Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum
Penulis
adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Kebijakan terhadap
perlindungan kepentingan korban merupakan bagian yang integral dari usaha
meningkatkan kesejahteraan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari
tujuan negara, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum. Atas dasar ini, negara harus ikut campur tangan
secara aktif dalam upaya memberikan perlindungan terhadap nasib korban secara
kongkrit dan individual, salah satunya adalah dalam bentuk kompensasi.[1]
Dalam kaitan ini, Arif Gosita[2] menulis alasan-alasan utama ganti
kerugian (kompensasi) kepada korban oleh negara antara lain adalah sebagai
berikut:
1.
Kewajiban negara untuk
melindungi warga negaranya;
2.
Tidak
cukupnya ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku pada korban;
3.
Ketidaklayakan
pembahagian hasil;
4.
Pandangan
Sosiologi bahwa terjadinya perbuatan pidana adalah merupakan kesalahan masyarakat pada umumnya.
Dalam kaitan ini, Made Darma
Weda berpendapat, negara melalui aparaturnya berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan
masyarakat. Oleh karena itulah, perbuatan pidana yang terjadi
adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya
korban merupakan tanggung jawab negara pula.[3]
Sehingga, di samping melakukan pengusutan (tindakan) terhadap pelaku perbuatan
pidana, negara juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan korban, dalam arti
hak-hak korban juga harus diberdayakan dalam system peradilan pidana.
Di samping apa yang diuraikan di atas, Andi Mattalatta[4] dalam kaitan ini menambahkan, “Kaitan negara dan masyarakat umum
dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah yang
memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran, bahwa
negara berkewajiban untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan para
warganya. Terjadinya korban kejahatan
dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan
yang baik kepada warganya.”
Dalam hubungannya dengan tugas negara untuk melindungi secara konkret dan
individual terhadap korban, Mardjono Reksodiputro[5] menulis ada dua arus bawah
yang perlu diketahui yang mungkin telah membawa Viktimologi (sebagai ilmu yang mempelajari
tentang korban) muncul dan menarik perhatian para scientist. Pertama adalah, berdasarkan pada kerangka
pemikiran, bahwa negara turut bersalah dalam hal terjadinya penimbulan korban
(viktimisasi), dan karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi (compensation)
kepada si korban, di samping kemungkinan adanya restitusi (restitution)
yang diberikan oleh si pelaku kepada korban. Kedua adalah, aliran
pemikiran baru dalam Kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivistis
(yang mencari sebab musabab perbuatan pidana, etiologi kriminal) dan lebih
memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam system peradilan pidana dan
struktur masyarakatnya (pendekatan Kriminologi kritis, critical criminology).
Kedua pemikiran di atas telah membuka dimensi-dimensi
baru dalam melihat gejala perbuatan pidana ini, cara-cara penanggulangannya dan
peranan negara serta masyarakat dalam hal terjadinya perbuatan pidana itu.
Sebagai bahan perbandingan, sebelum diundangkannya peraturan
tentang kompensasi di Nederland
(yang selanjutnya berlaku sebagai Wet voorlopige regeling schadefonds
geweld-misrijven [Wet 26 Juni 1975 Stb. 382]), Menteri Kehakiman Belanda
ketika itu, dihadapan Parlemen Belanda, mengemukakan alasan mengapa masyarakat
sebagai keseluruhan mempunyai tanggung jawab terhadap korban dari perbuatan pidana kekerasan.
Tanggung jawab itu didasarkan atas tiga hal, yaitu:[6]
Pertama, tanggung jawab
itu dihubungkan dengan keadaan bahwa penguasa menyatakan beberapa perbuatan
tertentu sebagai pelanggaran berat dan penyerangan terhadap ketertiban hukum yang berat.
Sebagai kelanjutan dari pengancaman dengan hukuman terhadap perbuatan-perbuatan
itu maka dapat dipikirkan adanya suatu tugas dari penguasa untuk meringankan atau
menghilangkan akibat dari perbuatan itu.[7]
Kedua, yang bersifat
lebih filsafati: masyarakat dapat dipandang sebagai jaringan halus dari perbuatan manusia, sehingga
setiap orang dalam arti manusiawi pada umumnya “ikut bersalah” atas apa yang
akhirnya menjelma sebagai kesalahan seorang oknum/pelaku yang melakukan perbuatan pidana. Singkatnya,
di sini ada solidaritas dengan orang yang menjadi korban kejahatan.
Ketiga, partimbangan yang
penting untuk politik hukum, peraturan itu dipandang mempunyai pengaruh mendamaikan atau
menyelesaikan konflik (conflict oplossing), apabila ada penggarapan
khusus demi para korban dari perbuatan pidana maka iklim sosial-psikologis
menjadi baik untuk memperlakukan si pembuat dengan cara yang paling
menguntungkan dipandang dari sudut prevensi sosial.
Bertolak dari pemikiran bahwa negara berkewajiban untuk
menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat serta melalui aparat penegak hukumnya,
memberikan jaminan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat, maka atas dasar ini,
menurut Kunter,[8] korban
mempunyai hak untuk mengklaim negara. Dalam menyatakan pendapatnya ini, Kunter
memberi contoh adanya tanggung jawab pabrik/perusahaan terhadap pekerjanya. Penderitaan, kecelakaan yang dialami
pekerja merupakan tanggung jawab pabrik/perusahaan. Demikian pula halnya dalam kaitan
antara negara dengan warga negaranya (masyarakat).
Untuk mendorong implementasi
tanggung jawab pihak ketiga sebagai pelaku, pemerintah harus berperan melalui kebijakan
yang mengikat. Tentunya dengan pemberian sanksi jika tidak dijalankan pihak
ketiga atau pelaku tersebut. Namun, peran pemerintah dibatasi secara ketat oleh
undang-undang dan konstitusi. Karena pada asasnya, Hak Asasi Manusia sipil dan politik merupakan hak-hak negatif (negative
right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara dibatasi atau terlihat minus. Hal ini
penting diutarakan mengingat masih banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia
dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya. Sedangkan untuk Hak Asasi
Manusia Ekonomi, Sosial, Budaya, merupakan hak-hak positif (positive rights) yang justru menuntut
negara berperan maksimal dalam pemenuhannya.
Dalam konteks tanggung jawab
pemerintah bagi korban kejahatan, menurut hemat penulis, merupakan
perpaduan yang seimbang dari Hak Asasi Manusia Sipil, Politik dan Hak Asasi Manusia Ekonomi, Sosial, Budaya yang merupakan dua sisi dari mata uang. Dua sisi dari unsur
perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia universal yang
sekarang berusia lebih dari 60 tahun. Semoga di usianya yang sudah matang ini,
deklarasi itu dapat mengemban tugasnya mengayomi seluruh
bangsa di dunia dalam semangat kebersamaan untuk mencapai perdamaian abadi.
Tentunya hal ini berpulang pada kerja sama antarbangsa di dunia yang mengaku
dirinya beradab.
Terkait dengan masalah kompensasi ini, negara-negara lain
juga sudah memberikan regulasi normatif untuk memberikan landasan legalitas terhadap eksistensi kompensasi bagi korban kejahatan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
mengatur lembaga yang bertugas memberikan perlindungan kepada korban termasuk
masalah kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi. Lembaga tersebut adalah
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang berkedudukan di ibu kota
negara, Jakarta.
Berbagai negara di dunia dimaksud telah mengatur tentang
kompensasi, diantaranya Inggris dengan British
Commend paper of 1961 and 1964, di New Zealand dengan New Zealand Compensation Act of 1963 dan Australia dengan Criminal Injuries Compensation Act 1967.
Ketentuan-ketentuan tersebut dengan jelas mencantumkan
kewajiban negara untuk memberikan kompensasi pada korban kejahatan. Kompensasi juga
dikenal di Amerika Serikat, kompensasi dikenal di 27 negara bagian (Amerika Compensation program 1965). Demikian juga halnya dengan negara-negara seperti Denmark, German dan Norwegia
juga dikenal program kompensasi ini.
Negara adalah yang paling berkewajiban untuk
memperhatikan keadaan warganya. Negara, melalui aparaturnya, berkewajiban untuk menyelenggarakan
ketertiban
dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah perbuatan pidana yang terjadi adalah tanggung jawab negara.
Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula.
Pengertian restitusi dan kompensasi merupakan istilah yang dalam
penggunaannya sering dapat dipertukarkan (interchangeable). Namun menurut Stephen
Schafer, perbedaan atara kedua istilah itu adalah bahwa kompensasi lebih bersifat
keperdataan. Kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat
atau merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara (the responsible of
the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul
dari putusan Pengadilan dan dibayar oleh terpidana
atau merupakan bentuk pertanggungjawapan terpidana (the
responsibility of the offender).[9]
Lebih lanjut Stephen Schafer menyatakan terdapat lima
system pemberian restitusi dan kompensasi kepada korban kejahatan:
1.
ganti
rugi yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses perdata. System ini memisahkan tuntutan ganti rugi korban dari proses peradilan
pidana;
2.
kompensasi
yang bersifat keperdataan, diberikan melalui proses pidana;
3.
restitusi
yang bersifat perdata dan bercampur dengan sifat pidana, diberikan melalui
proses pidana. Walaupun restitusi di sini tetap bersifat keperdataan, namun
tidak diragukan sifat pidana (punitif) nya. Salah
satu bentuk restitusi menurut system ini adalah “denda kompensasi” (compensatory fine). Denda
ini merupakan “kewajiban yang bernilai uang” (monetary obligation) yang
dikenakan kepada terpidana sebagai suatu bentuk pemberian ganti rugi kepada korban
kejahatan di
samping pidana yang seharusnya diberikan;
4.
Kompensasi yang bersifat
perdata, diberikan melalui proses pidana dan didukung oleh sumber-sumber penghasilan
negara. Di sini kompensasi
tidak mempunyai aspek pidana apapun, walaupun diberikan dalam proses pidana.
Jadi, kompensasi tetap merupakan lembaga keperdataan murni, tetapi negaralah
yang memenuhi atau menanggung kewajiban ganti rugi yang dibebankan Pengadilan kepada pelaku. Hal ini merupakan pengakuan, bahwa negara telah gagal
menjalankan tugasnya melindungi korban dan gagal mencegah terjadinya kejahatan.[10]
Di
Indonesia lembaga yang secara khusus menangani masalah pemberian kompensasi
tehadap korban kejahatan dalam hal ini dibebankan pada LPSK. Di Amerika Serikat ada suatu
lembaga yang bernama The Crime Victim’s Compensation Board, lembaga
ini dibentuk untuk menangani pemberian bantuan finansial kepada korban kejahatan berupa
penggantian biaya pengobatan, pemakaman, kehilangan penghasilan, dan sebagainya.
Adanya
lembaga semacam The Crime Victim’s Compensation Board sangat diperlukan
guna membantu korban kejahatan yang menderita kerugian secara finansial, khususnya apabila pelaku
kejahatan tidak mampu membayar ganti kerugian kepada korban kejahatan sebagai akibat
menderitanya korban akibat suatu perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku.
Yang memerlukan perhatian penting dalam pelaksanaan pembayaran ganti kerugian
pada korban adalah perlunya diupayakan agar system pemberian ganti kerugian
dilaksanakan dengan sederhana dan singkat sehingga apa yang menjadi hak korban dapat segera
direalisasikan. Apabila jangka waktu yang diperlukan untuk merealisasikan pembayaran ganti kerugian ini
memerlukan waktu yang lama dikhawatirkan konsep perlindungan korban dalam kaitan
pembayaran ganti kerugian akan terabaikan.[11]
Sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
istilah kompensasi dan restitusi kepada korban kejahatan hanya dinyatakan dengan penggunaan
istilah “ganti kerugian”. Pada awalnya ganti kerugian kepada korban kejahatan, dapat dilihat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dibebankan kepada pelaku
kejahatan. Dalam KUHAP juga dikenal hak untuk ganti kerugian dan rehabilitasi
bagi tersangka, terdakwa dan terpidana. Ganti kerugian bagi pelaku perbuatan
pidana, terdakwa atau terpidana ini ditujukan bagi pihak yang mengalami
kesalahan prosedur dalam proses peradilan pidana. Sementara rahabilitasi diberikan kepada pelaku perbuatan
pidana yang dibebaskan atau dilepaskan dalam putusan Pengadilan.
Hak-hak terhadap korban kemudian semakin kuat dan
ditetapkan dalam system hukum nasional dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Undang-Undang ini memberikan hak kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat untuk kompensasi, restitusi dan
rehabilitasi. Namun, regulasi ini hanya ditujukan kepada para korban
pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat saja, dan bukan untuk keseluruhan korban kejahatan pada umumnya.[12]
Pasal 35
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 menyatakan: “Setiap korban pelanggaran hak
asasi manusia yang berat dan atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan
rehabilitasi”.
Namun, kompensasi
dan restitusi korban pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat ini diletakkan
dalam kerangka “ganti kerugian”. Hal ini terlihat dalam definisi tentang kompensasi
dan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 maupun dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002. Sementara hak rehabilitasi dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000 ditunjukkan kepada para korban dan bukan terhadap para tersangka
atau terdakwa sebagaimana diatur dalam KUHAP. Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002,
maksud kompensasi, restitusi dan rehabilitasi dijelaskan sebagai berikut:
“Kompensasi adalah ganti kerugian
yang diberikan oleh negara karena pelaku tidak mampu memberikan ganti kerugian
sepenuhnya yang menjadi tanggung jawabnya.”
“Restitusi adalah ganti kerugian
yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian
harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu.” “Rehabilitasi adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan,
nama baik, jabatan, atau hak-hak lain.”
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2002 juga secara jelas telah mendefinisikan tentang siapa yang dimaksud dengan
korban. Pengertian
korban dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2002 disebutkan bahwa: “Korban
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental maupun
emosional, kerugian ekonomi, atau mengalami pengabaian, pengurangan atau
perampasan hak-hak dasarnya, sebagi
akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli
warisnya.”
Berdasarkan
ketentuan di atas, ganti kerugian kepada korban pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
berat dibebankan kepada dua pihak yakni pelaku perbuatan pidana dan negara.
Pelaku perbuatan pidana atau pihak ketiga dibebankan untuk mengganti kerugian korban,
dan inilah yang didefinisikan dengan “restitusi”. Sementara dalam kompensasi,
pembebanan biaya ganti kerugian kepada korban dilakukan oleh pemerintah ketika pelaku
atau pihak ketiga tidak mampu membayar ganti kerugian secara penuh kepada korban,
dengan ketentuan ini, muncul konsep tanggung jawab negara terhadap korban perbuatan
pidana (pelanggaran Hak Asasi Manusia
yang berat).
Hak atas kompensasi
dan restitusi kembali diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ganti kerugian kepada korban menggunakan
istilah kompensasi dan restitusi. Namun, tidak ada penjelasan tentang maksud dari kompensasi dan restitusi. Pasal
7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
menyebutkan:
(1) Korban
melalui LPSK berhak mengajukan ke Pengadilan berupa:
a.
Hak
atas kompensasi dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat;
b.
Hak
atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak
pidana.
Terjadi pembedaan dalam menentukan
tanggung jawab pemenuhan hak-hak korban khususnya terkait dengan restitusi. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, restitusi dapat diberikan kepada semua korban perbuatan pidana yang terjadi, dan tidak terbatas pada korban pelanggaran Hak
Asasi Manusia yang berat sebagaimana hak atas kompensasi. Kedua,
restitusi hanya menjadi tanggung jawab pelaku dan tidak menyertakan kewajiban
bagi pihak ketiga, sebagaimana pengartian restitusi dalam Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2000. Sementara hak korban atas rehabilitasi hanya dinyatakan sebagai
bantuan kepada korban dalam hal rehabilitasi psiko-sosial (Pasal 6 huruf b).[13]
Dengan demikian, ada dua pengaturan dan pendefinisian
yang sedikit berbeda tentang kompensasi dan restitusi, yakni
yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006. Sementara istilah rehabilitasi, dalam ketiga regulasi yakni KUHAP,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
mempunyai definisi dan maksud yang saling berlainan.
Disamping
perbedaan
definisi, bentuk ganti kerugian kepada korban dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang KUHAP, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dan Undang-Undang Nomor
13 Tahun 2006 juga mempunyai pengaturan yang berbeda.
Ganti
kerugian kepada korban dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP
tidak menjelaskan secara terperinci mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban.
Hal ini terlihat bahwa pengaturan tentang adanya ganti kerugian korban dalam
KUHAP hanya “ditempelkan” pada pengaturan tentang penggabungan gugatan dalam kasus pidana. Namun,
difahami bahwa kerugian korban perbuatan pidana dalam KUHAP yang boleh
dimintakan gugatan untuk penggantian hanya pada kerugian materiil dan tidak
mencakup pada kerugian immateriil.
Sementara,
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mengatur lebih rinci tentang bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban.
Bentuk-bentuk ganti kerugian ini dapat
dilihat dalam definisi mengenai restitusi yang
merupakan ganti rugi kepada korban atau keluarganya yang mencakup pengembalian
hak milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau
penggantian biaya untuk tindakan tertentu. Bentuk-bentuk ganti kerugian tersebut,
jika dibebankan kepada negara maka terminolgi yang digunakan bukan lagi
“restitusi” tetapi “kompensasi”. Artinya, bahwa bentuk-bentuk ganti rugi untuk korban
dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 adalah sama, baik untuk restitusi maupun
kompensasi.
Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban justru tidak
memberikan pengaturan tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi kepada korban.
Penjelasan Undang-Undang tersebut juga tidak ditemukan definisi dan penjelasan
mengenai bentuk-bentuk ganti kerugian kepada korban. Tidak dijelaskannya bentuk-bentuk
kompensasi dan restitusi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, kemungkinan
akan diatur kemudian dalam Peraturan Pemerintah. Tafsir atas pemahaman ini dapat dilihat dari
ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006.
Pasal 7
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, ayat (2) dan (3):
(2)
Keputusan
mengenenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh Pengadilan.
(3)
Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi dan restitusi diatur dengan Peraturan Pemerintah. [14]
Senarai Rujukan
Andi
Mattalatta, “Santunan
Bagi Korban, “Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 1987).
Arif Gosita, Relevansi
Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban
Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987. Cetakan Pertama.
Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996a. Cetakan Pertama.
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris
Gultom, Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2007.
Made Darma Weda, “Beberapa
Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi,” Karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga
Rampai Viktimisasi, J.E. Sahetapy (ed.), Bandung: PT Eresco,
1995. Cetakan Pertama (Edisi
Pertama).
______, Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996. Cetakan Pertama.
Mardjono Reksodiputro. Hak Asasi Manusia Dalam System Peradilan
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994.
Muladi, Kapita
Selekta System Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Cetakan Pertama.
Stephen Schafer, The
Victim and Criminal, Random House, New
York, 1968.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat.
[1] Hal ini sejalan dengan hakekat dari kebijakan atau upaya
penanggulangan perbuatan pidana merupakan bagian yang integral dari upaya
perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan
masyarakat (social welfare). Oleh itu boleh dikatakan, bahwa tujuan
akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah “Perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat” (Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 1996. Cetakan Pertama. halaman
2).
[2] Arif Gosita, Relevansi Viktimologi dengan
Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan
(Beberapa Catatan). Jakarta:
Ind-Hill-Co, 1987. Cetakan Pertama. halaman 25.
[3] Made Darma Weda, Kriminologi. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1996. Cetakan Pertama. halaman 91.
[4] Andi Mattalatta, “Santunan
Bagi Korban, “Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 1987). halaman 37.
[5] Mardjono Reksodiputro. Hak
Asasi Manusia Dalam System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia,
1994, halaman 98.
[7] Perhatikan juga Muladi, Kapita
Selekta System Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Cetakan Pertama. halaman 66 !
[8] Made Darma Weda, “Beberapa
Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi,” Karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga
Rampai Viktimisasi, J.E. Sahetapy (ed.), Bandung: PT Eresco, 1995. Cetakan Pertama (Edisi
Pertama). halaman 91.
[11] Dikdik M.
Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi
Perlindungan Korban Kejahatan, Antara Norma dan Realita. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007. halaman 167-18.
[13] Penjelasan Pasal 6 huruf
b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006: “ yang dimaksud dengan “bantuan
rehabilitasi psiko-sosial adalah bantuan yang diberikan oleh psikolog kepada
korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan lainnya untuk memulihkan
kembali kondisi kejiwaan korban.
[14] Sila lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 Tahun
2008 Tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Dan
Korban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar