Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Sabtu, 10 Maret 2012

ANTARA PENANGKAPAN, PENCULIKAN DAN PRAPERADILAN




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
[Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru]
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Beberapa waktu yang lalu pernah terjadi “gugatan” terhadap kinerja aparat kepolisian yang melakukan tindakan penangkapan terhadap para aktivis masjid yang terjadi di daerah Lampung, Semarang dan Solo. Mereka itu seluruhnya berjumlah 17 orang. Dalam kaitan ini, Jend. (Pol) Da’i Bachtiar yang ketika itu menjabat sebagai Kapolri, membantah keras terhadap penggunaan istilah “aktivis masjid”. Menurut Kapolri bahwa yang ditangkap itu adalah mereka yang diduga terlibat dalam kegiatan teroris.
Masalah ini mencuat ke permukaan ketika para isteri dari “aktivis masjid” itu kebingungan mencari sang suami kesana kesini yang telah beberapa hari tak pulang ke rumah tanpa khabar berita. Peristiwa ini terendus oleh wartawan, lalu diekspos melalui media massa. Atas bantuan dari media massa inilah baru kemudian ketahuan bahwa suami-suami dari para isteri yang kebingungan itu tadi, sesungguhnya telah berada dalam tahanan Polisi. Mereka diduga terlibat jaringan teroris. Tapi sayang, tindakan penangkapan yang dilakukan oleh Polisi itu tidak diketahui oleh para sang isteri. Tindakan polisi yang demikian inilah yang menimbulkan beraneka ragam penafsiran dan saling kontroversi. Di satu pihak, polisi tetap pada pendiriannya bahwa itu adalah tindakan penangkapan yang sah, namun di pihak lain menafsirkan bahwa itu adalah tindakan penangkapan yang tidak sah alias sebagai sebuah tindakan penculikan.
Melalui tulisan ini penulis mencoba menguraikan makna dari kedua konsep tersebut: antara penangkapan atau penculikankah yang sesungguhnya telah dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut, kemudian mengkaitkannya dengan proses praperadilan.
Reaksi keras atas peristiwa “penangkapan”, istilah yang digunakan menurut versi polisi, pertama kali muncul dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), kemudian berturut-turut diikuti oleh berbagai LSM yang konsen terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), terakhir secara resmi, para isteri dari para aktivis masjid tersebut dengan kompak mengadukan nasib suami-suami mereka ke Komnas HAM; dan berita yang teranyar ketika itu, bahwa DPR RI ternyata juga ikut bersuara dengan cara memanggil Kapolri untuk memberikan klarifikasi terhadap peristiwa “penangkapan” itu.
Reaksi para isteri yang mengadukan nasib  sang suaminya itu kepada institusi Komnas HAM adalah suatu tindakan yang sangat wajar. Dapatkah Anda membayangkan apabila suatu ketika orang tua Anda, suami, kakak, atau salah seorang dari teman karib Anda tiba-tiba hilang, tak jelas keberadaannya ? Perasaan apa yang berkecamuk dalam dada Anda ? Perasaan kehilangan sudah pasti Anda rasakan, dan tentunya Anda akan mencari tempat “curhat” yang lebih representatif.
Tanpa harus mengungkapkan keberpihakan antara mana yang benar dan mana pula yang salah, maka perlu dijelaskan terlebih dahulu konsep tentang “penangkapan” dan “penculikan”. Samakah penangkapan dengan penculikan itu ?
Adapun persamaan yang dapat dikedepankan antara tindakan penangkapan dan tindakan penculikan adalah: pertama, bahwa kedua tindakan itu sama-sama diatur oleh hukum. Tindakan penculikan diatur dan termasuk dalam ruang lingkup Hukum Pidana Materiil; sedangkan tindakan penangkapan diatur dalam lingkup Hukum Pidana Formil.
Penculikan termasuk dalam kategori sebagai tindakan kejahatan, yaitu seperti dirumuskan dalam ketentuan Pasal 328 KUHP, yang selengkap berbunyi: Barang siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.”
Kedua, bahwa tindakan penculikan dan tindakan penangkapan adalah sama-sama mempunyai maksud memindahkan orang lain dari suatu tempat ke tempat lain secara paksa.
Penangkapan dan HAM
Ada satu hal yang perlu diingat, bahwa hampir sebahagian besar tugas yang diemban oleh aparat kepolisian, termasuk kepolisian Indonesia tentunya, pada hakekatnya adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Mulai dari tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan penggeledahan, pemborgolan dan sebagainya, bukankah semua tindakan ini pada hakekatnya adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Persoalannya, mengapa selama ini kita tidak pernah “menggugat” atau mengajukan keberatan atas tindakan-tindakan polisi yang melanggar Hak Asasi Manusia itu ? Disinilah letak pentingnya ketaatan pada aturan hukum yang berlaku.
Apa yang diuraikan di atas, dapat dijelaskan dengan cara sederhana: bahwa salah satu wujud dari Hak Asasi Manusia adalah hak atas kebebasan, artinya bahwa setiap individu manusia mempnyai hak atas kebebasan. Ketika polisi melakukan penangkapan terhadap diri seseorang, maka tindakan yang dilakukan oleh polisi itu sesungguhnya telah melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu memperkosa hak atas kebebasan seseorang tersebut. Demikian juga halnya terhadap tindakan penggeledahan, penahanan dan sebagainya. Inilah yang penulis maksud bahwa hampir sebahagian besar tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian itu adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Lalu bagaimana kita dapat mencari dan mengedepankan alasan pembenar bahwa tindakan polisi yang demikian itu sesungguhnya tidak sedang melanggar Hak Asasi Manusia melainkan ia sedang menjalan tugas.
Sebagaimana diketahui bahwa Polisi menjalankan tugas, termasuk tugas penangkapan, penahanan, penggeledahan dan sebagainya, adalah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku inilah sebenarnya yang memberikan perlindungan hukum terhadap tugas-tugas yang dilakukan oleh polisi sehingga tidak dikatakan sebagai tindakan yang melanggar Hak Asasi Manusia.
Dalam kaitannya dengan tugas polisi yang melakukan tindakan penangkapan terhadap “aktivis masjid” seperti diuraikan di atas, maka polisi dikatakan tidak melanggar Hak Asasi Manusia, jika dalam melakukan tindakan penangkapan itu, polisi mengikuti aturan dan tata cara penangkapan berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu perlu diuraikan aturan main tugas polisi dalam melakukan tindakan penangkapan yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia. Di dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan:
(1)          Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2)          Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3)          Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Dari aturan hukum di atas, yang mengatur tentang tata cara penangkapan yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia, maka secara gamblang, jelas dan tidak memerlukan tafsiran lagi, yaitu bahwa polisi dalam melakukan tugas penangkapan (bukan tertangkap tangan) harus membekali diri dengan 2 (dua) surat: pertama, menunjukan atau memperlihatkan surat tugas kepada orang yang akan ditangkap (si tersangka). Eksistensi dari surat ini sangat penting, yang mengandung arti agar tidak terjadi tindakan penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan, seperti polisi gadungan. Dengan adanya surat tugas ini, maka tindakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian menjadi tindakan yang sah dan tidak melanggar HAM karena tindakan polisi itu mempunyai landasan legalitas dan mendapat pembenaran secara hukum. Kalau tidak dibekali dengan surat tugas maka ini sama artinya dengan tindakan penculikan. Sebab, belum pernah kita mendengar, misalnya sebelum melakukan tindakan penculikan, si penculik memperlihatkan surat tugasnya. Maka dengan demikian, polisi yang melakukan tindakan penangkapan dengan tidak  memperlihatkan surat tugasnya adalah sama dengan melakukan tindakan penculikan dan sekaligus melanggar Hak Asasi Manusia.
Kedua, selain persyaratan surat tugas yang harus diperlihatkan kepada si tersangka seperti diuraikan di atas, pada waktu melakukan tindakan penangkapan, polisi dipersyaratkan pula membawa dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada si tersangka. Surat ini tidak kalah pentingnya sebagaimana dengan surat tugas. Eksistensi dari surat perintah penangkapan ini adalah untuk menghindari terjadinya error in persona atau salah tangkap orang. Karena di dalam surat perintah penangkapan ini tercantum identitas orang yang akan ditangkap: nama, tempat tinggal, jenis kelamin dan sebagainya.
Kejadian yang menimpa para isteri dari sang suami yang ditangkap adalah dikarenakan ketidakpatuhan polisi terhadap ketentuan hukum yang berlaku, terutama terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (3), sang isteri tidak pernah menerima tembusan surat perintah penangkapan; tentang dimana suami mereka ditahan, apa tuduhannya, dan seterusnya. Sehingga adalah wajar jika para isteri tersebut kelimpungan sekaligus kebingungan karena kehilangan sang suami tercinta. Metode seperti ini persis sama dengan metode penculikan. Tanpa berita, tanpa tembusan surat, dan kadang hilang tak berbekas.
Tragedi tindakan penangkapan tanpa melalui aturan hukum yang dilakukan oleh aparat Kepolisian, sebenarnya telah membuat ketidakamanan dan ketakutan masyarakat, karena dapat saja terjadi sewaktu-waktu, entah itu pada pagi hari atau tengah malam, Anda mungkin dapat saja ditangkap oleh polisi tanpa alasan yang jelas dan tidak memerlukan surat tugas dan surat perintah penangkapan. Ini artinya adalah, bahwa untuk memberantas teroris ternyata polisi justru melakukan tindakan-tindakan dengan cara menteror masyarakat. Karena, bukankah dengan tindakan seperti itu bisa dikatakan bahwa polisi sesungguhnya telah melakukan kegiatan teroris, karena telah membuat masyarakat merasa tidak aman, tercekam dan ketakutan secara meluas ?
Gejala penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian tanpa surat tugas dan tanpa surat perintah penangkapan ini, mengindikasikan bahwa sesungguhnya kita sedang berproses kembali ke rezim hukum Orde Baru (Orba).
Praperadilan
Walaupun memang diakui masih tersedia upaya hukum untuk “memprotes” tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi yang tidak mengindahkan ketentuan Pasal 18 KUHAP, yaitu melalui upaya praperadilan, namun menurut hemat penulis, masalahnya tidak sesederhana itu. Karena hasil akhir dari proses pemeriksaan sidang praperadilan hanya ada 2 (dua) alternatif kemungkinan, yaitu berupa penetapan hakim praperadilan tentang “sah” atau “tidak sahnya” penangkapan yang dilakukan oleh polisi. Jika hakim praperadilan menetapkan bahwa tindakan penangkapan  yang dilakukan oleh polisi itu adalah sah, maka proses pemeriksaan dapat dilanjutkan. Sebaliknya, bilamana penetapan hakim menyatakan bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi itu adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 KUHAP, maka terhadap tersangka tidak dapat dilanjutkan proses pemeriksaan. Hasilnya sangat sumir dan dangkal sekali.
Tidak pernah ada penetapan hakim praperadilan yang menyatakan, misalnya bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dan dengan demikian polisi yang bersangkutan harus diproses sebagai orang yang telah melakukan kejahatan penculikan.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka persoalannya adalah bagaimana jika tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi itu dengan cara sadar dan sengaja tidak mengikuti ketentuan Pasal 18 KUHAP tersebut, lalu masihkah hakim praperadilan hanya “memutuskan” atau menetapkan antara sah dan tidak sah itu saja ? Jawabannya tetap mengacu pada dua alternatif tersebut, karena itulah model hukum acara kita dan ditambah lagi hakim Indonesia yang rata-rata menganut paham positivistis yang sangat kental.
Dari apa yang diuraikan terakhir,menurut hemat penulis inilah yang merupakan satu titik lemah dari aturan sidang praperadilan. Hakim praperadilan hanya memeriksa masalah-masalah administratif penangkapan belaka, tidak menyentuh pada hal yang substansial. Hakim praperadilan hanya diberi wewenang dan mempertanyakan soal ada atau tidaknya surat perintah penangkapan yang diberikan kepada tersangka dan tembusannya kepada keluarga si tertangkap. Pertanyaan tidak pernah menyentuh sampai pada kalimat “mengapa polisi tidak memperlihatkan surat tugas dan menyerahkan surat perintah penangkapan kepada tersangka ?” Padahal stigma yang muncul setelah dilakukan tindakan penangkapan itu sangat luar biasa terhadap diri tersangka maupun keuarganya. Keluarga yang ditinggalkannya seringkali dijauhi oleh masyarakat, apalagi jika itu berkaitan dengan tuduhan teroris, seperti yang dialami oleh para isteri dari aktivis masjid tersebut. Sangat menyakitkan sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj