Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Pada setiap putusan pengadilan
akan terdapat rumusan judul yang berbunyi, “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Rumusan seperti ini berlaku untuk
semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan. Hal ini mengadung arti bahwa
proses peradilan di Indonesia dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Konsekuensi dari tidak tercantumnya rumusan tersebut dalam putusan pengadilan, dapat mengakibatkan
putusan pengadilan yang bersangkutan batal demi hukum. Artinya, eksistensi dari
putusan pengadilan itu tidak diakui keabsahannya.
Di atas disebutkan, bahwa
hakim dalam mengadili sesuatu perkara akan berpedoman/berdasarkan kepada hukum,
namun pertanggung jawaban akhir dari putusannya itu diserahkan kepada yang
“gaib”, yaitu dengan rumusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Mengapa tidak menggunakan, misalnya dengan rumusan “Demi Keadilan
Berdasarkan Hukum” ? Bukankah hakim dalam mengadili berpedomankan kepada
hukum ? Maka selayaknyalah hasil pertimbangannya berupa keadilan itu dikembalikan
pula kepada hukum sebagai tempat pedomannya ? Adakah hukum tidak identik degan
keadilan ?
Yang jelas bahwa hukum adalah
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam
hal ini hukum yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan
hukum inilah hukum itu menjadi keyataan. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur
yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan.
Hukum harus dilaksanakan dan
ditegakkan. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal
terjadinya peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
berlaku; pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang: fiat justitia et pereat
mundus (meskipun langit akan runtuh, hukum harus ditegakkan). Itulah yang
diinginkan oleh kepastian hukum[1].
Hukum adalah untuk manusia.
Maka pelaksanaan hukum atau penegakkan hukum haruslah memberi manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan malah timbul keresahan di dalam masyarakat.
Unsur yang ketiga adalah
keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum, keadilan diperhatikan. Artinya, dalam penegakan hukum haruslah
mempertimbangkan faktor keadilan. Hukum tidak identik degan keadilan[2].
Aturan hukum adalah bersifat umum dan bersifat
menyamaratakan serta abstrak, sedangkan penerapannya adalah bersifat konkret
dan kasuistis, sehingga antara kasus yang satu dengan kasus yang lain dengan
menggunakan aturan hukum yang sama, namun dalam penerapan hukumnya seringkali
tidak sama. Hal ini terjadi karena proses pertimbanan dalam rangka penerapan
hukum tergantung pada kasus per kasus.
Sebagai contoh, aturan hukum
untuk pencurian biasa ¾yaitu pasal 362 KUHP¾ yang menetapkan, “Barang siapa
mengambil sesuatu barang yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain,
dengan maksud memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan
pidana penjara paling lama 5 tahun …” Adapun yang menjadi stresing di sini
adalah “….dengan pidana penjara paling lama lima tahun….” Jika dalam
kenyataan terdapat seseorang, misalnya Fulan mencuri sepotong roti hanya
sekedar untuk mengganjal perutnya yang sedang lapar, lalu adakah sama
hukumannya dengan seorang Badu yang juga mencuri roti, akan tetapi
digunakan sebagai menambah kekayaan ? Adakah Fulan dan Badu itu sama-sama dihukum 5 tahun penjara karena perbuatan pencuriannya itu.
Kalau ditinjau dari sudut kriminologi, si Fulan mencuri dikarenakan lapar
sedangkan latar belakang si Badu melakukan pencurian karena ingin kaya (congok).
Dengan latar belakang yang berbeda mengakibatkan hukumannyapun juga berbeda,
justru jika hukumannya sama itulah yang tidak adil, gelijke gevallen,
gelijke behandellen (peristiwa-peristiwa yang sama harus diperlakukan
sama).
Dalam hukum pidana, sehubungan
dengan kasus di atas, berdasarkan Pasal 12 ayat (2) KUHP menetapkan bahwa
pidana penjara selama waktu tertentu sekurang-kurangnya adalah 1 (satu) hari.
Nah penetapan hukuman dalam rangka penegakan keadilan oleh hakim, dalam hal ini
bergerak dalam batas interval antara 1 hari sampai dengan 5 tahun penjara.
Artinya hakim bebas bergerak menetapkan hukuman untuk perbuatan pencurian yang
dilakukan Fulan dan Badu tersebut di atas antara hukuman satu hari
sampai 5 tahun penjara. Jika melihat kasus antara Badu dibandingkan dengan kasus Fulan, jelas tidak sama hukumannya, yaitu karena
perbedaan latar belakang dari masing-masing pelaku tersebut, walaupun
menggunakan aturan hukum yang sama yaitu Pasal 362 KUHP.
Itulah sebabnya, seperti
dikatakan di atas, bahwa aturan hukum pada umumnya adalah bersifat
menyamaratakan. Jadi, seperti aturan hukum tersebut di atas, mengandung arti
bahwa setiap orang (barang siapa, artinya siapa saja) yang mencuri dihukum
maksimal 5 tahun penjara. Kemudian dalam penerapannya akan terjadi fluktuasi
hukuman. Terjadinya fluktuasi ini adalah diakibatkan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhi keadaan si pelaku itu sendiri serta keadaan perbuatannya. Hal
inilah yang disebut dengan disparitas pidana[3].
Ilustrasi lain dalam kajian
bidang victimologi adalah, jika pada suatu malam, kira-kira pukul 22.00
WIB seorang cewek yang cukup lumayan, berjalan sendirian di bawah terpaan lampu
jalan yang rada remang-remang, dengan menggunakan pakaian yang serba
mini dan sedikit you can see, yang saat itu suasana agak gerimis, dan
melewati segerombolan pemuda, andaikata terjadi pemerkosaan terhadap si cewek
(Sebutlah namanya Miliwati), maka alangkah tidak adilnya jika seratus persen
kesalahan hanya ditimpakan pada sang pemuda yang memperkosa itu sendiri. Karena
bagaimanapun juga si Mili itu sendiri sebenarnya juga mempunyai andil/saham untuk
terjadinya pemerkosaan terhadap dirinya. Bukankah dengan berpakaian mini,
berjalan sendirian di malam hari itu sama artinya dengan memancing pemuda yang
melihatnya untuk memperkosa dirinya ?
Aturan hukum untuk kasus
pemerkosaan, yaitu Pasal 285 KUHP yang menetapkan “Barang siapa dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena pemerkosaan, dengan pidana penjara paling
lama 12 tahun”. Sekali lagi adalah tidak adil jika pemuda pemerkosa itu
harus dihukum maksimal 12 tahun penjara, karena seperti dikatakan di atas, si
Mili itu sendiri juga mempunyai kesalahan. Jadi kalau mau dimatematika-kan,
kesalahan itu dibagi dua, sehingga sang pemerkosa mendapat hukuman 6 tahun
penjara.
Itulah sebabnya untuk
menegakkan keadilan, bukan suatu hal yang murah dan mudah. Keadilan membutuhkan
kearifan. Di samping itu, khususnya dalam bidang hukum pidana, dibutuhkan pula
ilmu bantu dan para ahli dari berbagai disiplin ilmu lain, seperti psikiater, psikolog, sosiolog, kriminolog, dokter, viktimolog dan
lain sebagainya. Maka untuk itulah dalam penjelasan umum UU No. 14 Tahun 1970
(sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009)
ditetapkan syarat batiniah kepada para hakim dalam menjalankan keadilan sebagai
suatu pertanggung jawaban yang lebih berat dan mendalam dalam menginsyafkan
kepadanya, bahwa karena sumpah jabatannya dia tidak hanya bertanggung jawab
kepada hukum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi lebih dari itu
harus bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam UU ini
dirumuskan dengan ketentuan bahwa peradilan dilakukan Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hai, orang yang beriman !
tegakkanlah keadilan sebagai saksi karena Allah, dan janganlah kebencian
mendorong kamu berlaku tidak adil. Berlaku adillah, itu lebih dekat kepada
taqwa, bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah tahu benar apa yang kamu
lakukan (QS Al-Maidah
5-8). Dalam menegakkan keadilan, janganlah kebencian mendorong berbuat tidak
adil. Artinya jika pak Hakim emosi pada waktu sedang mengadili, hentikanlah
proses peradilan, tunggu sampai reda. Karena emosi lebih dipengaruhi oleh
setan, sehingga pertimbangan pada akhirnya tidak lagi rasional. Hakim adalah
wakil Tuhan di bumi dalam menegakkan keadilan[4]. Kendatipun keadilan yang hakiki hanya
ada pada Tuhan semata-mata, namun upaya untuk mendekati keadilan harus tetap
diusahakan semaksimal mungkin.
Betapa indahnya ajaran Islam, bahwa jika sang
hakim bersungguh-sungguh dalam menegakkan kadilan sehingga putusannya
tepat/benar, maka si hakim akan memperoleh dua pahala. Namun jika putusannya
salah, tapi ia telah bersungguh-sungguh berupaya menegakan keadilan, maka
pahalanya satu yaitu pahala ijtihad, tanpa dosa. Sehubungan dengan itu, Nabi
melalui sabdanya menyatakan “Bahwa diantara hakim yang menegakkan keadilan,
2/3 menjadi calon penghuni neraka”. Artinya banyak hakim penghuni neraka
daripada penguni surga Nauzubillahi minzalik.
[1] Tentang hal ini, baca lebih lanjut, Soetandyo Wignjosoebroto, Kepastian
Hukum Dan Kekuasaan Pengadilan, Makalah disampaikan dalam pertemuan Dosen
Pengajar/Peminat Sosiologi Hukum se Jawa Tengah dan DIY, diselenggarakan oleh
Fakultas Hukum Universitas Muria Kudus bekerja sama dengan Bagian Hukum dan
Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang tanggal 24 – 26
Nopember 1995 !
[2] Sudikno Mertokusumo, mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta:
Liberty, 1988,
hal. 134 –135.
[3] Tentang Disparitas Pidana ini, baca lebih lanjut, Muladi dan Barda
Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992, (Edisi Revisi) hal. 52
dan seterusnya ! Dan baca juga, Made Darma Weda, Kronik Dalam Penegakan
Hukum Pidana, Jakarta:
Guna Widya, 1999, hal. 79 dan seterusnya !
[4] Bismar Siregar, Renungan Hukum Dan
Iman, Jakarta: PT Pustaka Karya, 1990, hal 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar