Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 19 September 2012

DASAR PEMBENARAN KONSEP RESTITUSI SEBAGAI SUATU PIDANA (Kajian Dalam Hukum Pidana Indonesia)




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum 
Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Restitusi di negara-negara maju terutama di negara-negara Anglo Saxon seperti Inggris, Amerika Serikat, Australia dan New Zealand telah disahkan sebagai salah satu jenis pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Karena itu, restitusi telah dapat diterapkan di negara-negara tersebut, dan yang paling awal melaksanakan adalah negara New Zealand mulai tahun 1963.[1]
Dalam hal penderitaan atau kerugian yang bersifat materil yang dialami oleh korban sebagai akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang lain, menurut Mardjono Reksodiputro,[2] sepantasnyalah pelaku perbuatan pidana (orang lain tersebut) yang menyediakan ganti rugi itu. Hal senada juga dinyatakan oleh Purwoto S. Gandasubrata, “Suatu perbuatan pidana yang melawan hukum tetapi tidak melanggar hak seseorang dan karenanya tidak menimbulkan kerugian nyata, cukup diberikan pidana (penjara) saja, sedangkan sebaliknya, barulah apabila perbuatan pidana ini melanggar hak dan menimbulkan kerugian, maka pantas dijatuhi ganti rugi (restitusi).[3]
Lebih jauh, masalah restitusi kepada korban kejahatan di dalam konteks hubungan pelaku dan korban, menurut Romli Atmasasmita, merupakan suatu perwujudan dari resosialisasi tanggung jawab pelaku sebagai warga masyarakat. Melalui proses resosialisasi dimaksudkan dan diharapkan tertanam rasa tanggung jawab sosial dalam diri si pelaku,[4] sehingga nilai restitusi dalam hal ini tidak terletak pada kemanjurannya membantu korban, namun berfungsi sebagai alat untuk lebih menyadarkan pelaku perbuatan pidana atas “hutangnya” (akibat perbuatannya) kepada korban.
Dalam kaitannya dengan tanggung jawab pelaku terhadap kerugian atau penderitaan yang dialami oleh korban (sebagai akibat perbuatannya) ini, untuk beberapa perbuatan pidana yang terjadi dalam masyarakat, seringkali penyelesaiannya dilakukan atas dasar perdamaian antara kedua belah pihak. Cara penyelesaian seperti ini merupakan suatu realitas yang hidup di kalangan anggota masyarakat tertentu di Indonesia yang mendasarkan penyelesaian pada hukum adat.[5] Ini artinya adalah, bahwa sebelum ditetapkannya suatu perbuatan (yang sekarang disebut) sebagai perbuatan pidana, terhadap perbuatan ini, salah satu system hukum, yaitu hukum adat, telah terlebih dahulu memberikan cara penyelesaiannya. sehubungan dengan hal ini, L.H.C. Hulsman mengaitkannya dengan Asas subsidiaritas, yaitu pertama-tama alat kekuasaan negara yang bertugas menerapkan hukum pidana tidak sampai bergerak bilamana melalui suatu stelsel sanksi yang bersifat sosial dapat dicapai tujuan yang sama atau memang telah dicapai. Dengan lain perkataan bertentangan dengan undang-undang (juga hal yang bertentangan dengan undang-undang yang bersanksi pidana) sebanyak mungkin diusahakan untuk diselesaikan melalui cara-cara di luar hukum pidana.[6]
Sebagai bahan perbandingan, bahwa dasar pemikiran dan budaya masyarakat Jepang terhadap undang-undang tidak bertolak pada faham yang universal, melainkan bersandarkan pada faham yang khusus (particular), karena dengan cara ini, Jepang dapat menekan angka kriminalitas menjadi yang terendah di seluruh dunia. Praktek penegakan hukum di Jepang lebih mengutamakan ksepakatan atau musyawarah dibandingkan dengan penyelesaian melalui litigasi semata-mata.[7] Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menulis, salah satu kajian alternatif yang sangat mendesak dan sesuai dengan ide pembaharuan hukum nasional saat ini, adalah kajian terhadap system hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dikatakan demikian, karena sering dinyatakan, bahwa system hukum nasional di samping hendaknya dapat menunjang pembangunan nasional dan kebutuhan pergaulan internasional, namun juga harus bersumber dan tidak mengabaikan nilai-nilai dan aspirasi hukum yang hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat. Nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat itu dapat bersumber atau digali dari nilai-nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum agama.[8]
Apa yang diuraikan di atas dikaitkan dengan perlindungan hukum terhadap korban, adalah sejalan dengan ketentuan Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 40/34 tertanggal 29 Nopember 1985 Tentang Deklarasi Prinsip-Prinsip Dasar Keadilan Bagi Korban Perbuatan Pidana Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, pada huruf A angka 7 menyatakan: “Mekanisme informal untuk penyelesaian perselisihan, termasuk perantaraan, arbitrase dan Pengadilan Adat atau kebiasaan-kebiasaan pribumi, harus digunakan apabila tepat untuk memudahkan perujukan dan pemberian ganti rugi kepada para korban.”
Dalam kaitannya dengan ganti rugi ini, seperti juga telah disinggung dalam uraian di atas, dalam sejarah hukum Indonesia dapat dijumpai dalam berbagai Kitab Undang-Undang Hukum. Salah satunya adalah yang berasal dari zaman Kerajaan Madjapahit, yang disebut dengan perundang-undangan agama.[9] Dalam perundang-undangan ini terdapat pidana pokok berupa ganti kerugian atau panglicawa atau putukucawa. Meskipun ketentuan ini sekarang sudah tidak berlaku lagi, namun hal ini dikutip adalah dalam rangka studi perbandingan antara hukum positif dengan hukum yang pernah ada dan berlaku di Indonesia. Bahkan, menurut Sudarto,[10] ada kecendrungan dari pihak pembentuk undang-undang untuk menggali hukum asli dan menemukan kembali nilai-nilai yang pernah ada dalam hukum asli itu.
Jika ditelaah perundang-undangan Madjapahit tersebut, maka akan tampak hubungan antara si pembuat dan korban. Beberapa ketentuan yang relevan dalam kaitan ini adalah sebagai berikut:
Pasal 19 menetapkan, “Barang siapa membunuh wanita yang tidak berdosa, harus membayar untuk wanita yang bersangkutan dua kali lipat, dan dikenakan uang ganti kerugian (putukucawa) empat kali.”
Pasal 56 menetapkan, “Jika seorang pencuri mohon hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan kali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian (panglicawa) kepada orang yang kena curi dengan cara mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat.”
Pasal 242 menetapkan, “Barang siapa naik pedati, kuda atau kenderaan apapun, jika melanggar atau menginjak orang hingga mati, ia sendiri atau saisnya dikenakan denda dua laksa oleh raja yang berkuasa, ditambah uang ganti kerugian (pamidara) sebanyak delapan kali kepada pemilik orang yang telah terlanggar itu, atau kepada sanak saudara orang yang mati itu.”
Bertolak dari pendapat Sudarto dan Barda Nawawi Arief di atas, yaitu adanya kecendrungan pembuat undang-undang untuk menggali kembali nilai-nilai hukum yang (pernah) hidup, yang di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Pidana (selanjutnya disingkat dengan RKUHP)[11] hal ini terlihat di dalam Pasal 60 RKUHP tentang pidana tambahan, yaitu:
ke-1     Pencabutan hak-hak tertentu;
ke-2     Perampasan barang-barang tertentu dan tagihan;
ke-3     Pengumuman putusan hakim,
ke-4     Pembayaran ganti kerugian;
ke-5     Pemenuhan kewajiban adat; (huruf miring dari penulis).
Pidana tambahan berupa pembayaran ganti kerugian dan pemenuhan kewajiban adat ini merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum bagi korban yang dirumuskan dalam ius constituendum yang diangkat dari konsep hukum adat.
Pengaturan restitusi secara formal dalam bentuk peraturan perundang-undangan, baik di dalam ius constituendum (antara lain dalam Pasal 60 ke-4 tentang pembayaran ganti kerugian) maupun dalam ius constitutum (antara lain adalah Bab XIII Pasal 98-101 KUHAP tentang penggabungan perkara gugatan ganti kerugian),[12] serta juga dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang dalam hal ini membedakan dua jenis hak korban. Korban kejahatan ”konvensional” yang ternyata tidak berhak atas bantuan medis dan bantuan rehabilitas psiko-sosial.[13] Hak ini hanya diberikan kepada korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di samping itu, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, melalui LPSK, berhak mengajukan kompensasi dan restitusi. Sedangkan korban kejahatan “konvensional” hanya berhak mengajukan restitusi saja.
Terhadap apa yang diuraikan di atas, adalah dalam rangka demi kepastian hukum. Akan tetapi dalam praktek kehidupan masyarakat, seperti telah diuraikan di atas, system hukum adat justru memberikan peluang untuk melakukan perdamaian, sehingga dilihat dari perspektif hukum pidana positif, maka praktek-praktek yang demikian itu menjadi “keluar” dari jalur proses yang formal. Dengan demikian, untuk kejadian-kejadian tertentu perlu diteliti kembali, tentang bagaimanakah penerapan hukum (acara) pidana positif masih layak diberlakukan sehingga tujuan keadilan dan kepentingan perlindungan dapat dicapai.[14]
Urgensi adanya penyelidikan dimaksud semakin jelas jika dikaitkan dengan pelanggaran lalu lintas yang mengakibatkan korban luka atau meninggal dunia, yang dalam prakteknya seringkali diikuti dengan pemberian santunan oleh pelaku kepada korban di luar proses peradilan pidana. Sedangkan dalam praktek Pengadilan Negeri sendiri, terhadap semua korban yang diakibatkan oleh pelanggaran lalu lintas ini, tidak diperoleh santunan, baik berupa sejumlah uang ganti kerugian maupun dalam bentuk perawatan atau fasilitas dari pihak pelaku (?). Sehingga dengan demikian harus ditetapkan, bahwa dalam hal-hal tertentu, penyelesaian di luar jalur formal justru dapat menciptakan dan melahirkan suatu keadilan bagi kedua belah pihak.
Sehubungan dengan pengaturan ganti kerugian yang harus dibayarkan oleh pelaku kepada korban, Sudarto berpendapat, bahwa pidana pengenaan kewajiban ganti kerugian yang dikenakan pada pelaku itu akan mempunyai arti apabila si pelaku mampu membayar. Apabila ia tidak mampu, dan dapat diperkirakan bahwa sebagian besar dari orang yang melakukan perbuatan pidana itu adalah termasuk orang yang tidak mampu, dan terhadap hal ini perlu pula difikirkan jalan keluarnya.[15]
Lebih lanjut Sudarto[16] mengingatkan, di samping masalah kemampuan, perlu ditinjau pula makna dari pidana tambahan tersebut dalam rangka pemaknaan terhadap pidana pada umumnya.
Tujuan yang ingin dicapai dengan penerapan pidana dan hukum pidana selama ini belum pernah dirumuskan secara formal dalam peraturan perundang-undangan. Perumusan ini baru tampak dalam RKUHP.[17] Oleh karena itu, pembahasan masalah tujuan pemidanaan dalam hal ini lebih bersifat teoretis.
Secara tradisional, teori-teori tentang tujuan pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 kelompok teori, yaitu:
1.      Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/ vervelings theorien);
2.      Teori relatif atau teori tujuan (utilitarian/ doeltheorien)[18]
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa tujuan pemidanaan menurut teori pertama, merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang melakukan perbuatan pidana. Jadi dasar pembenaran dari pemidanaan terletak pada adanya terjadi perbuatan pidana itu sendiri. Teori ini muncul pada akhir abad kedelapan belas, dan Immanuel Kant, salah seorang tokoh dari teori ini berpendapat, “pidana bukan merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan, melainkan mencerminkan keadilan.”
Sedangkan menurut teori kedua, tujuan pemidanaan bukanlah untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.[19] Oleh karena itu, teori inipun sering pula disebut dengan teori tujuan (utilitariantheorien). Teori ini mencari dasar hukum pidana dalam penyelenggaraan tertib masyarakat dan akibatnya yaitu tujuan pemidanaan untuk prevensi perbuatan pidana, baik prevensi spesial (khusus) maupun prevensi general (umum).
Berdasarkan uraian di atas, tujuan pemidanaan secara tradisional dan teoretis ini, ternyata hanya berorientasi pada pelaku (pembuat) perbuatan pidana.
Terhadap apa yang dipersoalkan oleh Sudarto, seperti disebutkan di muka, menurut hemat penulis akan masih relevan jika orientasi hukum pidana masih pada pelaku perbuatan pidana, sehingga wajar apabila masalah tujuan pemidanaan tersebut masih dipersoalkan.[20] Dalam kaitan ini, van der Heuvel[21] menulis bahwa sekarang telah terjadi pergeseran perhatian. Pergeseran perhatian dan issue yang dimaksud adalah bahwa hukum pidana telah tidak lagi semata-mata memusatkan perhatian terhadap pelaku dan perbuatan pidananya, melainkan juga memusatkan perhatiannya terhadap konsekuensi-konsekuensi yang (mungkin) timbul sebagai akibat dari perbuatan pidana yang dilakukan.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, yang menyebutkan bahwa konsep ganti kerugian itu sebenarnya telah lama ada dan berlaku dalam hukum adat di Indonesia, dan beberapa waktu belakangan ini telah pula diperjuangkan sebuah  pendekatan konsep yaitu melalui metode pendekatan keadilan restorative.
Istilah Keadilan restoratif biasanya disimbolkan ke Albert Eglash yang mencari perbedaan yang dia lihat antara 3 bentuk yang berbeda dari keadilan kriminal. Yang pertama adalah Keadilan retributif yang menitik beratkan pada menghukum pelaku atas apa yang mereka lakukan. Yang kedua berhubungan dengan apa yang dia sebut sebagai keadilan distributif yang menitik beratkan pada rehabilitasi pelaku. Yang ketiga adalah keadilan restoratif dimana dia secara luas menyeimbangkannya dengan prinsip-prinsip dasar penggantian kerugian. Mungkin dia adalah orang pertama yang menghubungkan istilah itu dengan pendekatan yang mencoba untuk menunjukan konsekuensi merugikan dari sebuah aksi pelaku pelanggaran, dengan mencari secara aktif melibatkan pelaku dan korban dalam proses yang ditujukan pada perbaikan untuk para korban dan rehabilitasi para pelaku.[22]
Teori rehabilitasi dalam rangka reintegrasi narapidana ke pergaulan sosial masyarakat bebas, tampaknya masih menjadi pilihan utama dalam pembinaan narapidana di negara-negara Asia Pasifik. Namun demikian angin baru dalam pembinaan narapidana dengan melandaskan diri pada teori restorasi mulai berhembus dan diterapkan. Inti dari teori ini adalah bahwa pemidanaan harus bertujuan untuk memulihkan hubungan pelaku dengan korbannya dan direstui oleh masyarakat.[23]
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional tahun 1980, yang dalam salah satu laporannya menyebutkan:
1.      Sesuai dengan politik hukum pidana, maka tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari perbuatan pidana serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingan-kepentingan masyarakat/negara, korban dan pelaku.
2.      Atas dasar tujuan tersebut, maka pemidanaan harus mengandung unsur-unsur yang bersifat:
a.       Kemanusiaan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang;
b.      Edukatif, dalam arti bahwa pemidanaan itu mampu membuat orang sadar sepenuhnya atas perbuatan yang dilakukan dan menyebabkan ia mempunyai sikap jiwa yang positif dan konstruktif bagi usaha penanggulangan perbuatan pidana;
c.       Keadilan, dalam arti bahwa pemidanaan tersebut dirasakan adil, baik oleh si pelaku perbuatan pidana maupun oleh korban ataupun oleh masyarakat.[24]
Andi Mattalatta,[25] dalam kaitan ini menulis, hakekat dari suatu perbuatan pidana seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang merugikan pihak lain yaitu yang disebut dengan korban, karena itu pidana yang dijatuhkan kepada pelanggar harus pula memperhatikan kepentingan dari si korban dalam bentuk pemulihan kerugian yang dideritanya. [26]
Lebih lanjut diuraikan, pentingnya untuk memperhatikan kepentingan korban dalam penjatuhan pidana, bukan sekedar untuk memenuhi hak korban, bukan pula sekedar pertimbangan akal karena logika mengatakan demikian, tetapi jauh dari itu adalah juga untuk kepentingan pelaku perbuatan pidana itu sendiri. Si pelaku yang telah berbuat baik kepada korbannya akan lebih mudah pembinaannya karena dengan demikian pelaku telah merasa berbuat secara kongkrit untuk menghilangkan “noda” yang diakibatkan oleh perbuatan pidananya. Penjatuhan sanksi berupa kewajiban untuk memberikan santunan kepada korban, akan mengembangkan tanggung jawab pelaku karena dalam pelaksanaannya diperlukan peranan aktif dari si pelaku. Peranan yang lebih aktif dari pelaku akan lebih memudahkan dia untuk menghayati akibat dari perbuatannya bila dibandingkan dengan pembinaan dalam Lembaga Pemasyarakatan tempat narapidana biasa bersikap pasif.
Dari segi masyarakat, penjatuhan pidana serupa ini juga akan menanamkan pengaruh bahwa si pelaku bukan saja telah dijatuhi pidana tetapi ia juga telah membayar “untungnya” dalam bentuk perbuatan baik terhadap korbannya. Pengaruh seperti ini akan lebih memudahkan masyarakat untuk menerima kembali kemampuan pelaku tersebut. Sikap masyarakat seperti ini pada akhirnya akan memupuk dan mengembalikan kepercayaan dari si pelaku sebagai suatu syarat dalam menempuh jalan hidup yang lebih baik.[27]


BIBLIOGRAPHY
Andi Hamzah, System Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Cetakan Kedua (Edisi Revisi).
Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. J.E. Sahetapy (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Cetakan Pertama.
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996. Cetakan Kedua (Edisi Kedua).
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam). Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1996. Cetakan Pertama.
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-Undang Tentang Azas-Azas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1985. Cetakan Ketiga.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992. Cetakan Kedua (Edisi Revisi).
Purwoto S. Gandasubrata, “Masalah Ganti Rugi Dalam/Karena Perkara Pidana,” Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (ed.) Badan Kontak Profesi Hukum Lampung. Bandung: Alumni, 1977.
Romli Atmasasmita, „Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,” Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992.
Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan Pertama.
______, Segi Lain Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Cetakan Pertama.
Slamet Muljana, Per-Undang2-an Madjapahit. Djakarta: Bhrata, 1967. Tanpa Cetakan.
Soerjono Soekanto, “Menangkap Rasa Keadilan Masyarakat oleh Penegak Hukum,” Acuan untuk Penegak Hukum Mewujudkan Keadilan, (ed.) Panda Nababan dan R.M. Suripto [Jakarta, 1983].
Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat.


[1] Stephen Schafer, The Victim and Criminal, Random House, New York, 1968. halaman 117-118.
[2] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan System Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994. Cetakan Pertama (Edisi Pertama). Halaman 77; pernyataan yang sama juga dikemukakan oleh Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986. Cetakan keempat. Halaman 180.
[3] Purwoto S. Gandasubrata, “Masalah Ganti Rugi Dalam/Karena Perkara Pidana,” Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (ed.) Badan Kontak Profesi Hukum Lampung. Bandung: Alumni, 1977. Halaman 117-118.
[4] Romli Atmasasmita, „Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,” Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992. Halaman 44-45
[5] Dalam kaitan ini, Soerjono Soekanto menulis, penegakan hukum (pidana positif, penulis) bukan merupakan satu-satunya cara untuk mencapai keadilan. Penegakan hukum (positif) merupakan upaya terakhir, apabila usaha-usaha non hukum tidak berhasil menegakan keadilan. Dalam penegakan hukum, pidana harus merupakan upaya terakhir untuk menegakan keadilan…. Oleh karena keadilan belum tentu tercapai dengan penegakan hukum (Soerjono Soekanto, “Menangkap Rasa Keadilan Masyarakat oleh Penegak Hukum,” Acuan untuk Penegak Hukum Mewujudkan Keadilan, (ed.) Panda Nababan dan R.M. Suripto [Jakarta, 1983] Halaman 31-32). Senada dengan hal itu, Roeslan Saleh menulis, bahwa penguasa tidak sepantasnya bertindak dengan upaya-upaya hukum pidana bilamana tujuan tersebut masih dapat dicapai oleh atau dengan stelsel-stelsel kemasyarakatan lainnya (Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan Pertama. Halaman 14).
[6] Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Cetakan Pertama. Halaman 21.
[7] Romli Atmasasmita, 1992, Op. Cit., Halaman 100.
[8] Untuk hukum tidak tertulis (hukum adat), menurut Moeljatno, berlaku syarat 1) harus hidup dalam kalangan masyarakat Indonesia; 2) tidak menghambat perkembangan masyarakat adil dan makmur (Moeljatno, Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana Indonesia dan Rencana Undang-Undang Tentang Azas-Azas dan Dasar-Dasar Pokok Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1985. Cetakan Ketiga. Halaman 24 dan 26).
[9] Slamet Muljana, Per-Undang2-an Madjapahit. Djakarta: Bhrata, 1967. Tanpa Cetakan. Halaman 7.
[10] Sudarto, 1986, Op. Cit., Halaman 181.
[11] Proses perancangan RKUHP ini telah mulai dirintis sejak tahun 1963 (lihat Moeljatno, 1985, Op. Cit., halaman 15 !) Untuk keperluan penulisan ini, penulis menggunakan RKUHP yang dikeluarkan/diterbitkan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berupa naskah Rancangan KUHP (Baru) Buku kesatu dan Kedua serta penjelasannya disusun oleh Panitia Penyusun RUU KUHP Tahun 2006.
[12] Aturan ini merupakan realisasi dari salah satu keputusan Seminar Hukum Nasional tahun 1963, yang antara lain dinyatakan, “agar hakim dalam mengadili perkara pelaku perbuatan pidana dapatlah menyelesaikan pula segi perdatanya (yaitu restitusi, penulis), di samping itu juga dalam rangka merealisasikan peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan hal ini sekaligus juga untuk memenuhi ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nombor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Purwoto S. Gandasubrata, 1977, Op. Cit., Halaman 118-119), sebagaimana yang sekarang ini telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
[13] Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
[14] Romli Atmasasmita, 1992, Op. Cit., Halaman 51-52.
[15] Sudarto, 1986, Op. Cit., Halaman 87.
[16] Ibid.
[17] Lihat Pasal 51 RKUHP tahun 2006 !
[18] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Halaman 10; Lihat juga Andi Hamzah, System Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia. Jakarta: Pradnya Paramita, 1993. Cetakan Kedua (Edisi Revisi). Halaman 26 !
[19] Sejalan dengan hal ini, dalam hukum Islam, memberikan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan pidana itu bukan berarti membalas dendam, melainkan sesungguhnya adalah untuk kemaslahatannya, seperti dikatakan oleh Ibn Taimiyah, bahwa pidana itu disyariatkan sebagai rahmat Allah bagi hambaNya dan sebagai cermin dari keinginan Allah untuk ihsan kepada hamba-hambaNya. Oleh karena itu, sepantasnyalah bagi orang yang memberikan pidana kepada orang lain atas kesalahnnya harus bermaksud melakukan ihsan dan memberi rahmat kepadanya, seperti seorang bapak yang memberikan pelajaran kepada anaknya, dan seperti seorang dokter yang mengobati pasiennya (H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Hukum Islam). Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 1996. Cetakan Pertama. Halaman 26-27).
[20] Karena memang system peradilan pidana yang sekarang berlaku terlalu difokuskan pada pelaku (menangkap, menyidik, mengadili dan menghukum pelaku) dan kurang sekali memperhatikan korban. Yang acapkali terjadi adalah, bahwa terkaitnya korban dalam system peradilan pidana hanya menambah “trauma baginya” dan meningkatkan rasa ketidakberdayaannya serta frustasinya karena tidak diberikan perlindungan dan upaya hukum yang cukup (Mardjono Reksodiputro, 1994, Op. Cit., Halaman 91).
[21] Romli Atmasasmita, 1992, Op. Cit., Halaman 55.
[24] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996. Cetakan Kedua (Edisi Kedua). Halaman 82.
[25] Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. J.E. Sahetapy (ed.). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987. Cetakan Pertama. Halaman 42.
[26] Dalam istilah Rolling, seperti dikutip oleh Roeslan Saleh, “Hakekat Perbuatan pidana (delik) adalah menimbulkan kejengkelan” (Roeslan Saleh, Op. Cit., Halaman 20).
[27] Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit., halaman 42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj