Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Statistik kejahatan dapat diartikan sebagai angka-angka yang
menunjukkan atau menggambarkan jumlah kejahatan yang tercatat di suatu tempat
dan waktu tertentu, baik yang disusun dalam bentuk grafik maupun tabel,
misalnya jumlah kejahatan yang terjadi di suatu Kota X dalam kurun waktu 2012/2013. Jenis kejahatan yang
dicatat itu misalnya pencurian, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan
seterusnya.
Secara umum,
statistik kejahatan dapat membantu kita untuk memperoleh gambaran tentang
kejahatan yang ada di masyarakat, yakni mengenai jumlah kejahatan, corak dan
jenis serta perkembangan dan penyebarannya.
Dengan statistik
kejahatan itu pula, kalangan akademisi dapat mengambil manfaat sebagai data untuk
melakukan analisis tentang kejahatan, terutama dalam rangka penyusunan skripsi
bagi mahasiswa Fakultas Hukum, khususnya yang mengambil bidang kajian hukum pidana dan
kriminologi.
Bagi masyarakat
secara umum, statistik kejahatan dapat pula menjadi pedoman untuk melakukan
antisipasi terhadap perkembangan kejahatan yang terjadi di kawasan tempat
tinggalnya. Statistik kejahatan dapat dibuat oleh perorangan, pihak swasta
maupun oleh instansi resmi pemerintah, seperti oleh kepolisian, kejaksaan,
kehakiman dan lembaga pemasyarakatan.
Tanpa mengurangi
arti statistik kejahatan lainnya, maka dalam tulisan ini, kajian akan
difokuskan terutama terhadap statistik kejahatan resmi yang dibuat oleh
instansi Kepolisian.
Menurut Prof. Dr.
I.S Susanto, S.H[1].,
pada dasarnya para penyusun statistik kejahatan tidak berbeda dengan
orang-orang lain yang dalam pekerjaannnya terpengaruh oleh kondisi sosial yang
ada, kepentingan dari kelompok tertentu yang ada dalam masyarakat, yang dapat
menimbulkan selektiftas tertentu dalam pengumpulan data, yang semuanya turut
membentuk corak dan isi statistik kejahatan.
Oleh karenanya,
penyelidikan sosiologi terhadap proses pembentukan statistik kejahatan dapat
membantu memberikan kesadaran akan pengaruh-pengaruh yang mungkin belum atau
kurang disadari. Sehingga tidak berlebihan apabila Shutherland menyatakan bahwa
statistik kejahatan barangkali merupakan statistik sosial yang paling sulit dan
paling tidak dipercayai.
Masalah
selektifitas atau pilih bulu dari sebelahnya akan menjadi jelas apabila ditelusuri
bagaimana statistik kejahatan itu terbentuk. Ini bukan semata-mata masalah
teknis dalam arti tergantung dari kemampuan pengumpulan dan pencatatan data
kejahatan oleh polisi, akan tetapi terdapat faktor-faktor di luar kemampuan
pencatat yang menyebabkan pencatatan kejahatan dilakukan, yaitu kondisi sosial
tertentu yang dapat menimbulkan keadaan-keadaan tertentu, seperti keengganan
pribadi. Ataupun kebijaksanaan yang ada dari kepolisian. Lagi pula semua
pencatatan tergantung dari pelaporan terjadinya kejahatan atau suatu kejahatan
yang pelakunya tertangkap tangan. Pelaporan ini jelas bukan menjadi pekerjaan
korban dari suatu kejahatan.
Berdasarkan uraian
di atas, maka statistik kejahatan merupakan hasil pencatatan yang dilakukan
oleh polisi, terutama berdasarkan kejahatan yang dilaporkan oleh korban atau
warga masyarakat. Maka oleh sebab itu, statistik kejahatan bukanlah merupakan
pencerminan kejahatan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat, karena terdapat
suatu ketidakadilan, sebab yang dicatat hanya kejahatan yang bersifat
tradisional (warungan) seperti pencurian, pembunuhan, perkosaan dan lain-lain,
dan sangat langka pencatatan itu dilakukan terhadap kejahatan White Collar
Crime.
Begitu pula dalam
menggambarkan kejahatan warungan, dia cendrung mencatat kejahatan-kejahatan
tertentu lebih banyak, sementara kejahatan yang lain lebih sedikit dan bahkan
sangat kecil, sehingga dengan demikian statistik kejahatan kepolisian bukanlah
sampel yang sah (pars prototo) akan tetapi sekedar gambaran tentang
aktifitas penegakan hukum (pidana).
Statistik
kejahatan seperti yang telah disingggung di atas, disusun berdasarkan
kejahatan-kejahatan yang diketahui oleh warga masyarakat. Mengingat tujuan umum
dari statistik kejahatan adalah untuk mengukur keadaan kriminalitas yang
sebenarnya terjadi dalam kehidupan masyarakat, maka pertanyaan yang muncul
adalah, sampai seberapa jauh dan dengan syarat-syarat apa saja kejahatan yang
tercatat itu dapat dianggap sebagai sampel yang tepat dari keseluruhan yang
terjadi dalam kehidupan masyarakat.
Kejahatan yang
dicatat dalam statistik kejahatan adalah merupakan sampel dalam arti bahwa
kejahatan yang dicatat sebagai cermin untuk melihat fluktuasi keadaan seluruh
kejahatan, hanya dapat dibenarkan apabila dapat diasumsikan bahwa kejahatan
yang dicatat sebagai cermin untuk melihat fluktuasi keadaan seluruh kejahatan,
hanya dapat dibenarkan apabila dapat diasumsikan bahwa hubungan antara “jumlah
seluruh kejahatan” dengan “yang tercatat” adalah tetap (konstan)[2]
Asumsi yang
dikehendaki tersebut dalam realitas tidak pernah terbukti dan diterima oleh
para ahli dengan beberapa syarat. Dari pemikiran secara logis dan ditambah
dengan hasil penelitian yang dilakukan diketahui, bahwa tidak semua macam
kejahatan mempunyai perbandingan (ratio) “angka yang tercatat” dan
“angka gelap” (yaitu angka kejahatan yang tidak diketahui/tercatat) yang sama[3].
Perampokan bank
dan pembunuhan misalnya, akan mempunyai “angka gelap” yang relatif kecil,
sedangkan pencurian ringan dan penghinaan akan mempunyai angka gelap yang
besar. Hal ini dipergunakan sebagai dasar untuk menentukan macam-macam
kejahatan tercatat manakah yang cukup dapat dipercaya (reliable) untuk
menjadi cermin dari pada fluktuasi “derajat keseriusan” yang tinggi bagi
masyarakat.
Dalam kaitannya
dengan laporan yang dijadikan sebagai sumber pencatatan bagi statistik
kejahatan di instansi kepolisian, Steven Box berpendapat ada berbagai alasan
yang dapat dikemukakan terhadap kelemahan laporan apabila laporan itu dijadikan
sebagai sumber bagi statistik kejahatan kepolisian.
Pertama,
seseorang mengetahui bahwa dirinya telah menjadi korban, akan tetapi tidak
bersedia melapor karena (a) menganggap polisi tidak efisien atau tidak akan
memperdulikan laporannya, (b) menganggap peristiwa yang menimpanya itu merupakan
urusan pribadi, dalam pengertian akan menyelesaikannya di luar jalur peradilan
pidana maupun (c) dikarenakan adanya perasaan malu jika harus dilaporkan
(dibeberkan), yaitu seperti kasus perzinaan, perkosaan.
Kedua,
seseorang tidak mengetahui bahwa sesungguhnya dirinya telah menjadi korban dari
suatu peristiwa kejahatan. Ketiga, korban yang sifatnya abstrak (abstract
victim) dan karena sukar ditentukan secara khusus dan jelas (misalnya,
masyarakat konsumen), keempat, korban mengalami peristiwa kejahatan
karena dirinya sendiri terlibat dalam kejahatan tersebut. Kelima, adanya
perasaan takut dan khawatir karena apbila dilaporkan akan membutuhkan biaya
terutama untuk transpor, atau apabila kejadian dilaporkan akan merepotkan pada
waktu dilakukan pengusutan atau takut terhadap kemungkinan balas dendan dari si
pelaku kejahatan.
Berkenaan dengan
statistik kejahatan ini, pertanyaan selanjutnya adalah, apanya yang dicatat
dari laporan itu, kejadiannya ataukah pelakunya. Dalam hal pelakunya yang
menjadi fokus pencatatan dan bukan kejadian, maka akan terjadi ketidaklengkapan
data, karena hukum pidana mengenal beberapa konsep seperti “pelaku,” “orang
yang turut serta melakukan” dan “orang yang membantu melakukan” serta “orang
menyuruh melakukan” (lihat lebih
lanjut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP !).
Lalu apakah terhadap
konsep-konsep ini, statistik kejahatan yang diterbitkan oleh kepolisian juga
melakukan suatu hal yang layak untuk dipertanyakan dalam rangka menguji
keabsahan suatu statistik kriminal.
Oleh karena itu,
bagi pihak pengguna data statistik kejahatan kepolisian, perlu menkonsumsinya
secara cermat terhadap statistik kejahatan tersebut. Tidak semata-mata
mengadopsi data tersebut sebagai cerminan atau gambaran kejahatan yang terjadi
di tengah-tengah kehidupan masyarakat.
[1] I.S. Susanto, Perkembangan Pandangan Tentang Statistik Kriminal,
Makalah disampaikan pada Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi di
Semarang tanggal 14 – 30 Nopember 1994.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi Dan Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan Dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia,
1994, hal 15.
[3] Baca lebih lanjut, Made Darma Weda, Kriminologi, Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 1996, hal 94 dan seterusnya !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar