Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Selasa, 21 Februari 2012

Pertanggungjawaban Pidana (Telaah Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan)





Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Menarik untuk dicermati terhadap judul berita “Dua Direktur HTI Diancam UU Kehutanan dan Lingkungan” sebagaimana yang dimuat dalam harian Riau Pos (16/12), yang menyebutkan bahwa Polda Riau melalui Polres Pelalawan telah menetapkan Direktur PT SRT, Har, dan Direktur PT NM, Hus, sebagai tersangka dalam kasus kebakaran hutan dan lahan di lokasi HPH dan HTI perusahaan di Kabupaten Pelalawan beberapa waktu lalu. Perusahaan ini dikenai Undang-Undang Kehutanan dan Lingkungan Hidup dengan ancaman hukuman penjara 15 tahun.
Penanganan masalah pembakaran hutan dalam hal ini berkaitan erat dengan aturan hukum publik, karena menyangkut kepentingan umum. Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Lingkungan Hidup, yang manjadi sandaran aparat kepolisian untuk menjerat kedua pelaku pembakaran hutan di atas adalah merupakan bagian dari hukum publik, dan pada kedua Undang-Undang ini terkait langsung dengan aspek hukum pidana.
Masalah Pokok Dalam Hukum Pidana
Secara substansial terdapat tiga persoalan pokok dan sekaligus sebagai fokus kajian dari hukum pidana. Ketiga masalah pokok itu adalah berkenaan dengan masalah perbuatan/tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan masalah pidana dan pemidanaan. Dari ketiga persoalan pokok dalam hukum pidana tersebut, maka yang relevan dibicarakan, sesuai dengan judul di atas, adalah menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.
Masalah pertanggungjawaban pidana erat kaitannya dengan subjek hukum, karena kepada subjek hukum ini sajalah dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, sebelum penguraian secara lebih detail tentang konsep pertanggungjawaban pidana, maka terlebih dahulu akan dipaparkan eksistensi dari subjek hukum itu sendiri, sehingga nantinya terdapat kejelasan hubungan antara pertanggungjawaban pidana di satu pihak dengan subjek hukum di lain pihak.
Subjek Hukum
Dalam tataran teoretis akademik, yang dimaksud dengan subjek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Artinya, bisa diberi hak sekaligus dibebani kewajiban. Adapun yang bisa dibebani hak dan kewajiban tersebut, pada awalnya hanya manusia secara pribadi. Anjing, kucing, tumbuh-tumbuhan, gunung, semua ini tidak bisa dibebani hak dan kewajiban, maka oleh sebab itu dia bukanlah subjek hukum. Dalam perkembangannya kemudian, sesuai dengan perkembangan masyarakat, memunculkan kebutuhan subjek hukum yang lain selain dari manusia secara pribadi tersebut, yaitu apa yang sekarang dikenal dengan istilah “Badan Hukum” atau dalam hukum pidana sering disebutkan dengan istilah “Korporasi”. Jadi sekarang yang dikatakan dengan subjek hukum bukan hanya manusia secara pribadi an sich melainkan badan hukum/korporasi pun sekarang sudah diakui sebagai subjek hukum, karena memang terhadap badan hukum/korporasi itu bisa dibebani hak sekaligus kewajiban.
Sehingga dengan demikian, maka sekarang yang dapat melakukan kejahatan bukan saja manusia secara pribadi, tapi badan hukum pun juga dapat berbuat kejahatan seperti manusia. Namun sayang, bahwa ternyata aparat penegak hukum masih banyak yang belum memahami konsep kejahatan badan hokum tersebut.
Dengan terjadinya perkembangan subjek hukum dari hanya manusia pribadi bertambah dengan badan hukum/korporasi, maka ini membawa konsekuensi pada sistem pertanggungjawaban pidana dan pola pemidanaan.
Secara teoretis terdapat tiga sistem pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu geen straf zonder schuld, strict liability dan vicarious liability. Geen straf zonder schuld (tidak ada pidana tanpa kesalahan), artinya adalah bahwa pertanggungjawaban pidana dalam hal ini digantungkan pada “kesalahan” (baik dalam bentuk kesengajaan maupun kealpaan). Ini artinya adalah, bahwa semakin besar tingkat kesalahan seseorang, maka akan semakin berat pertanggungjawaban yang harus dipikul, dan sebaliknya semakin kecil/sedikit kesalahan, maka beban pertanggungjawaban pidanapun juga akan semakin ringan.
Sekedar sebuah ilustrasi, ketika ada seseorang mati karena tabrakan lalu lintas, yang tentunya dilakukan oleh pengemudi dengan kealpaan (tidak sengaja), dalam hal ini berbeda pertanggungjawaban pidananya ketika ada seseorang mati karena sengaja dibunuh. Padahal kasusnya sama-sama menghilangkan nyawa orang lain, namun ternyata pertanggungjawaban pidananya berbeda. Kedua pelakunya sama-sama salah, namun kualitas kesalahannya berbeda.
Sistem geen straf zonder schuld, dalam hal ini digunakan untuk pertanggungjawaban pidana dengan pelakunya manusia yang melakukan perbuatan pidana dengan kategori “kejahatan”. Sedangkan sistem strict liability, merupakan sebuah konsep yang digunakan untuk memintakan pertanggungjawaban pidana dengan pelakunya adalah badan hukum/korporasi dan subjek hukum manusia yang melakukan perbuatan pidana dengan kategori “pelanggaran”.
Di dalam penerapan sistem strict liability (pertanggungjawaban keras/absolut/mutlak) dengan pelaku kejahatannya adalah badan hukum, dimana pertanggungjawabannya dalam hal ini tidak didasarkan/disandarkan pada kualitas kesalahan, melainkan titik fokusnya ada pada telah terjadinya perbuatan pidana/kejahatan. Artinya sistem strict liability tidak ada kaitannya dengan konsep kesalahan, tetapi langsung berkaitan dengan perbuatan pidana. Berbeda dengan konsep strict liability, maka di dalam konsep geen straf zonder schuld, bahwa orang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dipidana. Karena untuk memidana seseorang tergantung pada ada atau tidaknya kesalahan. Sedangkan pada sistem strict liability badan hukum yang terbukti melakukan perbuatan pidana langsung dipidana.
Dalam kaitannya dengan masalah pembakaran hutan, secara tegas dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan, “pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya”.  Ketentuan dalam Pasal 49 ini adalah merupakan contoh pertanggungjawaban pidana dengan sistem strict liability. Artinya, jika terjadi kebakaran lahan di areal HPH yang dikuasai oleh suatu perusahaan, maka secara otomatis langsung perusahaan atau badan hukum itulah yang harus bertanggung jawab, tanpa harus melihat kesalahan, artinya apakah kebakaran yang terjadi itu dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja/kealpaan, hal ini tidak relevan dibicarakan dalam konteks sistem pertanggungjawaban pidana strict liability.
Satu hal perlu diingat oleh aparat penegak hukum, bahwa sebagai sebuah badan hukum maka pertanggungjawaban pidananya bukanlah ditujukan pada pribadi manusia, entah itu Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya, tidak. Melainkan yang bertanggung jawab adalah badan hukum itu sendiri, bukan manusia secara pribadi. Sehingga yang harus didudukan dalam posisi sebagai tersangka bukan manusia (baik Direktur Utamanya atau Wakil Direkturnya), melainkan adalah badan hukum itu sendirilah yang disebut sebagai tersangka.
Namun perlu diketahui, bahwa untuk mendapatkan keterangan dari badan hukum tersebut memang harus diwakili oleh manusia, pengurus dari badan hukum itu. Akan tetapi tidak berarti lalu dia (orang yang mewakili tersebut) diberi status sebagai tersangka, dia sekedar mewakili badan hukum dalam proses pemeriksaan.
Dengan memposisikan kedua Direktur PT tersebut di atas sebagai tersangka inilah yang menjadi daya tarik penulis untuk memberikan ulasan melalui tulisan ini, yang dipandang janggal dan bertentangan dengan konsep pertanggungjawaban pidana badan hukum yang menggunakan sistem strict liability.
Hal lain yang juga perlu penulis kritisi adalah, bahwa ketika izin HPH-nya telah habis masanya atau daluarsa, tentu perusahaan yang semula memegang izin HPH tidak bertanggung jawab lagi atas terjadinya kebakaran di areal bekas HPH yang dikuasai sebelumnya itu.
Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj