Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
Penulis
adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Restitusi di negara-negara
maju terutama di negara-negara Anglo
Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Zealand telah
disahkan sebagai salah satu jenis pidana dalam peraturan perundang-undangannya.
Karena itu, restitusi telah dapat diterapkan di negara-negara tersebut, dan
yang paling awal melaksanakan adalah negara New Zealand mulai tahun 1963.[1]
Dalam hal penderitaan atau
kerugian yang bersifat materil yang dialami oleh korban sebagai akibat dari perbuatan
pidana yang dilakukan oleh orang lain, menurut Mardjono Reksodiputro,[2] sepantasnyalah pelaku perbuatan pidana
(orang lain tersebut) yang menyediakan ganti rugi itu. Hal senada juga
dinyatakan oleh Purwoto S. Gandasubrata, “Suatu perbuatan pidana yang melawan
hukum tetapi tidak melanggar hak seseorang dan karenanya tidak menimbulkan
kerugian nyata, cukup diberikan pidana (penjara) saja, sedangkan sebaliknya,
barulah apabila perbuatan pidana ini melanggar hak dan menimbulkan kerugian,
maka pantas dijatuhi ganti rugi (restitusi).[3]
Lebih jauh, masalah restitusi
kepada korban kejahatan di dalam konteks hubungan pelaku dan korban, menurut
Romli Atmasasmita, merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi
tanggung jawab pelaku sebagai warga masyarakat. Melalui proses resosialisasi
dimaksudkan dan diharapkan tertanam rasa tanggung jawab sosial dalam diri si
pelaku,[4] sehingga nilai restitusi dalam hal ini
tidak terletak pada kemanjurannya membantu korban, namun berfungsi sebagai alat
untuk lebih menyadarkan pelaku perbuatan pidana atas “hutangnya” (akibat
perbuatannya) kepada korban.
Dalam kaitannya dengan tanggung
jawab pelaku terhadap kerugian atau penderitaan yang dialami oleh korban
(sebagai akibat perbuatannya) ini, untuk beberapa perbuatan pidana yang terjadi
dalam masyarakat, seringkali penyelesaiannya dilakukan atas dasar perdamaian
antara kedua belah pihak. Cara penyelesaian seperti ini merupakan suatu realitas
yang hidup di kalangan anggota masyarakat tertentu di Indonesia yang
mendasarkan penyelesaian pada hukum adat.[5] Ini artinya adalah, bahwa sebelum ditetapkannya
suatu perbuatan (yang sekarang disebut) sebagai perbuatan pidana, terhadap
perbuatan ini, salah satu system hukum, yaitu hukum adat, telah terlebih dahulu
memberikan cara penyelesaiannya. sehubungan dengan hal ini, L.H.C. Hulsman mengaitkannya dengan Asas subsidiaritas,
yaitu pertama-tama alat kekuasaan negara yang bertugas menerapkan hukum pidana
tidak sampai bergerak bilamana melalui suatu stelsel sanksi yang bersifat
sosial dapat dicapai tujuan yang sama atau memang telah dicapai. Dengan lain
perkataan bertentangan dengan undang-undang (juga hal yang bertentangan dengan
undang-undang yang bersanksi pidana) sebanyak mungkin diusahakan untuk
diselesaikan melalui cara-cara di luar hukum pidana.[6]
Sebagai bahan perbandingan, bahwa
dasar pemikiran dan budaya masyarakat Jepang terhadap undang-undang tidak
bertolak pada faham yang universal, melainkan bersandarkan pada faham yang
khusus (particular), karena dengan cara ini, Jepang dapat menekan angka
kriminalitas menjadi yang terendah di seluruh dunia. Praktek penegakan hukum di
Jepang lebih mengutamakan ksepakatan atau musyawarah dibandingkan dengan
penyelesaian melalui litigasi semata-mata.[7] Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menulis, salah satu kajian alternatif yang
sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional saat ini,
adalah kajian terhadap system hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dikatakan
demikian, karena sering dinyatakan, bahwa system hukum nasional di samping
hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan
internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan
aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau
digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.[8]
Apa yang diuraikan di atas
dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap korban, adalah sejalan dengan
ketentuan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 40/34
tertanggal 29 Nopember 1985 Tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan
Bagi Korban Perbuatan Pidana Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, pada huruf A angka 7
menyatakan: “Mekanisme informal untuk penyelesaian perselisihan, termasuk
perantaraan, arbitrase dan Pengadilan Adat atau kebiasaan-kebiasaan pribumi,
harus digunakan apabila tepat untuk memudahkan perujukan dan pemberian ganti
rugi kepada para korban.”
Dalam kaitannya dengan ganti
rugi ini, seperti juga telah disinggung dalam uraian di atas, dalam sejarah
hukum Indonesia dapat dijumpai dalam berbagai Kitab Undang-Undang Hukum. Salah
satunya adalah yang berasal dari zaman Kerajaan Madjapahit, yang disebut dengan
perundang-undangan agama.[9] Dalam perundang-undangan ini terdapat pidana
pokok berupa ganti kerugian atau panglicawa atau putukucawa.
Meskipun ketentuan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, namun hal ini dikutip
adalah dalam rangka studi perbandingan antara hukum positif dengan hukum yang
pernah ada dan berlaku di Indonesia. Bahkan, menurut Sudarto,[10] ada kecendrungan dari pihak pembentuk
undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan kembali nilai-nilai yang
pernah ada dalam hukum asli itu.
Jika ditelaah
perundang-undangan Madjapahit tersebut, maka akan tampak hubungan antara si
pembuat dan korban. Beberapa ketentuan yang relevan dalam kaitan ini adalah
sebagai berikut:
Pasal 19 menetapkan, “Barang
siapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang
bersangkutan dua kali lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian (putukucawa) empat
kali.”
Pasal 56 menetapkan, “Jika
seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak
delapan kali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar
kerugian (panglicawa) kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan
segala milik yang diambilnya dua kali lipat.”
Pasal 242 menetapkan, “Barang
siapa naik pedati, kuda atau kenderaan apapun, jika melanggar atau menginjak
orang hingga mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa oleh raja
yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan kali
kepada pemilik orang yang telah terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang
yang mati itu.”
Bertolak
dari pendapat Sudarto dan
Barda Nawawi Arief di
atas, yaitu adanya kecendrungan pembuat undang-undang untuk menggali kembali
nilai-nilai hukum yang (pernah) hidup, yang di dalam Rancangan Kitab
Undang-Undang Pidana (selanjutnya disingkat dengan RKUHP)[11] hal ini terlihat di dalam Pasal 60 RKUHP
tentang pidana tambahan, yaitu:
ke-1 Pencabutan
hak-hak tertentu;
ke-2 Perampasan
barang-barang tertentu dan tagihan;
ke-3 Pengumuman
putusan hakim,
ke-4 Pembayaran
ganti kerugian;
ke-5 Pemenuhan
kewajiban adat; (huruf
miring dari penulis).
Pidana tambahan berupa pembayaran
ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat ini merupakan salah satu bentuk
perlindungan hukum bagi korban yang dirumuskan dalam ius constituendum
yang diangkat dari konsep hukum adat.
Pengaturan restitusi secara
formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan, baik di dalam ius
constituendum (antara lain dalam Pasal 60 ke-4 tentang pembayaran ganti
kerugian) maupun dalam ius constitutum (antara lain adalah Bab XIII Pasal
98-101 KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian),[12] serta juga dalam Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 yang dalam hal ini membedakan dua jenis hak korban. Korban kejahatan ”konvensional” yang ternyata
tidak berhak atas bantuan medis dan bantuan rehabilitas psiko-sosial.[13]
Hak ini hanya diberikan kepada korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang
berat. Di samping itu, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat,
melalui LPSK, berhak mengajukan kompensasi dan restitusi. Sedangkan korban
kejahatan “konvensional” hanya berhak mengajukan restitusi saja.
Terhadap apa yang diuraikan di
atas, adalah dalam rangka demi kepastian hukum. Akan tetapi dalam praktek
kehidupan masyarakat, seperti telah diuraikan di atas, system hukum adat justru
memberikan peluang untuk melakukan perdamaian, sehingga dilihat dari perspektif
hukum pidana positif, maka praktek-praktek yang demikian itu menjadi “keluar”
dari jalur proses yang formal. Dengan demikian, untuk kejadian-kejadian
tertentu perlu diteliti kembali, tentang bagaimanakah penerapan hukum (acara)
pidana positif masih layak diberlakukan sehingga tujuan keadilan dan
kepentingan perlindungan dapat dicapai.[14]
Urgensi adanya penyelidikan
dimaksud semakin jelas jika dikaitkan dengan pelanggaran lalu lintas yang
mengakibatkan korban luka atau meninggal dunia, yang dalam prakteknya
seringkali diikuti dengan pemberian santunan oleh pelaku kepada korban di luar
proses peradilan pidana. Sedangkan dalam praktek Pengadilan Negeri sendiri,
terhadap semua korban yang diakibatkan oleh pelanggaran lalu lintas ini, tidak diperoleh
santunan, baik berupa sejumlah uang ganti kerugian maupun dalam bentuk
perawatan atau fasilitas dari pihak pelaku (?). Sehingga dengan demikian harus ditetapkan,
bahwa dalam hal-hal tertentu, penyelesaian di luar jalur formal justru dapat
menciptakan dan melahirkan suatu keadilan bagi kedua belah pihak.
Sehubungan dengan pengaturan
ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada korban, Sudarto berpendapat, bahwa pidana pengenaan kewajiban
ganti kerugian yang dikenakan pada pelaku itu akan mempunyai arti apabila si
pelaku mampu membayar. Apabila ia tidak mampu, dan dapat diperkirakan bahwa
sebagian besar dari orang yang melakukan perbuatan pidana itu adalah termasuk
orang yang tidak mampu, dan terhadap hal ini perlu pula difikirkan jalan keluarnya.[15]
Lebih lanjut Sudarto[16] mengingatkan, di samping masalah
kemampuan, perlu ditinjau pula makna dari pidana tambahan tersebut dalam rangka
pemaknaan terhadap pidana pada umumnya.
Tujuan yang ingin dicapai
dengan penerapan pidana dan hukum pidana selama ini belum pernah dirumuskan
secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Perumusan ini baru tampak
dalam RKUHP.[17] Oleh karena itu, pembahasan masalah tujuan pemidanaan dalam hal ini lebih
bersifat teoretis.
Secara tradisional, teori-teori
tentang tujuan pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 kelompok teori, yaitu:
1. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/
vervelings theorien);
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa
tujuan pemidanaan menurut teori pertama,
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan perbuatan pidana. Jadi dasar pembenaran dari pemidanaan terletak
pada adanya terjadi perbuatan pidana itu sendiri. Teori ini muncul pada akhir
abad kedelapan belas, dan Immanuel Kant, salah seorang tokoh dari teori ini
berpendapat, “pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan,
melainkan mencerminkan keadilan.”
Sedangkan menurut teori kedua, tujuan pemidanaan
bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[19] Oleh karena itu, teori inipun sering pula disebut dengan teori tujuan (utilitariantheorien).
Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaraan tertib masyarakat
dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi perbuatan pidana, baik
prevensi spesial (khusus) maupun prevensi general (umum).
Berdasarkan uraian di atas,
tujuan pemidanaan secara tradisional dan teoretis ini, ternyata hanya
berorientasi pada pelaku (pembuat) perbuatan pidana.
Terhadap apa yang dipersoalkan
oleh Sudarto, seperti disebutkan di muka, menurut
hemat penulis akan masih relevan jika orientasi hukum pidana masih pada pelaku perbuatan
pidana, sehingga wajar apabila masalah tujuan pemidanaan tersebut masih
dipersoalkan.[20] Dalam kaitan ini, van der Heuvel[21] menulis bahwa sekarang telah terjadi pergeseran
perhatian. Pergeseran perhatian dan issue yang dimaksud adalah bahwa hukum
pidana telah tidak lagi semata-mata memusatkan perhatian terhadap pelaku dan perbuatan
pidananya, melainkan juga memusatkan perhatiannya terhadap
konsekuensi-konsekuensi yang (mungkin) timbul sebagai akibat dari perbuatan
pidana yang dilakukan.
Di samping apa yang telah
diuraikan di atas, yang menyebutkan bahwa konsep ganti kerugian itu sebenarnya
telah lama ada dan berlaku dalam hukum adat di Indonesia, dan beberapa waktu
belakangan ini telah pula diperjuangkan sebuah pendekatan konsep yaitu melalui metode
pendekatan keadilan restorative.
Istilah Keadilan restoratif
biasanya disimbolkan ke Albert Eglash yang mencari perbedaan yang dia lihat antara 3
bentuk yang berbeda dari keadilan kriminal. Yang pertama adalah Keadilan
retributif yang menitik beratkan pada menghukum pelaku atas apa yang mereka
lakukan. Yang kedua berhubungan dengan apa yang dia sebut sebagai keadilan
distributif yang menitik beratkan pada rehabilitasi pelaku. Yang ketiga adalah
keadilan restoratif dimana dia secara luas menyeimbangkannya dengan
prinsip-prinsip dasar penggantian kerugian. Mungkin dia adalah orang pertama
yang menghubungkan istilah itu dengan pendekatan yang mencoba untuk menunjukan
konsekuensi merugikan dari sebuah aksi pelaku pelanggaran, dengan mencari
secara aktif melibatkan pelaku dan korban dalam proses yang ditujukan pada
perbaikan untuk para korban dan rehabilitasi para pelaku.[22]
Teori rehabilitasi dalam rangka reintegrasi narapidana
ke pergaulan sosial masyarakat bebas, tampaknya masih menjadi pilihan utama
dalam pembinaan narapidana di negara-negara Asia Pasifik. Namun demikian angin
baru dalam pembinaan narapidana dengan melandaskan diri pada teori restorasi
mulai berhembus dan diterapkan. Inti dari teori ini adalah bahwa pemidanaan
harus bertujuan untuk memulihkan hubungan pelaku dengan korbannya dan direstui
oleh masyarakat.[23]
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam Simposium
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, yang dalam salah satu laporannya
menyebutkan:
1.
Sesuai dengan politik hukum
pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat
dari perbuatan pidana serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat
dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan
pelaku.
2.
Atas dasar tujuan tersebut,
maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat:
a. Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung
tinggi harkat dan martabat seseorang;
b. Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat
orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai
sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan perbuatan
pidana;
c. Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan
adil, baik oleh si pelaku perbuatan pidana maupun oleh korban
ataupun oleh masyarakat.[24]
Andi Mattalatta,[25] dalam kaitan ini menulis, hakekat dari
suatu perbuatan pidana seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang merugikan
pihak lain yaitu yang disebut dengan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan
kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan dari si korban dalam
bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. [26]
Lebih lanjut diuraikan,
pentingnya untuk memperhatikan kepentingan korban dalam penjatuhan pidana,
bukan sekedar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekedar pertimbangan akal karena
logika mengatakan demikian, tetapi jauh dari itu adalah juga untuk kepentingan
pelaku perbuatan pidana itu sendiri. Si pelaku yang telah berbuat baik kepada korbannya
akan lebih mudah pembinaannya karena dengan demikian pelaku telah merasa
berbuat secara kongkrit untuk menghilangkan “noda” yang diakibatkan oleh perbuatan
pidananya. Penjatuhan sanksi berupa kewajiban untuk memberikan santunan kepada korban,
akan mengembangkan tanggung jawab pelaku karena dalam pelaksanaannya diperlukan
peranan aktif dari si pelaku. Peranan yang lebih aktif dari pelaku akan lebih
memudahkan dia untuk menghayati akibat dari perbuatannya bila dibandingkan
dengan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan tempat narapidana biasa bersikap
pasif.
Dari segi masyarakat,
penjatuhan pidana serupa ini juga akan menanamkan pengaruh bahwa si pelaku
bukan saja telah dijatuhi pidana tetapi ia juga telah membayar “untungnya”
dalam bentuk perbuatan baik terhadap korbannya. Pengaruh seperti ini akan lebih
memudahkan masyarakat untuk menerima kembali kemampuan pelaku tersebut. Sikap
masyarakat seperti ini pada akhirnya akan memupuk dan mengembalikan kepercayaan
dari si pelaku sebagai suatu syarat dalam menempuh jalan hidup yang lebih baik.[27]
BIBLIOGRAPHY
Andi Hamzah, System Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia.
Jakarta: Pradnya Paramita,
1993. Cetakan Kedua (Edisi Revisi).
Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi
Sebuah Bunga Rampai. J.E.
Sahetapy (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Cetakan Pertama.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996. Cetakan Kedua (Edisi Kedua).
H.A. Djazuli, Fiqh
Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam). Jakarta: PT Raja GrafindoPersada,
1996. Cetakan Pertama.
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi
dan System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Cetakan
Pertama (Edisi Pertama).
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-Undang Tentang
Azas-Azas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara, 1985. Cetakan Ketiga.
Muladi dan Barda Nawawi
Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung:
Alumni, 1992. Cetakan Kedua (Edisi Revisi).
Purwoto S. Gandasubrata, “Masalah Ganti Rugi Dalam/Karena
Perkara Pidana,” Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (ed.)
Badan Kontak Profesi Hukum Lampung. Bandung: Alumni, 1977.
Romli Atmasasmita, „Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak
Pidana,” Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.
Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan Pertama.
______, Segi Lain Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1984. Cetakan Pertama.
Slamet Muljana, Per-Undang2-an Madjapahit. Djakarta: Bhrata,
1967. Tanpa Cetakan.
Soerjono Soekanto, “Menangkap
Rasa Keadilan Masyarakat oleh Penegak Hukum,” Acuan untuk Penegak Hukum
Mewujudkan Keadilan, (ed.) Panda Nababan dan
R.M. Suripto [Jakarta, 1983].
Stephen Schafer, The
Victim and Criminal, Random House, New
York, 1968.
Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi
dan System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Cetakan Pertama (Edisi Pertama). Halaman 77;
pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat. Halaman
180.
[3] Purwoto S. Gandasubrata, “Masalah Ganti Rugi Dalam/Karena Perkara
Pidana,” Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (ed.) Badan
Kontak Profesi Hukum Lampung. Bandung: Alumni, 1977. Halaman 117-118.
[4] Romli Atmasasmita, „Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,” Majalah Hukum
Nasional Departemen Kehakiman, 1992. Halaman 44-45
[5] Dalam kaitan ini, Soerjono Soekanto menulis, penegakan hukum (pidana positif,
penulis) bukan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai keadilan. Penegakan
hukum (positif) merupakan upaya terakhir, apabila usaha-usaha non hukum tidak
berhasil menegakan keadilan. Dalam penegakan hukum, pidana harus merupakan
upaya terakhir untuk menegakan keadilan…. Oleh karena keadilan belum tentu
tercapai dengan penegakan hukum (Soerjono Soekanto, “Menangkap Rasa Keadilan
Masyarakat oleh Penegak Hukum,” Acuan untuk Penegak Hukum Mewujudkan
Keadilan, (ed.) Panda Nababan dan
R.M. Suripto [Jakarta, 1983] Halaman 31-32). Senada dengan
hal itu, Roeslan Saleh menulis, bahwa penguasa tidak sepantasnya bertindak
dengan upaya-upaya hukum pidana bilamana tujuan tersebut masih dapat dicapai
oleh atau dengan stelsel-stelsel kemasyarakatan lainnya (Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan
Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan Pertama. Halaman 14).
[6] Roeslan Saleh, Segi
Lain Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Cetakan Pertama. Halaman 21.
[8] Untuk hukum tidak tertulis (hukum adat), menurut Moeljatno, berlaku syarat 1) harus hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia;
2) tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur (Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan
Rencana Undang-Undang Tentang Azas-Azas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum
Indonesia. Jakarta: Bina
Aksara, 1985. Cetakan Ketiga. Halaman 24 dan 26).
[11] Proses perancangan RKUHP ini telah mulai
dirintis sejak tahun 1963 (lihat Moeljatno, 1985, Op. Cit., halaman 15 !)
Untuk keperluan penulisan ini, penulis menggunakan RKUHP yang dikeluarkan/diterbitkan
oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berupa naskah Rancangan KUHP
(Baru) Buku kesatu dan Kedua serta penjelasannya disusun oleh Panitia Penyusun
RUU KUHP Tahun 2006.
[12] Aturan ini merupakan realisasi dari salah
satu keputusan Seminar Hukum Nasional tahun 1963, yang antara lain dinyatakan,
“agar hakim dalam mengadili perkara pelaku perbuatan pidana dapatlah
menyelesaikan pula segi perdatanya (yaitu restitusi, penulis), di samping itu juga dalam rangka merealisasikan peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan hal ini sekaligus juga untuk memenuhi
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nombor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Purwoto S. Gandasubrata, 1977, Op. Cit., Halaman 118-119), sebagaimana yang
sekarang ini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
[13] Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
[17] Lihat Pasal 51 RKUHP tahun 2006 !
[18] Muladi
dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan
Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Halaman
10; Lihat juga Andi Hamzah, System
Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993.
Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Halaman 26 !
[19] Sejalan dengan hal ini, dalam hukum
Islam, memberikan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan pidana itu bukan
berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya adalah untuk kemaslahatannya,
seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa pidana itu disyariatkan sebagai
rahmat Allah bagi hambaNya dan sebagai cermin dari keinginan Allah untuk ihsan
kepada hamba-hambaNya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang
memberikan pidana kepada orang lain atas kesalahnnya harus bermaksud melakukan
ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberikan
pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya
(H.A. Djazuli, Fiqh
Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam). Jakarta: PT Raja GrafindoPersada,
1996. Cetakan Pertama. Halaman
26-27).
[20] Karena memang system
peradilan pidana yang sekarang berlaku terlalu difokuskan pada pelaku
(menangkap, menyidik, mengadili dan menghukum pelaku) dan kurang sekali
memperhatikan korban. Yang acapkali terjadi adalah, bahwa terkaitnya korban
dalam system peradilan pidana hanya menambah “trauma baginya” dan meningkatkan
rasa ketidakberdayaannya serta frustasinya karena tidak diberikan perlindungan
dan upaya hukum yang cukup (Mardjono Reksodiputro, 1994,
Op. Cit., Halaman 91).
[24] Barda Nawawi Arief, Kebijakan
Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996. Cetakan Kedua (Edisi Kedua). Halaman
82.
[25] Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi
Sebuah Bunga Rampai. J.E.
Sahetapy (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987.
Cetakan Pertama. Halaman 42.
[26] Dalam
istilah Rolling, seperti dikutip oleh Roeslan Saleh, “Hakekat Perbuatan pidana (delik) adalah
menimbulkan kejengkelan” (Roeslan Saleh, Op. Cit., Halaman 20).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar