Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Kamis, 24 Januari 2013

R O N D A

Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.

Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru 
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)


Beberapa tahun belakangan, Pekanbaru, kota bertuah, pernah mengalami kerawanan dalam bentuk meningkatnya kejahatan pencurian, terutama di malam hari, dan konon penjahatnya disinyalir berasal dari daerah Sumatera Utara dan Nanggro Aceh Darussalam (NAD), dan di lain pihak ada yang mengatakan berasal dari Sumatera Selatan. 

Terlepas dari mana asal penjahat itu, yang jelas hampir di tiap-tiap Rukun Tetangga (RT) ketika itu, melaksanakan ronda malam dalam rangka mewaspadai kejahatan tersebut. 
Suasana lain yang mengharuskan pula kepada penduduk untuk melakukan siskamling (Sistem Keamanan Lingkungan), di samping apa yang diuraikan di atas, adalah saat-saat menjelang pesta demokrasi, Pemilu (Pemilihan Umum). 
Agaknya sudah merupakan suatu kebiasaan, jika peronda memergoki maling dan untuk kemudian secara bersama-sama dengan peronda lain mengejar dan menangkap serta menghajar si maling itu sampai babak belur, baru setelah itu menyerahkannya ke Kantor Polisi terdekat untuk diproses lebih lanjut. 
Memang dapat dipahami tindakan anggota masyarakat peronda tersebut, yang seharusnya tidur nyenyak di malam hari, karena bukan habitatnya untuk berjaga sampai menjelang subuh, lalu diharuskan untuk meronda, dan jika betul-betul terjadi pencurian di wilayah hukum peronda, bukankah emosional lebih menonjol dibandingkan dengan rasional pada saat-saat genting tersebut ? Maka adalah wajar jika terjadi tindakan pemukulan terhadap sang maling itu. 
Kajian lebih lanjut justru tidak wajar kalau anggota masyarakat peronda itu disalahkan seratus persen dikarenakan telah melakukan penganiayaan terhadap si maling. Artinya dari sudut hukum pidana adalah benar peronda telah melanggar ketentuan Pasal 351 KUHP yaitu karena peronda telah melakukan penganiayaan (memukul-red) orang lain (maling). Namun dalam penerapan hukumannya (pidana) adalah tidak adil jika seratus persen kesalahan hanya ditimpakan pada peronda. 
 Apa yang penulis uraikan di atas, berangkat dari suatu kerangka logika, benarkah bahwa masalah keamanan dan ketertiban masyarakat merupakan tanggung jawab kita bersama ? Bukankah pelaku utama untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dari ancaman kejahatan adalah merupakan tugas dan tanggungjawab dari aparat kepolisian. Sedangkan masyarakat dalam hal ini adalah sebagai pembantu atau pendukung bagi kelancaran tugas tersebut. Maka oleh sebab itu, konsep pendukung atau pembantu tidak dapat disamakan dengan konsep pelaku utama. 
 Sebagai suatu ilustrasi, jika sekelompok mahasiswa melakukan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di suatu desa tertentu, maka tugas utama dari mahasiswa-mahasiswa itu adalah sebagai motivator dalam rangka mengajak anggota masyarakat untuk membersihkan parit, misalnya. Jadi bukan mahasiswa yang masuk ke parit sementara anggota masyarakat hanya menonton dari atas, karena memang tugasnya hanya memotivasi. Tapi kalau terjadi keadaan sebaliknya, dimana anggota masyarakat yang menonton sementara yang bekerja keras adalah mahasiswa, bukankah ini lucu namanya ? Tapi paling tidak kerjasama dalam artian sama-sama masuk ke parit, namun yang menjadi pelaku utama untuk kerja keras tetap adalah anggota masyarakat. 
Kembali pada pokok persoalan, tindakan main hakim sendiri yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat dalam batas-batas tertentu justru mendapat alasan pembenar dari ketentuan hukum pidana. Sebagai contoh, jika seorang (A) dipukul oleh orang lain (B), maka A dalam hal ini akan mati konyol kalau membiarkan diri tetap terus dipukul B, dengan maksud menunggu bantuan atau pertolongan dari polisi. 
Mustahil polisi dapat memberikan pertolongan pada saat dan seketika itu juga. Oleh karenanya A akan mati konyol kalau tetap berprinsip bahwa dengan melakukan pemukulan kembali terhadap orang lain (B) adalah merupakan perbuatan pidana, karena melakukan tindakan main hakim sendiri, sehingga ia akan dipidana nantinya. Prinsip demikian sungguh keliru. Karena dalam batas-batas tertentu tindakan memukul kembali justru dibenarkan dalam menghadapi serangan dari orang lain. 
 Hal ini dilatar belakangi oleh luasnya wilayah hukum yang tidak seimbang dengan jumlah personil polisi dalam rangka memberikan pengayoman kepada masyarakat. Kemudian didukung pula oleh kurangnya sarana dan prasarana yang memadai dalam mewujudkan tugasnya tersebut. 
Berbicara masalah tugas polisi adalah merupakan bagian yang sangat menarik, yaitu sebagai pelindung dan pengayom masyarakat. Apabila bagian tugas yang relatif jelas perumusannya adalah polisi sebagai penegak hukum, maka tidak demikian halnya dengan tugas polisi sebagai pelindung dan pengayom masyarakat itu. Tugas yang disebut terakhir ini demikian luas ruang lingkupnya sehingga sulit untuk bisa merumuskannya dengan baik. 
Terlepas dari itu, kenyataan menunjukkan, bahwa jumlah aparat kepolisian saat ini sungguh tidak ideal dibandingkan dengan jumlah penduduk yang akan diayominya. Jadi walaupun perumusan pengayoman dan pelindung kepada masyarakat itu dikongkritkan dalam ketentuan undang-undang, tugas itu tetap tidak akan berjalan dengan sempurna, kalau ratio perbandingan jumlah aparat polisi dengan penduduk masih tidak seimbang, maka selama itu pula pengayoman itu tidak akan diperoleh masyarakat secara maksimal. 
Sebagai contoh, berdasarkan data yang penulis peroleh, bahwa personil di sebuah Polsek di dalam wilayah Kota Pekanbaru mulai dari pangkat yang terendah sampai yang tertinggi, adalah berjumlah 39 orang, termasuk di dalamnya yang bertugas di pos-pos polisi. Sementara penduduk yang akan diayominya adalah berjumlah 97.766 orang. Maka perbandingannya akan diperoleh 1 : 2506. Artinya tiap satu orang personil polisi yang bertugas di Polsek tersebut akan bertugas mengayomi sebanyak 2506 orang. Data ini memberikan indikator sebagai suatu perbandingan yang sangat tidak ideal. 
Walaupun sebenarnya dalam hal tertentu, menurut penulis, Polsek tersebut bisa saja meminta bantuan ke Polresta atau ke Polda dalam rangka menangani suatu kasus, namun secara logika, bahwa aparat personil yang ada di Polsek tersebut berperan utama dan bertanggung jawab langsung terhadap keamanan dan ketentraman masyarakat di wilayah hukumnya. 
Persoalannya, apakah mungkin dengan jumlah personil yang demikian itu mampu untuk memberikan pengayoman berhadapan dengan wilayah yang begitu luas dan penduduk yang begitu banyak ? 
Kalau melihat ratio perbandingan serupa itu, maka sesungguhnya yang menjadi pelaku utama dalam rangka keamanan dan ketenteraman masyarakat lalu beralih kepada masyarakat itu sendiri, salah satu wujudnya adalah lewat kegiatan ronda itu. 
Tapi seperti dikatakan di atas, bukankah yang menjadi pelaku utama dalam hal keamanan dan ketenteraman masyarakat dari ancaman kejahatan itu adalah polisi, sedangkan masyarakat hanya sebagai pendukung terhadap kelancaran tugas dari pelaku utama tadi ? 
Kalau demikian halnya, maka sesungguhnya yang terjun ke parit dan bergelimang lumpur itu adalah masyarakat. Betapa tidak, anggota masyarakat saat ini yang mengejar dan menangkap penjahat di kegelapan malam dan kemudian menyerahkannya ke kantor polisi. Kalau demikian halnya, meminjam istilah Satjipto Rahardjo, yang selama ini mengatakan bahwa hakim dan jaksa adalah sebagai penegak hukum “gedongan” dan polisi sebagai aparat penegak hukum jalanan, maka sekarang, jika dilihat dari sisi lain, polisi justru juga termasuk penegak hukum gedongan, hanya menerima penjahat yang diserahkan oleh peronda, untuk kemudian memberkaskannya di kantor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj