Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 01 Februari 2013

AMUK MASSA

 Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.

Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru 

(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Gejala amuk massa, akhir-akhir ini menunjukkan kecenderungan semakin menjadi-jadi, dan mempunyai tendensi semakin meningkat. Fenomena sementara menujukkan, bahwa sasarannya adalah toko-toko atau gudang sembako, atau bahkan terhadap pencopet yang tertangkap tangan dan sebagainya. Kerugian yang ditimbulkan tidak sedikit. Di samping kerugian harta benda, juga korban jiwa dan luka-luka.
Bahkan dalam perkembangan terakhir, gejala amuk massa ini menunjukkan ke arah yang semakin sadis dan irrasional. Dikatakan sadis, karena hanya gara-gara seseorang tertangkap tangan melakukan aksi pencopetan, si pencopet bisa babak belur dihajar massa dan akhirnya mati. Lebih dari itu, seperti yang terjadi di daerah Malang, orang yang tertangkap basah melakukan aksi pencurian, dibakar hidup-hidup oleh massa.
Di samping telah mengarah ke hal-hal yang bersifat sadisme, aksi amuk massa ternyata telah pula dilakukan secara irrasional. Karena, secara logika sehat saja, apabila seseorang digebuk oleh lima orang saja, maka orang yang kena gebuk itu pastilah akan menjadi remuk. Apatah lagi, jika seseorang itu digebuk secara beramai-ramai (massa), maka manusia itu pasti akan mati dan paling tidak akan sekarat. Bagaimana kita dapat mengatakan bahwa massa ketika itu menggunakan rasionya dengan baik ?
Satu hal yang jelas adalah, bahwa tindakan amuk massa, jika dilihat dari sisi hukum pidana, merupakan kejahatan. Paling tidak, para pelaku amuk massa itu akan terkena Pasal 55 KUHP (delik penyertaan/deelneming). Persoalan yang menarik dalam tataran praktek penegakan hukum pidana, ternyata jarang sekali kita mendengar dimana para pelaku amuk massa itu ditangkap dan seterusnya diajukan ke depan sidang pengadilan untuk dilakukan proses peradilan.
Sehubunga dengan uraian di atas, sesungguhnya ada dua fenomena yang menarik untuk dianalisis. Pertama, fenomena terjadinya amuk massa itu sendiri. Dan Kedua ketidakberdayaan sistem peradilan pidana dalam mengusut pelaku amuk massa.
Pengkajian terhadap tindakan amuk massa, tidak terlepas dari pembahasan sisi psikologi sosial. Artinya, mengapa masyarakat kita akhir-akhir ini tensi emosionalnya semakin meningkat ? Mengapa terhadap masalah-masalah yang sepele saja, masyarakat kita begitu cepat mengambil tindakan penyelesaiannya secara fisik dan dilakukan secara beramai-ramai tanpa melakukan pertimbangan yang lebih rasional ?
Tindakan amuk massa sebagai suatu gejala, baru terjadi beberapa tahun belakangan. Walaupun demikian, dulunya juga dikenal tindakan amuk massa ini. Akan tetapi peristiwanya tidak terjadi secara meluas dan hanya terbatas pada tingkat lokal daerah tertentu saja, dan proses penyelesaiannyapun tidak sekelompleks sekarang ini.
Apa yang terjadi dengan aksi amuk massa sekarang ? Sifatnya sudah meluas dan mewabah ke daerah lain. Ini menunjukkan bahwa terdapat faktor penyebab yang bersifat nasional. Terhadap hipotesis ini diperlukan penelitian dan pengkajian yang lebih komprehensif dan akurat.
Dalam konstruksi sistem kemasyarakatan, penyelesaian persoalan sebagai akibat dari amuk massa nampaknya tidak dapat dilepaskan dari kaitannya dengan akar masalah. Dalam konteks pertandingan sepak bola misalnya, kendatipun akibat ulah suporter bonek cukup meresahkan dan menimbulkan kerugian materi, tetapi tetap diletakan dalam kerangka “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”. Ulah suporter masih ditolerir sebagai bias fanatisme dalam bidang olahraga.
Demikian pula halnya terhadap amuk massa yang terjadi pada masa kampanye pemilu, masih diletakan dalam bingkai “pendidikan politik masyarakat”. Eksistensi kerusuhan dipandang sebagai bias yang wajar terjadi dalam suasana pesta demokrasi. Dan, amuk massa akibat krisis sembako akhir-akhir ini memberi kesan dimana penyelesaiannya secara hati-hati. Bahkan dipandang sebagai “protes orang lapar” buntut dari krisis moneter yang berkepanjangan di tanah air.
Jika diurut lebih lanjut, sebenarnya cukup banyak faktor yang dapat dikedepankan yang memicu massa bertindak emosional yang melahirkan aksi amuk massa. Antara lain boleh jadi karena masih merajalelanya ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kesenjangan pendapatan yang membawa dampak pada kemiskinan struktural, dan lain-lain. Yang jelas adalah, bahwa aksi amuk massa yang belakangan ini marak terjadi, bukan tanpa faktor penyebab atau latar belakang. Massa yang mengamuk yang hanya dipicu oleh hal-hal sepele, sebenarnya merupakan puncak dari akumulasi sejumlah faktor penyebab. Sehingga aksi amuk massa hanyalah merupakan kompensasi saja dari rasa kekecewaan kolektif terhadap berbagai bentuk praktek penyelenggaraan negara yang tidak beres.
Jika faktor penyebab ini bisa dibuktikan, maka alangkah naif dan absurdnya kita, apabila penanggulangan terhadap amuk massa ini dilakukan melalui sarana hukum pidana (saluan penal). Penulis tidak mengatakan bahwa hukum pidana itu tidak diperlukan dalam menghadapi kerusuhan amuk massa. Akan tetapi dengan hanya mengandalkan sarana sanksi hukum pidana an sich sebagai senjata utama yang berada pada garis terdepan dalam menghadapi aksi amuk massa, tanpa dibarengi dengan upaya-upaya perbaikan/pembenahan sumber atau penyebab terjadinya aksi amuk massa, maka ini akan menjurus kepada kediktatoran, menggunakan “tangan besi” dalam menghadapi warga masyarakat.
Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit. Akan tetapi “hanya sekedar” untuk mengatasi gejala/akibat dari penyakit. Dengan kata lain, sanksi hukum pidana bukanlah merupakan “pengobatan kausatif”. Akan tetapi hanya “pengobatan simptomatik”.
Dalam kaitannya dengan aksi amuk massa, maka upaya perbaikan kondisi-kondisi sosial ekonomi dan politik adalah merupakan langkah yang terbaik bagi penanggulangan terhadap berbagai bentuk aksi penyimpangan, amuk massa ini. Sementara itu, hukum pidana tidak punya kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan perbaikan ke arah seperti itu. Maka satu hal yang pasti adalah, bahwa hukum pidana hanya bertugas “membabat” pelaku kejahatan tanpa berupaya menghilangkan faktor penyebab terjadinya aksi amuk massa itu sendiri. Dan memang tugas seperti itu bukanlah termasuk dalam ruang lingkup “kewenangan” hukum pidana. Artinya, beroperasinya hukum pidana tidak menyentuh akar persoalan/penyebab terjadinya aksi-aksi amuk massa. Sehingga jika kita hanya mengandalkan hukum pidana untuk meredam aksi amuk massa tanpa dibarengi dengan upaya-upaya mencari akar persoalannya, menurut hemat penulis adalah sebagai suatu tindakan yang sia-sia dan kurang bijaksana.
Sebagai perbandingan, hukum pidana selama ini ditugaskan untuk membabat aksi pencurian. Apa yang terjadi ? Adakah tindakan pencurian itu terberantas ? tenryata tidak sama sekali. Sebab, salah satu faktor orang melakukan aksi pencurian adalah dikarenakan kemiskinan. Nah, masalah kemiskinan bukanlah masalah hukum pidana. Lalu bagaimana mungkin hukum pidana dapat berjalan efektif memberantas aksi pencurian, jika upaya meningkatkan kesejahteraan tidak dilakukan. Maka, yang terjadi saat ini adalah, bahwa aksi pencurian tidak akan pernah terberantas. Masalah ini persis sama jika dikaitkan dengan masalah amuk massa.
Maka dengan demikian, jangan jadikan hukum pidana sebagai senjata utama untuk meredam aksi amuk massa, jika tidak ada upaya untuk menghilangkan atau paling tidak meminimalisir faktor penyebabnya. Jika kita tetap bersikukuh menempatkan posisi hukum pidana pada garis terdepan dalam menghadapi aksi amuk massa, nasibnya akan sama dengan aksi pencurian seperti diuraikan di atas, tidak akan ada titik akhir. Ia akan terus terjadi dan terjadi sepanjang faktor penyebabnya masih bercokol kuat dan tidak ada upaya untuk menimalisirkannya.
Aksi amuk massa mungkin dapat diredam atau dicegah dengan menggunakan saluran hukum pidana. Akan tetapi, hal itu hanya sesaat saja. Dan pada lain saat, akan muncul kembali karena akar persoalannya belum dituntaskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj