Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana
Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Menarik untuk dicermati terhadap judul berita “Dua
Direktur HTI Diancam UU Kehutanan dan Lingkungan” sebagaimana yang dimuat dalam
harian Riau Pos (16/12), yang
menyebutkan bahwa Polda Riau melalui Polres Pelalawan telah menetapkan Direktur
PT SRT, Har,
dan Direktur PT NM, Hus, sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di
lokasi HPH dan HTI perusahaan di Kabupaten Pelalawan beberapa waktu lalu. Perusahaan ini
dikenai Undang-Undang Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman
penjara 15 tahun.
Penanganan masalah pembakaran hutan dalam hal ini berkaitan
erat dengan aturan hukum publik, karena menyangkut kepentingan umum. Undang-Undang
Kehutanan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang manjadi sandaran aparat kepolisian
untuk menjerat kedua pelaku pembakaran hutan di atas adalah merupakan bagian
dari hukum publik, dan pada kedua Undang-Undang ini terkait langsung dengan aspek
hukum pidana.
Masalah Pokok
Dalam Hukum Pidana
Secara substansial terdapat tiga persoalan pokok dan
sekaligus sebagai fokus kajian dari hukum pidana. Ketiga masalah pokok itu
adalah berkenaan dengan masalah perbuatan/tindak
pidana, pertanggungjawaban pidana dan
masalah pidana dan pemidanaan. Dari
ketiga persoalan pokok dalam hukum pidana tersebut, maka yang relevan
dibicarakan, sesuai dengan judul di atas, adalah menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Masalah pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan
subjek hukum, karena kepada subjek hukum ini sajalah dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, sebelum penguraian secara lebih
detail tentang konsep pertanggungjawaban pidana, maka terlebih dahulu akan
dipaparkan eksistensi dari subjek hukum itu sendiri, sehingga nantinya terdapat
kejelasan hubungan antara pertanggungjawaban pidana di satu pihak dengan subjek
hukum di lain pihak.
Subjek Hukum
Dalam tataran teoretis akademik, yang dimaksud dengan
subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Artinya, bisa diberi hak
sekaligus dibebani kewajiban. Adapun yang bisa dibebani hak dan kewajiban tersebut,
pada awalnya hanya manusia secara pribadi. Anjing, kucing, tumbuh-tumbuhan,
gunung, semua ini tidak bisa dibebani hak dan kewajiban, maka oleh sebab itu
dia bukanlah subjek hukum. Dalam perkembangannya kemudian, sesuai dengan
perkembangan masyarakat, memunculkan kebutuhan subjek hukum yang lain selain
dari manusia secara pribadi tersebut, yaitu apa yang sekarang dikenal dengan istilah “Badan Hukum” atau
dalam hukum pidana sering disebutkan dengan istilah “Korporasi”. Jadi sekarang yang dikatakan dengan subjek hukum bukan
hanya manusia secara pribadi an sich
melainkan badan hukum/korporasi pun sekarang sudah diakui sebagai subjek hukum,
karena memang terhadap badan hukum/korporasi itu bisa dibebani hak sekaligus
kewajiban.
Sehingga dengan demikian, maka sekarang yang dapat
melakukan kejahatan bukan saja manusia secara pribadi, tapi badan hukum pun juga
dapat berbuat kejahatan seperti manusia. Namun sayang, bahwa ternyata aparat
penegak hukum masih banyak yang belum memahami konsep kejahatan badan hokum tersebut.
Dengan terjadinya perkembangan subjek hukum dari hanya
manusia pribadi bertambah dengan badan hukum/korporasi, maka ini membawa
konsekuensi pada sistem pertanggungjawaban pidana dan pola pemidanaan.
Secara teoretis terdapat tiga sistem pertanggungjawaban
dalam hukum pidana, yaitu geen straf
zonder schuld, strict liability dan vicarious
liability. Geen straf zonder schuld
(tidak ada pidana tanpa kesalahan), artinya adalah bahwa pertanggungjawaban pidana
dalam hal ini digantungkan pada “kesalahan” (baik dalam bentuk kesengajaan
maupun kealpaan). Ini artinya adalah, bahwa semakin besar tingkat kesalahan seseorang,
maka akan semakin berat pertanggungjawaban yang harus dipikul, dan sebaliknya
semakin kecil/sedikit kesalahan, maka beban pertanggungjawaban pidanapun juga
akan semakin ringan.
Sekedar sebuah ilustrasi, ketika ada seseorang mati
karena tabrakan lalu lintas, yang tentunya dilakukan oleh pengemudi dengan
kealpaan (tidak sengaja), dalam hal ini berbeda pertanggungjawaban pidananya ketika
ada seseorang mati karena sengaja dibunuh. Padahal kasusnya sama-sama menghilangkan
nyawa orang lain, namun ternyata pertanggungjawaban pidananya berbeda. Kedua
pelakunya sama-sama salah, namun kualitas kesalahannya berbeda.
Sistem geen straf
zonder schuld, dalam hal ini digunakan untuk pertanggungjawaban pidana
dengan pelakunya manusia yang melakukan perbuatan pidana dengan kategori “kejahatan”. Sedangkan sistem strict liability, merupakan sebuah
konsep yang digunakan untuk memintakan pertanggungjawaban pidana dengan
pelakunya adalah badan hukum/korporasi dan subjek hukum manusia yang melakukan
perbuatan pidana dengan kategori “pelanggaran”.
Di dalam penerapan sistem strict liability (pertanggungjawaban keras/absolut/mutlak) dengan
pelaku kejahatannya adalah badan hukum, dimana pertanggungjawabannya dalam hal
ini tidak didasarkan/disandarkan pada kualitas kesalahan, melainkan titik
fokusnya ada pada telah terjadinya perbuatan pidana/kejahatan. Artinya sistem strict liability tidak ada kaitannya
dengan konsep kesalahan, tetapi langsung berkaitan dengan perbuatan pidana.
Berbeda dengan konsep strict liability,
maka di dalam konsep geen straf zonder
schuld, bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dipidana. Karena
untuk memidana seseorang tergantung pada ada atau tidaknya kesalahan. Sedangkan
pada sistem strict liability badan
hukum yang terbukti melakukan perbuatan pidana langsung dipidana.
Dalam kaitannya dengan masalah pembakaran hutan, secara
tegas dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan, “pemegang hak atau izin bertanggung jawab
atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”. Ketentuan dalam Pasal 49 ini adalah merupakan
contoh pertanggungjawaban pidana dengan sistem strict liability. Artinya, jika terjadi kebakaran lahan di areal
HPH yang dikuasai oleh suatu perusahaan, maka secara otomatis langsung perusahaan
atau badan hukum itulah yang harus bertanggung jawab, tanpa harus melihat
kesalahan, artinya apakah kebakaran yang terjadi itu dilakukan dengan sengaja
atau tidak sengaja/kealpaan, hal ini tidak relevan dibicarakan dalam konteks sistem
pertanggungjawaban pidana strict liability.
Satu hal perlu diingat oleh aparat penegak hukum, bahwa
sebagai sebuah badan hukum maka pertanggungjawaban pidananya bukanlah ditujukan
pada pribadi manusia, entah itu Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya, tidak.
Melainkan yang bertanggung jawab adalah badan hukum itu sendiri, bukan manusia
secara pribadi. Sehingga yang harus didudukan dalam posisi sebagai tersangka
bukan manusia (baik Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya), melainkan adalah
badan hukum itu sendirilah yang disebut sebagai tersangka.
Namun perlu diketahui, bahwa untuk mendapatkan
keterangan dari badan hukum tersebut memang harus diwakili oleh manusia,
pengurus dari badan hukum itu. Akan tetapi tidak berarti lalu dia (orang yang mewakili tersebut) diberi status
sebagai tersangka, dia sekedar mewakili badan hukum dalam proses pemeriksaan.
Dengan memposisikan kedua Direktur PT tersebut di atas sebagai
tersangka inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk memberikan ulasan melalui
tulisan ini, yang dipandang janggal dan bertentangan dengan konsep
pertanggungjawaban pidana badan hukum yang menggunakan sistem strict liability.
Hal lain yang juga perlu penulis kritisi adalah, bahwa
ketika izin HPH-nya telah habis masanya atau daluarsa, tentu perusahaan yang
semula memegang izin HPH tidak bertanggung jawab lagi atas terjadinya kebakaran
di areal bekas HPH yang dikuasai sebelumnya itu.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar