Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Pengantar[1]
Ada banyak
slogan yang berkembang untuk menggambarkan bagaimana eksistensi korupsi di
negara tercinta, Indonesia. Diantaranya adalah statemen yang menyatakan bahwa korupsi di Indonesia telah
membudaya, sudah menjadi penyakit yang kronis dan sulit disembuhkan. Pernyataan
singkat dan lugas ini dikemukakan oleh salah seorang tokoh proklamator kemerdekaan
Republik Indonesia, almarhum Bung Hatta. Terhadap pernyataan tersebut —korupsi
di Indonesia telah membudaya ini— beberapa waktu yang lalu mendapat penolakan
dengan alasan tak ada bukti historis dan empiris yang dapat mendukung
pernyataan tersebut.
Pernyataan
tentang korupsi di Indonesia telah membudaya, sebenarnya pernah mendapat
dukungan data empirik. Hasil survai beberapa tahun lalu yang dilakukan oleh
sebuah lembaga independen, LSM, PERC (Political
and Economic Risk Consultancy Ltd) yang berkedudukan di Hongkong, dalam
laporannya yang berjudul The Asian
Intelligence Report, menyebutkan bahwa Indonesia sebagai negara terkorup diantara 12 negara di kawasan
Asia.
Penilaian
korupsi di Indonesia dengan “rapor merah” ini bukan saja berasal dari kalangan
independen luar negeri seperti duraikan di atas, dari kalangan domestik —bahkan
dari lembaga resmi pemerintah— juga kerap muncul penilaian serupa. Penilaian
ini terutama dikemukakan oleh Badan Pengawasan Keuangan (BPK).
Beberapa
waktu belakangan, BPK mengumumkan berbagai bentuk “kebocoran” dan
penyalahgunaan dana yang terjadi dalam proses penggunaan dana untuk
pembangunan. Bahkan Begawan Ekonomi Indonesia, almarhum Prof. Soemitro
Djojohadikusumo pernah mengungkapkan asumsinya, bahwa kebocoran dana
pembangunan di Indonesia mencapai 30 % dari total investasi. Dalam hal ini yang
dimaksud dengan kebocoran adalah pemborosan (inefesiensi ekonomi) atas
penggunaan sumber daya ekonomi.
Jumlah
persentase kebocoran tersebut adalah suatu angka yang cukup fantastis dan
signifikan bagi sebuah negara berkembang seperti Indonesia ini yang sedang
membutuhkan dana untuk pembangunan. Hanya saja, tidak seorangpun
bisa menunjuk apa saja sumber kebocoran itu.
Birokrasi dan Korupsi
Di samping statemen korupsi di Indonesia telah
membudaya, seperti diuraikan di atas, pendapat lainnya menyatakan pula:
bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi suatu sistem yang menyatu dengan
penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan
justru akan hancur apabila korupsi diberantas.[2]
Hal ini disebutkan karena daya tahan struktur pemerintahan sangat bergantung
pada kelancaran penyaluran dana kepada unsur-unsur pemerintahan yang di dalamnya
banyak mengandung unsur-unsur korupsi, sehingga apabila dilakukan pemberantasan
korupsi akan merusak arus penyaluran dana itu. Karenanya, struktur pemerintahan
yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup
dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan.
Pada umumnya
sumber atau biang terjadinya korupsi salah satunya adalah sebagai akibat dari
proses birokrasi yang seringkali panjang dan berbelit-belit serta
“bertele-tele”. Terutama berkaitan dengan masalah birokrasi perizinan.
Sehubungan
dengan hal di atas, ada adagium yang berkembang dalam proses birokrasi
pemerintahan (khususnya tentang perizinan ini) dalam rangka pelayanan terhadap
kepentingan warga masyarakat, yaitu: “kalau
bisa dipersulit mengapa harus dipermudah”, bukan malah sebaliknya, “kalau bisa dipermudah mengapa harus
dipersulit”. Munculnya adagium seperti ini karena adanya fenomena ke arah
tersebut. Tidak akan mungkin ada asap kalau tidak ada apinya, mana mungkin
tiba-tiba muncul asap tanpa api ?
Korupsi, Dipelihara ?
Di samping
dua statemen di atas, sistem
pengawasan yang lemah juga dapat dipandang sebagai faktor penyebab timbulnya
korupsi. Menurut hemat penulis, sistem pengawasan yang lemah sebagai bagian
dari proses birokrasi justru membuka peluang yang besar untuk terjadinya
korupsi.
Budaya ewuh pakewuh, segan, sungkan, enggan dan
malu dalam sistem pengawasan justru dapat menumbuhsuburkan perbuatan korupsi.
Betapa tidak. Mari kita lihat tataran praktek pengawasan di lapangan yang
berlatar belakang pada budaya ewuh
pakewuh dan sebagainya itu.
Ketika
seorang pejabat sudah tidak lagi menduduki jabatan, seringkali fasilitas yang
diberikan kepadanya, seperti mobil dinas, sulit ditarik kembali. Dan celakanya
kesadaran untuk mengembalikan mobil dinas itu kepada pemerintah rendah sekali.
Tanggung
jawab menarik kembali mobil dinas, pada level Pemerintah Daerah, dalam hal ini
ada pada dan merupakan tanggung jawab dari Kepala Bagian (Kabag) Perlengkapan.
Kabag Perlengkapan ini seringkali merasa segan dan sungkan dengan pejabat yang
tidak mau mengembalikan mobil dinas yang sudah bukan haknya lagi, dan malah
dulunya merupakan atasannya.
Dikaitkan
dengan aturan hukum yang berlaku, maka sesungguhnya Kabag. Perlengkapan dalam
hal ini telah melakukan perbuatan korupsi, karena dia telah menguntungkan orang
lain, yaitu membiarkan terus orang lain menikmati fasilitas mobil dinas yang
bukan haknya lagi. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang selengkap menyatakan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan
kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000 (satu milyar rupiah)” (garis bawah dari penulis)
Apa yang
dilakukan oleh Kabag. Perlengkapan di atas merupakan perbuatan korupsi.
Persoalannya adalah, pernahkah aparat penegak hukum (Kejaksaan, sebagai
penyidik tindak pidana khusus) mengusut perbuatan korupsi seperti yang
dilakukan oleh Kabag. Perlengkapan tersebut ? Bukankah tindakan-tindakan ewuh pakewuh atau perasaan sungkan ini sering terjadi, tapi celakanya
tidak ada tindakan apa-apa ? Ini merupakan sektor korupsi yang dipelihara; atau
karena ketidaktahuan aparatur penegak hukum.
Kita mungkin
juga belum pernah mendengar tindakan yang diambil terhadap pejabat, karena
terbukti menggunakan/memakai mobil dinas yang menyimpang dari tujuan kedinasan.
Dalam kehidupan keseharian, sesungguhnya penyimpangan
terhadap penggunaan mobil dinas ini dapat disaksikan secara vulgar dan dengan
mata telanjang. Konsekuensinya adalah, bahwa kita semakin sulit membedakan
mana pejabat dan mana pula yang penjahat.
Apa yang
dapat kita katakan dengan mobil dinas yang berseliweran di jalan raya ? Apa dan
siapa yang dapat menjamin bahwa mobil dinas itu betul-betul digunakan untuk
kepentingan dinas ? Adakah lembaga yang mengawasi dan diberi wewenang untuk
“menjewer” terhadap pemanfaatan mobil dinas yang digunakan tidak untuk
kepentingan dinas ? Bagaimanakah sebenarnya mekanisme pengawasan terhadap
penggunaan mobil dinas itu ? Sejauhmanakah pengertian dinas, sehingga
penggunaan fasilitas mobil dinas itu masih dalam batas toleransi ? Apakah jika
anak si pejabat yang menggunakan mobil dinas bapaknya, untuk pacaran misalnya,
masih dalam batas kedinasan bapaknya ? semuanya menghendaki transparansi.
Sebab, konsep mobil dinas berbeda jauh dengan mobil pribadi yang dapat
digunakan oleh siapa saja dan kemanapun ia suka.
Adakah hubungan antara penggunaan mobil dinas dengan tindak pidana korupsi
?
Kalau
penggunaan atau pemanfaatan mobil dinas ini identik dengan mobil pribadi, maka
sesungguhnya tidak perlu ada tindak pidana korupsi. Sebab konsep tindak pidana
korupsi baru diperkenalkan ketika telah terjadi pemisahan secara tegas antara
kekayaan publik dengan kekayaan pribadi.
Dulu, ketika
Indonesia masih dikuasai oleh raja-raja, istilah tindak pidana korupsi belum
dikenal. Sebab, antara harta kekayaan kerajaan dengan harta kekayaan milik sang
raja, tidak ada pemisahan yang jelas dan tegas, keduanya menyatu. Tapi
sekarang, pemisahan itu secara hukum telah ditetapkan secara tegas dan jelas.
Apalagi berkaitan dengan masalah mobil dinas ini. Mobil dinas bukan milik
pribadi, melainkan masuk dalam kategori harta kekayaan milik negara atau
publik. Salah satu tanda yang membedakannya adalah dari warna plat yang
digunakan.[3]
Maka oleh
sebab itu, makalah ini hanya sekedar mengingatkan aparat penyidik tindak pidana
korupsi, yaitu Jaksa (KPK), bahwa penyimpangan terhadap penggunaan fasilitas
mobil dinas adalah suatu bentuk kejahatan. Penyalahgunaan mobil dinas yang
digunakan bukan untuk kepentingan dinas termasuk dalam kategori tindak pidana
korupsi (lihat ketentuan Pasal 3 di atas !). Dan lagi-lagi perbuatan korupsi
seperti ini tak terjamah oleh aparat penegak hukum, sehingga korupsi seperti
ini mengarah kepada korupsi yang “dipelihara”. Padahal tindak pidana korupsi
ini bukanlah merupakan delik aduan, setiap hari terjadi penyalahgunaan
fasilitas mobil dinas, setiap hari itu pula aparat penegak hukum bungkam dan
menutup mata. Ini artinya adalah, bahwa di Indonesia setiap hari terjadi
korupsi. Karena makna tindak pidana korupsi berdasar Undang-undang Nomor 20
Tahun 2001 bukan hanya mengambil uang negara, melainkan jauh lebih luas dari
sekedar itu, termasuk juga penyalahgunaan fasilitas yang diberikan oleh negara.
Kalaulah
jumlah mobil dinas itu hanya sebatas hitungan jari tangan, mungkin kita tak
perlu terlalu risau dengan kerugian negara (daerah) yang mungkin timbul dari
penyalahgunaan mobil dinas itu. Lantak
sajalah mau gunakan oleh siapa
saja, oleh anaknya, menantunya, iparnya
dan seterusnya. Tapi jika jumlahnya membengkak menjadi ratusan buah atau bahkan
ribuan buah, dan jika digunakan sesuka hati dan oleh orang-orang yang tidak
berhak, bukankah biaya pemeliharaan dan perbaikan setiap kali terjadi kerusakan
akhirnya akan ditanggung oleh rakyat.
Menghadapi
perbuatan-perbuatan korupsi “yang dipelihara” seperti itu, masyarakat tidak
punya pilihan lain kecuali hanya ikut “menonton”. Karena tidak perlu lagi
laporan (karena bukan delik aduan), toh setiap hari terjadi di depan mata dan
hidung kita semua termasuk aparat penegak hukum. Ketika “masyarakat” melakukan
tindakan,[4]
dengan serta merta aparat penegak hukum akan menuduh warga masyarakat tersebut
melakukan tindakan “main hakim sendiri” (daad
van eigenrichting). Tapi bagaimana ketika aparat penegak hukum tidak
berbuat apa-apa dalam menghadapi tindak pidana korupsi yang terjadi itu ?
adakah sanksi yang dapat dikenakan terhadap aparat penegak hukum yang diam dan
bungkam seperti itu ? yeaaah !
[1] Makalah ini disampaikan pada acara Seminar Nasional dengan tema:
“Peran Serta Masyarakat Dalam Pemberantasan Korupsi Di Propinsi Riau”, yang
diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam
Riau (UIR), tanggal 12 April
2007.
[2] Lihat buku “Strategi
Pemberantasan Korupsi Nasional” yang diterbitkan oleh Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Cetakan pertama Edisi Maret 1999, halaman 24.
[4] Seperti yang dilakukan oleh mahasiswa beberapa waktu yang lalu, pada saat
berdemontrasi, ketika itu mereka juga melakukan penyanderaan terhadap mobil
dinas yang kebetulan lewat, dan ternyata betul bahwa mobil dinas yang disandera
ketika itu sedang digunakan oleh isteri sang pejabat yang pulang dari suatu
tempat, yang nota bene bukan termasuk dalam lingkup kepentingan dinas, dan
seterusnya....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar