Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Minggu, 03 Februari 2013

MENYIKAPI STATISTIK KEJAHATAN

Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru 
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
              Statistik kejahatan dapat diartikan sebagai angka-angka yang menunjukkan atau menggambarkan jumlah kejahatan yang tercatat di suatu tempat dan waktu tertentu, baik yang disusun dalam bentuk grafik maupun tabel, misalnya jumlah kejahatan yang terjadi di suatu Kota X dalam kurun waktu 2012/2013. Jenis kejahatan yang dicatat itu misalnya pencurian, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan seterusnya.
             Secara umum, statistik kejahatan dapat membantu kita untuk memperoleh gambaran tentang kejahatan yang ada di masyarakat, yakni mengenai jumlah kejahatan, corak dan jenis serta perkembangan dan penyebarannya.
          
Bertolak dari uraian di atas, maka statistik kejahatan sesungguhnya mempunyai banyak fungsi. Dengan statistik kejahatan, pihak pemerintah (cq Kepolisian) dapat menentukan strategi dan arah kebijakan dalam penanggulangan kejahatan di suatu tempat pada masa yang akan datang.
             Dengan statistik kejahatan itu pula, kalangan akademisi dapat mengambil manfaat sebagai data untuk melakukan analisis tentang kejahatan, terutama dalam rangka penyusunan skripsi bagi mahasiswa Fakultas Hukum, khususnya yang mengambil bidang kajian hukum pidana dan kriminologi.
             Bagi masyarakat secara umum, statistik kejahatan dapat pula menjadi pedoman untuk melakukan antisipasi terhadap perkembangan kejahatan yang terjadi di kawasan tempat tinggalnya. Statistik kejahatan dapat dibuat oleh perorangan, pihak swasta maupun oleh instansi resmi pemerintah, seperti oleh kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan.
             Tanpa mengurangi arti statistik kejahatan lainnya, maka dalam tulisan ini, kajian akan difokuskan terutama terhadap statistik kejahatan resmi yang dibuat oleh instansi Kepolisian.
             Menurut Prof. Dr. I.S Susanto, S.H[1]., pada dasarnya para penyusun statistik kejahatan tidak berbeda dengan orang-orang lain yang dalam pekerjaannnya terpengaruh oleh kondisi sosial yang ada, kepentingan dari kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat, yang dapat menimbulkan selektiftas tertentu dalam pengumpulan data, yang semuanya turut membentuk corak dan isi statistik kejahatan.
             Oleh karenanya, penyelidikan sosiologi terhadap proses pembentukan statistik kejahatan dapat membantu memberikan kesadaran akan pengaruh-pengaruh yang mungkin belum atau kurang disadari. Sehingga tidak berlebihan apabila Shutherland menyatakan bahwa statistik kejahatan barangkali merupakan statistik sosial yang paling sulit dan paling tidak dipercayai.
             Masalah selektifitas atau pilih bulu dari sebelahnya akan menjadi jelas apabila ditelusuri bagaimana statistik kejahatan itu terbentuk. Ini bukan semata-mata masalah teknis dalam arti tergantung dari kemampuan pengumpulan dan pencatatan data kejahatan oleh polisi, akan tetapi terdapat faktor-faktor di luar kemampuan pencatat yang menyebabkan pencatatan kejahatan dilakukan, yaitu kondisi sosial tertentu yang dapat menimbulkan keadaan-keadaan tertentu, seperti keengganan pribadi. Ataupun kebijaksanaan yang ada dari kepolisian. Lagi pula semua pencatatan tergantung dari pelaporan terjadinya kejahatan atau suatu kejahatan yang pelakunya tertangkap tangan. Pelaporan ini jelas bukan menjadi pekerjaan korban dari suatu kejahatan.
             Berdasarkan uraian di atas, maka statistik kejahatan merupakan hasil pencatatan yang dilakukan oleh polisi, terutama berdasarkan kejahatan yang dilaporkan oleh korban atau warga masyarakat. Maka oleh sebab itu, statistik kejahatan bukanlah merupakan pencerminan kejahatan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat, karena terdapat suatu ketidakadilan, sebab yang dicatat hanya kejahatan yang bersifat tradisional (warungan) seperti pencurian, pembunuhan, perkosaan dan lain-lain, dan sangat langka pencatatan itu dilakukan terhadap kejahatan White Collar Crime.
             Begitu pula dalam menggambarkan kejahatan warungan, dia cendrung mencatat kejahatan-kejahatan tertentu lebih banyak, sementara kejahatan yang lain lebih sedikit dan bahkan sangat kecil, sehingga dengan demikian statistik kejahatan kepolisian bukanlah sampel yang sah (pars prototo) akan tetapi sekedar gambaran tentang aktifitas penegakan hukum (pidana).
             Statistik kejahatan seperti yang telah disingggung di atas, disusun berdasarkan kejahatan-kejahatan yang diketahui oleh warga masyarakat. Mengingat tujuan umum dari statistik kejahatan adalah untuk mengukur keadaan kriminalitas yang sebenarnya terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka pertanyaan yang muncul adalah, sampai seberapa jauh dan dengan syarat-syarat apa saja kejahatan yang tercatat itu dapat dianggap sebagai sampel yang tepat dari keseluruhan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.
             Kejahatan yang dicatat dalam statistik kejahatan adalah merupakan sampel dalam arti bahwa kejahatan yang dicatat sebagai cermin untuk melihat fluktuasi keadaan seluruh kejahatan, hanya dapat dibenarkan apabila dapat diasumsikan bahwa kejahatan yang dicatat sebagai cermin untuk melihat fluktuasi keadaan seluruh kejahatan, hanya dapat dibenarkan apabila dapat diasumsikan bahwa hubungan antara “jumlah seluruh kejahatan” dengan “yang tercatat” adalah tetap (konstan)[2]
             Asumsi yang dikehendaki tersebut dalam realitas tidak pernah terbukti dan diterima oleh para ahli dengan beberapa syarat. Dari pemikiran secara logis dan ditambah dengan hasil penelitian yang dilakukan diketahui, bahwa tidak semua macam kejahatan mempunyai perbandingan (ratio) “angka yang tercatat” dan “angka gelap” (yaitu angka kejahatan yang tidak diketahui/tercatat) yang sama[3].
             Perampokan bank dan pembunuhan misalnya, akan mempunyai “angka gelap” yang relatif kecil, sedangkan pencurian ringan dan penghinaan akan mempunyai angka gelap yang besar. Hal ini dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan macam-macam kejahatan tercatat manakah yang cukup dapat dipercaya (reliable) untuk menjadi cermin dari pada fluktuasi “derajat keseriusan” yang tinggi bagi masyarakat.
             Dalam kaitannya dengan laporan yang dijadikan sebagai sumber pencatatan bagi statistik kejahatan di instansi kepolisian, Steven Box berpendapat ada berbagai alasan yang dapat dikemukakan terhadap kelemahan laporan apabila laporan itu dijadikan sebagai sumber bagi statistik kejahatan kepolisian.
             Pertama, seseorang mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban, akan tetapi tidak bersedia melapor karena (a) menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan memperdulikan laporannya, (b) menganggap peristiwa yang menimpanya itu merupakan urusan pribadi, dalam pengertian akan menyelesaikannya di luar jalur peradilan pidana maupun (c) dikarenakan adanya perasaan malu jika harus dilaporkan (dibeberkan), yaitu seperti kasus perzinaan, perkosaan.
             Kedua, seseorang tidak mengetahui bahwa sesungguhnya dirinya telah menjadi korban dari suatu peristiwa kejahatan. Ketiga, korban yang sifatnya abstrak (abstract victim) dan karena sukar ditentukan secara khusus dan jelas (misalnya, masyarakat konsumen), keempat, korban mengalami peristiwa kejahatan karena dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan tersebut. Kelima, adanya perasaan takut dan khawatir karena apbila dilaporkan akan membutuhkan biaya terutama untuk transpor, atau apabila kejadian dilaporkan akan merepotkan pada waktu dilakukan pengusutan atau takut terhadap kemungkinan balas dendan dari si pelaku kejahatan.
             Berkenaan dengan statistik kejahatan ini, pertanyaan selanjutnya adalah, apanya yang dicatat dari laporan itu, kejadiannya ataukah pelakunya. Dalam hal pelakunya yang menjadi fokus pencatatan dan bukan kejadian, maka akan terjadi ketidaklengkapan data, karena hukum pidana mengenal beberapa konsep seperti “pelaku,” “orang yang turut serta melakukan” dan “orang yang membantu melakukan” serta “orang menyuruh melakukan” (lihat lebih lanjut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP !).
             Lalu apakah terhadap konsep-konsep ini, statistik kejahatan yang diterbitkan oleh kepolisian juga melakukan suatu hal yang layak untuk dipertanyakan dalam rangka menguji keabsahan suatu statistik kriminal.
            Oleh karena itu, bagi pihak pengguna data statistik kejahatan kepolisian, perlu menkonsumsinya secara cermat terhadap statistik kejahatan tersebut. Tidak semata-mata mengadopsi data tersebut sebagai cerminan atau gambaran kejahatan yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat.


[1] I.S. Susanto, Perkembangan Pandangan Tentang Statistik Kriminal, Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi di Semarang tanggal 14 – 30 Nopember 1994.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994, hal 15.
[3] Baca lebih lanjut, Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, hal 94 dan seterusnya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj