uang pelicin itu pada seseorang birokrat tersebut ?
             Perlu diingat, ada satu adagium dalam hukum pidana yang mengatakan bahwa satu saksi bukanlah alat bukti (unus testis nullus testis). Sehingga, alangkah naifnya jika kita hanya mengedepankan satu alat bukti saksi saja ke pengadilan tanpa didukung oleh alat bukti sah yang lain, dan pengadilan akan memberikan putusan lepas dari segala tuntutan hukum kepada diri terdakwa, karena tidak cukupnya alat bukti untuk membuktikan dirinya bersalah menerima uang pelicin.
             Mengingat demikian absurdnya masalah pembuktian uang pelicin ini secara hukum (pidana), kecuali jika tertangkap tangan seperti kasus yang menimpa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Mulyana W. Kusuma beberapa waktu yang lalu, dan banyak kasus lain yang terjadi belakangan ini, terutama terhadap anggota DPR, dan kasus tertangkap tangan seperti ini tidaklah banyak jumlahnya. Sehubungan dengan itu, maka penulis menyarankan untuk menggunakan dan memberdayakan lembaga sumpah pocong dalam rangka membuktikan keberadaan uang pelicin ini. Tapi syang, lembaga sumpah pocong ini tidak diakui sebagai suatu bentuk alat bukti yang sah dalam hukum pidana. Di samping itu, kebanyakan dari kita (baca hakim) hanya berpikir secara legalis-positivis, sehingga hanya mengikuti apa yang dikatakan oleh hukum (baca Undang-Undang). Perlu diingat, bahwa hukum tidak selamanya identik dengan undang-undang, namun dalam praktek penyelenggaraan hukum (pidana), hukum disamakan dan identik dengan undang-undang, dan di luar undang-undang tidak ada hokum, tertama dalam lingkup hukum pidana. Ini adalah suatu pandangan yang keliru dan menyesatkan.
             Kalau kita sepakat, bahwa hukum itu tidak selamanya adalah undang-undang dan di luar undang-undang masih ada (banyak) hukum, maka lembaga sumpah pocong dapat kita berdayakan. Sebab hukum Islam dan hukum adat (?) masih mengenal dan mengakui lembaga sumpah pocong ini. Tapi untuk menerapkan sumpah pocong ini, lagi-lagi kita terbentur oleh penganut pikiran-pikiran yang mayoritas masih formal dan legalistik tersebut yang nota bene mempunyai posisi sebagai deccesion maker.
             Sepanjang penganut pikiran legalis-posititivis masih bercokol dengan kuat dan berjumlah banyak, maka kita jangan terlalu banyak berharap masalah uang pelicin ini akan dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan, mudah-mudahan argumentasi penulis ini salah.


[1] Lihat Pasal 184 KUHAP !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj