Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 22 November 2017

PIDANA SEUMUR HIDUP DALAM PERSPEKTIF IDE PEMASYARAKATAN

Oleh Dr. Zul Akrial, S.H. M. Hum.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru)


Dalam pengertian substantif, hukum pidana dihadapkan pada tiga persoalan pokok, yaitu menyangkut masalah perbuatan pidana (tindak pidana/kejahatan/delik), pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan.
Dari ketiga persoalan tersebut, maka yang mempunyai relevansi dengan tulisan ini adalah menyangkut masalah pidana dan pemidanaan.
Ancaman pidana yang dicantumkan pada tiap-tiap delik pada hakekatnya adalah menggambarkan ketercelaan dan keseriusan perbuatan/delik yang bersangkutan. Artinya bahwa suatu perbuatan yang diancamkan dengan pidana penjara 2 tahun akan lebih atau setidak-tidaknya dipandang lebih tercela dibandingkan dengan perbuatan lain yang diancamkan dengan pidana penjara 1 tahun, misalnya. Demikian pula halnya dengan ancaman pidana mati atau ancaman pidana seumur hidup.
Di dalam Pasal 10 KUHP diatur tentang jenis-jenis pidana, yaitu yang terdiri dari pidana pokok (pidana mati[1], pidana penjara[2], pidana kurungan dan pidana denda)[3]; dan pidana tambahan yang terdiri dari pencabutan hak-hak tertentu dan perampasan barang-barang tertentu serta pengumuman putusan hakim.
Lebih lanjut berkenaan dengan pidana penjara dalam Pasal 12 KUHP ditegaskan:
(1)  Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2)  Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3)  Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N 1958 No. 127).
Pidana penjara merupakan salah satu bentuk pidana berupa kehilangan kemerdekaan. Bentuk pidana penjara dewasa ini merupakan bentuk utama dan umum dari pidana kehilangan kemerdekaan. Dahulu kala, pidana penjara tidak dikenal di Indonesia (hukum adat), yang dikenal ialah pidana pembuangan.
Pidana dan pemidanaan dalam ilmu pengetahuan hukum pidana tidak begitu banyak yang memberikan sorotan, dan bahkan terkesan sebagai “anak tiri”. Ilmu pengetahuan hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini masih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. Pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi[4].
Masalah pidana dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana.
Pidana penjara yang merampas kemerdekaan manusia patut sekali mendapat perhatian. Di satu pihak terdapat persentase yang tinggi dari putusan hakim pengadilan yang menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa, di pihak lain dalam pelaksanaannya hal itu menyangkut martabat manusia yang menjadi narapidana serta kedudukannya sebagai warga negara atau penduduk Negara Republik Indonesia.
Fungsi pidana sebagai salah satu alat untuk “menghadapi” kejahatan melalui rentetan sejarah yang panjang mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan, dari satu cara yang bersifat “pembalasan” terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan, berubah menjadi alat untuk melindungi individu dari gangguan individu lainnya dalam masyarakat, dan perlindungan masyarakat dari gangguan kejahatan, terus berubah dan berkembang ke arah fungsi pidana (khususnya pidana penjara) sebagai wadah pembinaan narapidana untuk pengembalian ke dalam masyarakat.
Dalam rangka ini, bertolak dari ide dasar Dr. Suharjo, SH., pada saat penerimaan gelar Doktor honoris causa pada tanggal 5 Juli 1963, mengemukakan ide pembaharuan sistem pidana penjara. Menurut Suhardjo, tujuan dari pidana penjara adalah di samping menimbulkan rasa derita kepada terpidana karena hilangnya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat serta mendidiknya agar ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis Indonesia yang berguna. Tujuan pemenjaraan yang demikian itu secara singkat disebut dengan pemasyarakatan.
Dari rumusan tujuan pemidanaan tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa ide Suhardjo menganut sistem campuran antara penjeraan (deterrent) dan reformasi terpidana. Tujuannya ada dua yaitu mengayomi masyarakat dari perbuatan jahat, dan membimbing terpidana sehingga dapat kembali menjadi anggota masyarakat yang berguna.
Ide Suhardjo tersebut selanjutnya dijabarkan dalam konferensi Direktur Penjara seluruh Indonesia pada tanggal 27 April 1964 di Lembang, Bandung.
Pada konperensi itulah dimulai tekad untuk memperbaiki sistem pembinaan narapidana dan anak didik. Sistem lama yang berdasarkan Reglement Kepenjaraan warisan kolonial Belanda diganti dengan sistem pembinaan berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Permumusan Masalah
Dari uraian di atas, dapat penulis rumuskan yang menjadi masalah pokok dalam tulisan ini yaitu “bagaimanakah eksistensi pidana seumur hidup dikaitkan dengan sistem pemasyarakatan ?”

Pembahasan
Pidana merupakan suatu alat atau sarana untuk mencapai tujuan. Pidana bukan merupakan tujuan dan memang tidak mungkin menjadi tujuan. Yang mempunyai tujuan di sini justru adalah pemidanaan itu sendiri[5].
Tujuan pemidanaan yang berkembang dari dahulu sampai sekarang telah semakin menjurus ke arah yang lebih rasional. Tujuan pemidanaan yang paling tua adalah pembalasan (revenge) atau untuk tujuan memuaskan pihak yang dirugikan atau yang menjadi korban kejahatan. Tujuan pemidanaan seperti ini adalah bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern ini. Unsur-unsur primitif dari hukum pidana yang demikian itu sukar untuk dihilangkan. Tujuan yang juga dipandang kuno yaitu penghapusan dosa (expiation) atau retribusi (retribution) yaitu melepaskan pelanggar hukum dari perbuatan jahat atau menciptaskan balance antara yang hak dan yang bathil.
Berkaitan dengan tujuan pemidanaan, paling tidak terdapat 3 golongan utama teori untuk membenarkan penjatuhan pidana yaitu :
1.    Teori absolut/teori pembalasan (vergeldingstheorien)
2.    Teori relatif atau teori tujuan (doeltheorien)
3.    Teori gabungan (verenigingstheorien)
Teori pertama muncul pada akhir abad ke-18, dianut antara lain oleh Immanuel Kant, Herbert, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya pada filsafat Katolik.
Teori pembalasan mengatakan, bahwa pemidanaan tidaklah bertujuan untuk hal-hal yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengandung unsur-unsur untuk dijatuhkannya pidana. Pidana secara multak ada, karena dilakukannya kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat penjatuhan pidana itu. Setiap kejahatan berakibat dijatuhkannya pidana pada si pelaku. Oleh karena itulah maka teori ini disebut teori absolut. Pidana merupakan tuntutan mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu keharusan. Hakekat suatu pemidanaan adalah pembalasan.
Teori tentang tujuan pemidanaan yang kedua yaitu teori relatif. Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaraan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi/pencegahan terjadinya kejahatan. Wujud pidana ini berbeda-beda, antara lain adalah berupa menakutkan, memperbaiki atau membinasakan. Lalu dibedakan antara prevensi umum dan prevensi khusus. Prevensi umum menghendaki agar orang-orang lain pada umumnya tidak melakukan delik.
Bentuk tertua dari prevensi umum dipraktekan sampai revolusi Perancis. Prevensi umum dilakukan dengan menakutkan orang-orang lain dengan jalan pelaksanaan pidana yang dipertontonkan di depan khalayak ramai.
Kadang-kadang pelaksanaan pidana yang telah diputuskan itu dipertontonkan di depan umum dengan sangat ganasnya, dengan tujuan supaya anggota masyarakat ngeri melihatnya. Untuk itu terkenal suatu adagium Latin yang berbunyi “nemo prudents punit, quia peccatum, sed net peccetur” (supaya khalayak ramai betul-betul takut melakukan kejahatan, maka perlu pidana yang ganas dan pelaksanaannya di depan umum).
Pada zaman Aufklarung abad ke-18, pelaksanaan pidana yang ganas ini ditentang secara besar-besaran. Terutama oleh Baccaria dalam bukunya Dei Delliti e delle pene.
Keberatan terhadap prevensi umum ini adalah dipergunakannya penderitaan orang lain untuk maksud prevensi umum. Bahkan ada kemungkinan orang yang tidak bersalah dipidana, dipergunakan untuk maksud prevensi umum tersebut.
Sebaliknya, prevensi khusus, yang dianut oleh van Hamel (Belanda) dan von Lizt (Jerman) mengatakan, bahwa tujuan prevensi khusus ialah mencegah niat buruk pelaku (dader) bertujuan mencegah bakal pelanggar mengulangi perbuatannya atau mencegah bakal pelanggar melaksanakan perbuatan jahat yang direncanakannya.
Maksud prevensi khusus dari suatu pemidanaan adalah :
1.   Bahwa pidana harus memuat suatu unsur menakutkan supaya mencegah penjahat yang mempunyai kesempatan untuk tidak melaksanakan niat buruknya.
2.   Dengan pemidanaan harus mempunyai unsur memperbaiki terpidana.
3.   Pemidanaan mempunyai unsur membinasakan penjahat yang tidak mungkin diperbaiki lagi, seperti dengan pidana mati.
4.   Tujuan satu-satunya suatu pemidanaan adalah mempertahankan tata tertib hukum.
Kemudian teori ketiga yaitu gabungan antara pembalasan dan prevensi/pencegahan terdapat beberapa variasi. Ada yang menitik beratkan pada pembalasan, dan ada pula yang menghendaki unsur pembalasan dan prevensi seimbang.
Yang pertama yaitu menitikberatkan pada unsur pembalasan yang antara lain dianut oleh Pompe, yang mengatakan bahwa orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan”.
Sedangkan teori gabungan yang kedua yaitu yang menitik beratkan pada pertahanan tata tertib masyarakat. Menurut teori ini, bahwa pidana yang dijatuhkan tidak boleh lebih berat dari pada akibat yang ditimbulkan dan gunanya juga tidak boleh lebih besar dari pada yang seharusnya.
Dalam Rancangan KUHP Nasional, Pasal 47 diatur masalah tujuan pemidanaan yaitu:
(1)  Pemidanaan bertujuan untuk:
Ke-1 Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat.
Ke-2 Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
Ke-3 Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
(2)  Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Bertitik tolak dari ketentuan Rancangan KUHP di atas, maka dapat dikatakan, bahwa substansi dalam ketentuan tersebut merupakan penjabaran dari teori gabungan dalam arti yang luas. Ia meliputi usaha prevensi, koreksi, kedamaian dalam masyarakat dan pembebasan rasa bersalah pada terpidana (mirip dengan expiation).
Dewasa ini sudah tidak ada lagi penganut teori pembalasan (absolut) yang klasik dalam arti bahwa pidana merupakan suatu keharusan demi keadilan belaka. Menurut Sudarto, kalau masih ada penganut teori pembalasan, mereka itu dikatakan sebagai teori pembalasan modern.
Dari apa yang diuraikan di atas, inilah agaknya menjadi pertimbangan dalam konsiderans dari Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menyebutkan, “bahwa sistem pemasyarakatan adalah merupakan rangkaian penegakan hukum yang bertujuan agar warga binaan pemasyarakatan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tidak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab”.
Lebih lanjut dalam penjelasan umumnya dinyatakan “Sistem kepenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga ‘rumah penjara’ secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga dan lingkungannya”.
Sejak tahun 1964, sistem pembinaan bagi narapidana dan anak pidana telah berubah secara mendasar, yaitu dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Begitu pula institusinya yang semula disebut rumah penjara dan rumah pendidikan negara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan berdasarkan Surat Instruksi Kepala Direktorat Pemasyarakatan Nomor J.H.G. 8/506 tanggal 17 Juni 1964 yang pada akhirnya diundangkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Sebagai implementasi dari perubahan sistem tersebut mengakibatkan pada perubahan pengaturan hak-hak narapidana yaitu seperti tecantum dalam Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yang menetapkan, bahwa narapidana berhak:
a.   Melakukan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya;
b.   mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani;
c.    Mendapatkan pendidikan dan pengajaran;
d.   Mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak;
e.    Menyampaikan keluhan;
f.     Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti mass media lainnya yang tidak dilarang;
g.    Mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukannya;
h.   Menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum, atau orang tertentu lainnya;
i.     Mendapat pengurangan masa pidana (remisi);
j.     Mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga;
k.   Mendapatkan pembebasan bersyarat;
l.     Mendapatkan cuti menjelang bebas;
m.  Mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sehubungan dengan Lembaga Pemasyarakatan sebagai wadah tempat melakukan proses pembinaan narapidana yang dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan, menurut Mulder “Bahwa pidana merampas kemerdekaan mengandung suatu ciri khas, yaitu bahwa dia adalah sementara. Terpidana akhirnya tetap diantara kita”.
Apa yang diuraikan di atas dapat pula dilihat dari perspektif teori relativitas, bahwa tidak ada perbuatan yang secara absolut terus menerus membahayakan masyarakat dan tidak ada pelaku tindak pidana yang mempunyai kesalahan absolut atau sama sekali tidak dapat diperbaiki atau memperbaiki dirinya sendiri. Berkaitan dengan perspektif teori relativitas ini, menarik untuk disimak apa yang ditulis oleh Habib Ur Rahman Khan “Bahwa apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka masyarakatlah yang justru membutuhkan perawatan/pembinaan bukan si penjahat”.
Secara manusiawi, terdapat kecenderungan bahwa orang yang telah dijatuhi pidana seumur hidup dan telah dikuatkan dengan penolakan grasi akan berbuat semaunya di dalam Lembaga Pemasyarakatan, karena dia berpikir bagaimanapun juga ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik, toh juga tidak akan mengalami perubahan pidana, tetap pidana seumur hidup. Sehingga jika ditilik dari sudut ini, maka ide pemasyarakatan akan mengalami kerancuan berhadapan dengan terpidana seumur hidup.

PENUTUP
Secara umum, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, tidak sedikitpun menggambarkan perlakuan terhadap narapidana seumur hidup. Dan jika sistem pemasyarakatan yang menekankan pada pembinaan dalam rangka resosialisasi, reeduksi, rehabilitasi maupun readaptasi terhadap para narapidana, maka narapidana seumur hidup dalam arti yang sesungguhnya justru sudah tidak mendapat kesempatan untuk berasimilasi secara total dengan masyarakat.
Dengan demikian jelas pidana ini, justru tidak menunjukan relevansi jika dihubungkan dengan tujuan yang hendak dicapai dengan sarana pemidanaan.
Oleh karena itu, adalah sangat beralasan sekali jika muncul pandangan yang keberatan terhadap pidana seumur hidup, yaitu jika dihubungkan dengan tujuan pemidanaan yaitu untuk memperbaiki terpidana supaya menjadi anggota masyarakat yang berguna, dapat menyadari kesalahannya, dan kelak setelah melalui proses pembinaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan dapat kembali hidup di tengah-tengah masyarakat.
Mencermati pidana positif yang mengatur masalah pidana seumur hidup, dalam hal ini harus dikaitkan dengan pemidanaan, dalam arti bahwa pemidanaan itu adalah bertujuan untuk pembalasan terhadap terpidana atau bertujuan menyingkirkan terpidana dari masyarakat supaya masyarakat aman dari ancaman perbuatan seperti yang dilakukan oleh terpidana. Atas dasar itu, maka dapat dikatakan tidak terdapat titik temu antara perumusan tujuan pemidanaan dalam hukum pidana positif dengan keberadaan dari terpidana yang dipidana dengan pidana sumur hidup dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana.
Dengan demikian, kiranya perlu dilakukan reformasi terhadap eksistensi dari lembaga pidana seumur hidup, yaitu seperti dengan memperlunak kebijakan pidana seumur hidup menjadi pidana seumur hidup bersyarat. Sehingga pengertian pidana seumur hidup tidak lagi bersifat absolut, melainkan pidana ini dapat berobah menjadi pidana penjara sementara sesuai dengan perkembangan perilaku selama pembinaan.

Daftar Rujukan
Andi Hamzah. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita. Cetakan Kedua.
Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. Cetakan Kesatu.
------------------------. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. Cetakan Pertama.
Bambang Purnomo. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty. Cetakan Pertama.
Jimly Asshiddiqie. 1995. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi Tentang Bentuk-bentuk Pidana Dalam Tradisi Hukum Figh dan Relevansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung : Angkasa. Cetakan Pertama.
Moeljanto. 1982. KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Jakarta : Bina Aksara.
------------. 1987. Azaz-azaz Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. Cetakan Pertama.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori Kebijakan Pidana. Bandung : Alumni. Cetakan Kedua.
Soedjono Dirdjosisworo. 1984. Sejarah dan Azaz-azaz Penologi (Pemasyarakatan). Bandung : Armico. Cetakan Pertama.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.



[1] Masalah pidana mati dalam hukum Islam, baca Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pidana Mati Dalam Syari’at Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1998 !
[2] Secara Panjang lebar masalah ini baca, Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986 !
[3] Lihat lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1995, dan Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: Sinar Grafika, 1996 !
[4] Lihat Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1986, hal. 1.
[5] P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Armico, 1988, hal. 49.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj