Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Gejala amuk massa, akhir-akhir
ini menunjukkan kecenderungan semakin menjadi-jadi, dan mempunyai tendensi semakin meningkat. Fenomena sementara menujukkan, bahwa
sasarannya adalah toko-toko atau gudang sembako, atau bahkan terhadap pencopet yang tertangkap tangan dan sebagainya. Kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit.
Di samping kerugian harta benda, juga korban jiwa dan luka-luka.
Bahkan dalam perkembangan terakhir, gejala amuk
massa ini menunjukkan ke arah yang semakin sadis dan irrasional. Dikatakan
sadis, karena hanya gara-gara seseorang tertangkap tangan melakukan aksi
pencopetan, si pencopet bisa babak belur dihajar massa dan akhirnya mati. Lebih dari itu, seperti yang terjadi di daerah Malang, orang yang tertangkap
basah melakukan aksi pencurian, dibakar hidup-hidup oleh massa.
Satu hal yang jelas adalah, bahwa tindakan amuk
massa, jika dilihat dari sisi hukum pidana, merupakan kejahatan. Paling tidak,
para pelaku amuk massa itu akan terkena Pasal 55 KUHP (delik
penyertaan/deelneming). Persoalan yang menarik dalam tataran
praktek penegakan hukum pidana, ternyata jarang sekali kita mendengar dimana
para pelaku amuk massa itu ditangkap
dan seterusnya diajukan ke
depan sidang pengadilan untuk
dilakukan proses peradilan.
Sehubunga dengan uraian di atas, sesungguhnya ada dua fenomena yang
menarik untuk dianalisis. Pertama, fenomena terjadinya amuk massa itu
sendiri. Dan Kedua ketidakberdayaan sistem peradilan pidana dalam
mengusut pelaku amuk massa.
Pengkajian terhadap tindakan amuk massa, tidak
terlepas dari pembahasan sisi psikologi sosial. Artinya, mengapa masyarakat
kita akhir-akhir ini tensi emosionalnya semakin meningkat ? Mengapa terhadap
masalah-masalah yang sepele saja, masyarakat kita begitu cepat mengambil
tindakan penyelesaiannya secara fisik dan dilakukan secara beramai-ramai tanpa melakukan pertimbangan yang lebih rasional ?
Tindakan amuk massa sebagai suatu gejala, baru
terjadi beberapa tahun belakangan. Walaupun demikian, dulunya juga dikenal
tindakan amuk massa ini. Akan tetapi peristiwanya tidak terjadi secara meluas
dan hanya terbatas pada tingkat lokal daerah tertentu saja, dan proses penyelesaiannyapun
tidak sekelompleks sekarang ini.
Apa yang terjadi dengan aksi amuk massa sekarang ?
Sifatnya sudah meluas dan mewabah ke daerah lain. Ini menunjukkan bahwa
terdapat faktor penyebab yang bersifat nasional. Terhadap
hipotesis ini diperlukan penelitian dan pengkajian yang lebih komprehensif dan
akurat.
Dalam konstruksi sistem kemasyarakatan,
penyelesaian persoalan sebagai akibat dari amuk massa nampaknya tidak dapat
dilepaskan dari kaitannya dengan akar masalah. Dalam konteks pertandingan sepak
bola misalnya, kendatipun akibat ulah suporter bonek cukup meresahkan dan
menimbulkan kerugian materi, tetapi tetap diletakan dalam kerangka
“memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”. Ulah suporter masih
ditolerir sebagai bias fanatisme dalam bidang olahraga.
Demikian pula halnya terhadap amuk massa yang
terjadi pada masa kampanye pemilu, masih diletakan dalam bingkai “pendidikan
politik masyarakat”. Eksistensi kerusuhan dipandang sebagai bias yang wajar
terjadi dalam suasana pesta demokrasi. Dan, amuk massa akibat krisis sembako
akhir-akhir ini memberi kesan dimana penyelesaiannya secara hati-hati.
Bahkan dipandang sebagai “protes orang lapar” buntut dari krisis moneter yang
berkepanjangan di tanah air.
Jika diurut lebih lanjut, sebenarnya cukup banyak
faktor yang dapat dikedepankan yang memicu massa bertindak emosional yang
melahirkan aksi amuk massa. Antara lain boleh jadi karena masih merajalelanya
ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesenjangan pendapatan yang membawa dampak
pada kemiskinan struktural, dan lain-lain. Yang jelas adalah, bahwa aksi amuk
massa yang belakangan ini marak terjadi, bukan tanpa faktor penyebab atau latar
belakang. Massa yang mengamuk yang hanya dipicu oleh hal-hal sepele, sebenarnya
merupakan puncak dari akumulasi sejumlah faktor penyebab. Sehingga aksi amuk
massa hanyalah merupakan kompensasi saja dari rasa kekecewaan kolektif terhadap
berbagai bentuk praktek penyelenggaraan negara yang tidak beres.
Jika faktor penyebab ini bisa dibuktikan, maka
alangkah naif dan absurdnya kita, apabila penanggulangan terhadap amuk massa ini
dilakukan melalui sarana hukum pidana (saluan penal). Penulis tidak mengatakan bahwa hukum
pidana itu tidak diperlukan dalam menghadapi kerusuhan amuk massa. Akan tetapi
dengan hanya mengandalkan sarana sanksi hukum pidana an sich sebagai
senjata utama yang berada pada garis terdepan dalam menghadapi aksi amuk massa,
tanpa dibarengi dengan upaya-upaya perbaikan/pembenahan sumber atau penyebab
terjadinya aksi amuk massa, maka ini akan menjurus kepada kediktatoran,
menggunakan “tangan besi” dalam menghadapi warga masyarakat.
Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium)
untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Akan tetapi “hanya sekedar”
untuk mengatasi gejala/akibat dari penyakit. Dengan kata lain, sanksi hukum
pidana bukanlah merupakan “pengobatan kausatif”. Akan tetapi hanya “pengobatan
simptomatik”.
Dalam kaitannya dengan aksi amuk massa, maka upaya
perbaikan kondisi-kondisi sosial ekonomi dan politik adalah merupakan langkah yang terbaik bagi penanggulangan terhadap berbagai
bentuk aksi penyimpangan, amuk massa
ini. Sementara itu, hukum
pidana tidak punya kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan perbaikan ke
arah seperti itu. Maka satu hal yang pasti adalah, bahwa hukum pidana hanya
bertugas “membabat” pelaku kejahatan tanpa berupaya menghilangkan faktor
penyebab terjadinya aksi amuk massa
itu sendiri. Dan memang tugas
seperti itu bukanlah termasuk dalam ruang lingkup “kewenangan” hukum pidana.
Artinya, beroperasinya hukum pidana tidak menyentuh akar persoalan/penyebab
terjadinya aksi-aksi amuk massa. Sehingga jika kita hanya mengandalkan hukum
pidana untuk meredam aksi amuk massa tanpa dibarengi dengan upaya-upaya mencari
akar persoalannya, menurut hemat
penulis adalah sebagai suatu
tindakan yang sia-sia dan kurang bijaksana.
Sebagai perbandingan, hukum pidana selama ini
ditugaskan untuk membabat aksi pencurian. Apa yang terjadi ? Adakah tindakan
pencurian itu terberantas ? tenryata tidak sama sekali. Sebab, salah satu
faktor orang melakukan aksi pencurian adalah dikarenakan kemiskinan. Nah,
masalah kemiskinan bukanlah masalah hukum pidana. Lalu bagaimana mungkin hukum
pidana dapat berjalan efektif memberantas aksi pencurian, jika upaya
meningkatkan kesejahteraan tidak dilakukan. Maka, yang terjadi saat ini adalah,
bahwa aksi pencurian tidak akan pernah terberantas. Masalah ini persis sama
jika dikaitkan dengan masalah amuk massa.
Maka dengan demikian, jangan jadikan hukum pidana
sebagai senjata utama untuk meredam aksi amuk massa, jika tidak ada upaya untuk
menghilangkan atau paling tidak meminimalisir faktor penyebabnya. Jika kita
tetap bersikukuh menempatkan posisi hukum pidana pada garis terdepan dalam
menghadapi aksi amuk massa, nasibnya akan sama dengan aksi pencurian seperti
diuraikan di atas, tidak akan ada titik akhir. Ia akan terus terjadi dan
terjadi sepanjang faktor penyebabnya masih bercokol kuat dan tidak ada upaya untuk menimalisirkannya.
Aksi amuk massa mungkin dapat diredam atau dicegah
dengan menggunakan saluran hukum pidana. Akan tetapi, hal itu hanya sesaat
saja. Dan pada lain saat, akan muncul kembali karena akar persoalannya belum
dituntaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar