Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 19 September 2012

KOMPENSASI SEBAGAI BENTUK TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN MASYARAKAT (Kajian dalam Hukum Pidana Indonesia)



Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum 
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Kebijakan terhadap perlindungan kepentingan korban merupakan bagian yang integral dari usaha meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur tangan secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap nasib korban secara kongkrit dan individual, salah satunya adalah dalam bentuk kompensasi.[1]
Dalam kaitan ini, Arif Gosita[2] menulis alasan-alasan utama ganti kerugian (kompensasi) kepada korban oleh negara antara lain adalah sebagai berikut:
1.          Kewajiban negara untuk melindungi warga negaranya;
2.          Tidak cukupnya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku pada korban;
3.          Ketidaklayakan pembahagian hasil;
4.          Pandangan Sosiologi bahwa terjadinya perbuatan pidana adalah merupakan kesalahan masyarakat pada umumnya.
Dalam kaitan ini, Made Darma Weda berpendapat, negara melalui aparaturnya berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah, perbuatan pidana yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula.[3] Sehingga, di samping melakukan pengusutan (tindakan) terhadap pelaku perbuatan pidana, negara juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan korban, dalam arti hak-hak korban juga harus diberdayakan dalam system peradilan pidana.
Di samping apa yang diuraikan di atas, Andi Mattalatta[4] dalam kaitan ini menambahkan, “Kaitan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran, bahwa negara berkewajiban untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan para warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya.”
Dalam hubungannya dengan tugas negara untuk melindungi secara konkret dan individual terhadap korban, Mardjono Reksodiputro[5] menulis ada dua arus bawah yang perlu diketahui yang mungkin telah membawa Viktimologi (sebagai ilmu yang mempelajari tentang korban) muncul dan menarik perhatian para scientist. Pertama adalah, berdasarkan pada kerangka pemikiran, bahwa negara turut bersalah dalam hal terjadinya penimbulan korban (viktimisasi), dan karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi (compensation) kepada si korban, di samping kemungkinan adanya restitusi (restitution) yang diberikan oleh si pelaku kepada korban. Kedua adalah, aliran pemikiran baru dalam Kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivistis (yang mencari sebab musabab perbuatan pidana, etiologi kriminal) dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam system peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (pendekatan Kriminologi kritis, critical criminology).
Kedua pemikiran di atas telah membuka dimensi-dimensi baru dalam melihat gejala perbuatan pidana ini, cara-cara penanggulangannya dan peranan negara serta masyarakat dalam hal terjadinya perbuatan pidana itu.
Sebagai bahan perbandingan, sebelum diundangkannya peraturan tentang kompensasi di Nederland (yang selanjutnya berlaku sebagai Wet voorlopige regeling schadefonds geweld-misrijven [Wet 26 Juni 1975 Stb. 382]), Menteri Kehakiman Belanda ketika itu, dihadapan Parlemen Belanda, mengemukakan alasan mengapa masyarakat sebagai keseluruhan mempunyai tanggung jawab terhadap korban dari perbuatan pidana kekerasan. Tanggung jawab itu didasarkan atas tiga hal, yaitu:[6]
Pertama, tanggung jawab itu dihubungkan dengan keadaan bahwa penguasa menyatakan beberapa perbuatan tertentu sebagai pelanggaran berat dan penyerangan terhadap ketertiban hukum yang berat. Sebagai kelanjutan dari pengancaman dengan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan itu maka dapat dipikirkan adanya suatu tugas dari penguasa untuk meringankan atau menghilangkan akibat dari perbuatan itu.[7]
Kedua, yang bersifat lebih filsafati: masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan halus dari perbuatan manusia, sehingga setiap orang dalam arti manusiawi pada umumnya “ikut bersalah” atas apa yang akhirnya menjelma sebagai kesalahan seorang oknum/pelaku yang melakukan perbuatan pidana. Singkatnya, di sini ada solidaritas dengan orang yang menjadi korban kejahatan.
Ketiga, partimbangan yang penting untuk politik hukum, peraturan itu dipandang mempunyai pengaruh mendamaikan atau menyelesaikan konflik (conflict oplossing), apabila ada penggarapan khusus demi para korban dari perbuatan pidana maka iklim sosial-psikologis menjadi baik untuk memperlakukan si pembuat dengan cara yang paling menguntungkan dipandang dari sudut prevensi sosial.
Bertolak dari pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat serta melalui aparat penegak hukumnya, memberikan jaminan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat, maka atas dasar ini, menurut Kunter,[8] korban mempunyai hak untuk mengklaim negara. Dalam menyatakan pendapatnya ini, Kunter memberi contoh adanya tanggung jawab pabrik/perusahaan terhadap pekerjanya. Penderitaan, kecelakaan yang dialami pekerja merupakan tanggung jawab pabrik/perusahaan. Demikian pula halnya dalam kaitan antara negara dengan warga negaranya (masyarakat).
Untuk mendorong implementasi tanggung jawab pihak ketiga sebagai pelaku, pemerintah harus berperan melalui kebijakan yang mengikat. Tentunya dengan pemberian sanksi jika tidak dijalankan pihak ketiga atau pelaku tersebut. Namun, peran pemerintah dibatasi secara ketat oleh undang-undang dan konstitusi. Karena pada asasnya, Hak Asasi Manusia sipil dan politik merupakan hak-hak negatif (negative right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi atau terlihat minus. Hal ini penting diutarakan mengingat masih banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya. Sedangkan untuk Hak Asasi Manusia Ekonomi, Sosial, Budaya, merupakan hak-hak positif (positive rights) yang justru menuntut negara berperan maksimal dalam pemenuhannya.
Dalam konteks tanggung jawab pemerintah bagi korban kejahatan, menurut hemat penulis, merupakan perpaduan yang seimbang dari Hak Asasi Manusia Sipil, Politik dan Hak Asasi Manusia Ekonomi, Sosial, Budaya yang merupakan dua sisi dari mata uang. Dua sisi dari unsur perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia universal yang sekarang berusia lebih dari 60 tahun. Semoga di usianya yang sudah matang ini, deklarasi itu dapat mengemban tugasnya mengayomi seluruh bangsa di dunia dalam semangat kebersamaan untuk mencapai perdamaian abadi. Tentunya hal ini berpulang pada kerja sama antarbangsa di dunia yang mengaku dirinya beradab.
Terkait dengan masalah kompensasi ini, negara-negara lain juga sudah memberikan regulasi normatif untuk memberikan landasan legalitas terhadap eksistensi kompensasi bagi korban kejahatan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban mengatur lembaga yang bertugas memberikan perlindungan kepada korban termasuk masalah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Lembaga tersebut adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berkedudukan di ibu kota negara, Jakarta.
Berbagai negara di dunia dimaksud telah mengatur tentang kompensasi, diantaranya Inggris dengan British Commend paper of 1961 and 1964, di New Zealand dengan New Zealand Compensation Act of 1963 dan Australia dengan Criminal Injuries Compensation Act 1967.
Ketentuan-ketentuan tersebut dengan jelas mencantumkan kewajiban negara untuk memberikan kompensasi pada korban kejahatan. Kompensasi juga dikenal di Amerika Serikat, kompensasi dikenal di 27 negara bagian (Amerika Compensation program 1965). Demikian juga halnya dengan negara-negara seperti Denmark,  German dan Norwegia juga dikenal program kompensasi ini.
Negara adalah yang paling berkewajiban untuk memperhatikan keadaan warganya. Negara, melalui aparaturnya, berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah perbuatan pidana yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula.
Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun menurut Stephen Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa kompensasi lebih bersifat keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari putusan Pengadilan dan dibayar oleh terpidana atau merupakan bentuk pertanggungjawapan terpidana (the responsibility of the offender).[9]
Lebih lanjut Stephen Schafer menyatakan terdapat lima system pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:
1.      ganti rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. System ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses peradilan pidana;
2.      kompensasi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana;
3.      restitusi yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya. Salah satu bentuk restitusi menurut system ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” (monetary obligation) yang dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan di samping pidana yang seharusnya diberikan;
4.      Kompensasi yang bersifat perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan negara. Di sini kompensasi tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana. Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan Pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.[10]
Di Indonesia lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian kompensasi tehadap korban kejahatan dalam hal ini dibebankan pada LPSK. Di Amerika Serikat ada suatu lembaga yang bernama The Crime Victim’s Compensation Board, lembaga ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya.
Adanya lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board sangat diperlukan guna membantu korban kejahatan yang menderita kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku kejahatan tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban kejahatan sebagai akibat menderitanya korban akibat suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku. Yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian pada korban adalah perlunya diupayakan agar system pemberian ganti kerugian dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini memerlukan waktu yang lama dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.[11]
Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, istilah kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan istilah “ganti kerugian”. Pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk ganti kerugian dan rehabilitasi bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi pelaku perbuatan pidana, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi diberikan kepada pelaku perbuatan pidana yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan Pengadilan.
Hak-hak terhadap korban kemudian semakin kuat dan ditetapkan dalam system hukum nasional dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang ini memberikan hak kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat untuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Namun, regulasi ini hanya ditujukan kepada para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat saja, dan bukan untuk keseluruhan korban kejahatan pada umumnya.[12]
Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan: “Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi”.
Namun, kompensasi dan restitusi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia  yang berat ini diletakkan dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi dan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 maupun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002. Sementara hak rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 ditunjukkan kepada para korban dan bukan terhadap para tersangka atau terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002, maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dijelaskan sebagai berikut:
“Kompensasi adalah ganti kerugian yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
“Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.” “Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.”
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 juga secara jelas telah mendefinisikan tentang siapa yang dimaksud dengan korban. Pengertian korban dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 disebutkan bahwa: “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau perampasan hak-hak  dasarnya, sebagi akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.”
Berdasarkan ketentuan di atas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku perbuatan pidana dan negara. Pelaku perbuatan pidana atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban, dan inilah yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam kompensasi, pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban, dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban perbuatan pidana (pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat).
Hak atas kompensasi dan restitusi kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ganti kerugian kepada korban menggunakan istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 menyebutkan:
(1) Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan berupa:
a.       Hak atas kompensasi dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat;
b.      Hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana.
Terjadi pembedaan dalam menentukan tanggung jawab pemenuhan hak-hak korban khususnya terkait dengan restitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, restitusi dapat diberikan kepada semua korban perbuatan pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua, restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban bagi pihak ketiga, sebagaimana pengartian restitusi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000. Sementara hak korban atas rehabilitasi hanya dinyatakan sebagai bantuan kepada korban dalam hal rehabilitasi psiko-sosial (Pasal 6 huruf b).[13]
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006. Sementara istilah rehabilitasi, dalam ketiga regulasi yakni KUHAP, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 mempunyai definisi dan maksud yang saling berlainan.
Disamping perbedaan definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 juga mempunyai pengaturan yang berbeda.
Ganti kerugian kepada korban dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam KUHAP hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam kasus pidana. Namun, difahami bahwa kerugian korban perbuatan pidana dalam KUHAP yang boleh dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak mencakup pada kerugian immateriil.
Sementara, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat dilihat dalam definisi mengenai restitusi yang merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup pengembalian hak milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut, jika dibebankan kepada negara maka terminolgi yang digunakan bukan lagi “restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sama, baik untuk restitusi maupun kompensasi.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban. Penjelasan Undang-Undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, kemungkinan akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Tafsir atas pemahaman ini dapat dilihat dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ayat (2) dan (3):
(2)      Keputusan mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh Pengadilan.
(3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. [14]


Senarai Rujukan

Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban, “Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 1987).
Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987. Cetakan Pertama.
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996a. Cetakan Pertama.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007.
Made Darma Weda, “Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi,” Karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, J.E. Sahetapy (ed.), Bandung: PT Eresco, 1995. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
______, Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Cetakan Pertama.
Mardjono Reksodiputro. Hak Asasi Manusia Dalam System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994.
Muladi, Kapita Selekta System Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Cetakan Pertama.
Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat.



[1] Hal ini sejalan dengan hakekat dari kebijakan atau upaya penanggulangan perbuatan pidana merupakan bagian yang integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh itu boleh dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “Perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat” (Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996. Cetakan Pertama. halaman 2).
[2] Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987. Cetakan Pertama. halaman 25.
[3] Made Darma Weda, Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Cetakan Pertama. halaman 91.
[4] Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban, “Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 1987). halaman 37.
[5] Mardjono Reksodiputro. Hak Asasi Manusia Dalam System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994, halaman 98.
[6] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat. halaman 189-190.
[7] Perhatikan juga Muladi, Kapita Selekta System Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Cetakan Pertama. halaman 66 !
[8] Made Darma Weda, “Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi,” Karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, J.E. Sahetapy (ed.), Bandung: PT Eresco, 1995. Cetakan Pertama (Edisi Pertama). halaman 91.
[9] Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968, halaman 112
[10] Stephen Schafer, 1968. Ibid., halaman 105-109
[11] Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. halaman 167-18.
[12] Pasal 35 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM.
[13] Penjelasan Pasal 6 huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006: “ yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.
[14] Sila lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj