Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
[Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas
Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru]
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Beberapa waktu yang lalu pernah terjadi
“gugatan” terhadap kinerja aparat kepolisian yang melakukan tindakan
penangkapan terhadap para aktivis masjid yang terjadi di daerah Lampung,
Semarang dan Solo. Mereka itu seluruhnya berjumlah 17 orang. Dalam kaitan ini,
Jend. (Pol) Da’i Bachtiar yang ketika itu menjabat sebagai Kapolri, membantah
keras terhadap penggunaan istilah “aktivis masjid”. Menurut Kapolri bahwa yang
ditangkap itu adalah mereka yang diduga terlibat dalam kegiatan teroris.
Masalah ini mencuat ke permukaan ketika
para isteri dari “aktivis masjid” itu kebingungan mencari sang suami kesana
kesini yang telah beberapa hari tak pulang ke rumah tanpa khabar berita.
Peristiwa ini terendus oleh wartawan, lalu diekspos melalui media massa. Atas
bantuan dari media massa inilah baru kemudian ketahuan bahwa suami-suami dari
para isteri yang kebingungan itu tadi, sesungguhnya telah berada dalam tahanan
Polisi. Mereka diduga terlibat jaringan teroris. Tapi sayang, tindakan
penangkapan yang dilakukan oleh Polisi itu tidak diketahui oleh para sang
isteri. Tindakan polisi yang demikian inilah yang menimbulkan beraneka ragam
penafsiran dan saling kontroversi. Di satu pihak, polisi tetap pada pendiriannya
bahwa itu adalah tindakan penangkapan yang sah, namun di pihak lain menafsirkan
bahwa itu adalah tindakan penangkapan yang tidak sah alias sebagai sebuah
tindakan penculikan.
Melalui tulisan ini penulis mencoba
menguraikan makna dari kedua konsep tersebut: antara penangkapan atau
penculikankah yang sesungguhnya telah dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut,
kemudian mengkaitkannya dengan proses praperadilan.
Reaksi keras atas peristiwa
“penangkapan”, istilah yang digunakan menurut versi polisi, pertama kali muncul
dari MUI (Majelis Ulama Indonesia), kemudian berturut-turut diikuti oleh
berbagai LSM yang konsen terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), terakhir
secara resmi, para isteri dari para aktivis masjid tersebut dengan kompak
mengadukan nasib suami-suami mereka ke Komnas HAM; dan berita yang teranyar
ketika itu, bahwa DPR RI ternyata juga ikut bersuara dengan cara memanggil
Kapolri untuk memberikan klarifikasi terhadap peristiwa “penangkapan” itu.
Reaksi para isteri yang mengadukan
nasib sang suaminya itu kepada institusi
Komnas HAM adalah suatu tindakan yang sangat wajar. Dapatkah Anda membayangkan
apabila suatu ketika orang tua Anda, suami, kakak, atau salah seorang dari
teman karib Anda tiba-tiba hilang, tak jelas keberadaannya ? Perasaan apa yang
berkecamuk dalam dada Anda ? Perasaan kehilangan sudah pasti Anda rasakan, dan
tentunya Anda akan mencari tempat “curhat” yang lebih representatif.
Tanpa harus mengungkapkan keberpihakan
antara mana yang benar dan mana pula yang salah, maka perlu dijelaskan terlebih
dahulu konsep tentang “penangkapan” dan “penculikan”. Samakah penangkapan
dengan penculikan itu ?
Adapun persamaan yang dapat dikedepankan
antara tindakan penangkapan dan tindakan penculikan adalah: pertama, bahwa kedua tindakan itu sama-sama
diatur oleh hukum. Tindakan penculikan diatur dan termasuk dalam ruang lingkup
Hukum Pidana Materiil; sedangkan tindakan penangkapan diatur dalam lingkup
Hukum Pidana Formil.
Penculikan termasuk dalam kategori sebagai tindakan
kejahatan, yaitu seperti dirumuskan dalam ketentuan Pasal 328 KUHP, yang
selengkap berbunyi: “Barang
siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya
sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di
bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam
keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.”
Kedua, bahwa tindakan
penculikan dan tindakan penangkapan adalah sama-sama mempunyai maksud memindahkan
orang lain dari suatu tempat ke tempat lain secara paksa.
Penangkapan dan HAM
Ada satu hal yang perlu diingat, bahwa
hampir sebahagian besar tugas yang diemban oleh aparat kepolisian, termasuk
kepolisian Indonesia tentunya, pada hakekatnya adalah melanggar Hak Asasi
Manusia. Mulai dari tindakan penangkapan, tindakan penahanan, tindakan
penggeledahan, pemborgolan dan sebagainya, bukankah semua tindakan ini pada
hakekatnya adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Persoalannya, mengapa selama ini
kita tidak pernah “menggugat” atau mengajukan keberatan atas tindakan-tindakan
polisi yang melanggar Hak Asasi Manusia itu ? Disinilah letak pentingnya
ketaatan pada aturan hukum yang berlaku.
Apa yang diuraikan di atas, dapat
dijelaskan dengan cara sederhana: bahwa salah satu wujud dari Hak Asasi Manusia
adalah hak atas kebebasan, artinya bahwa setiap individu manusia mempnyai hak
atas kebebasan. Ketika polisi melakukan penangkapan terhadap diri seseorang,
maka tindakan yang dilakukan oleh polisi itu sesungguhnya telah melanggar Hak
Asasi Manusia, yaitu memperkosa hak atas kebebasan seseorang tersebut. Demikian
juga halnya terhadap tindakan penggeledahan, penahanan dan sebagainya. Inilah
yang penulis maksud bahwa hampir sebahagian besar tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian itu adalah melanggar Hak Asasi Manusia. Lalu
bagaimana kita dapat mencari dan mengedepankan alasan pembenar bahwa tindakan
polisi yang demikian itu sesungguhnya tidak sedang melanggar Hak Asasi Manusia
melainkan ia sedang menjalan tugas.
Sebagaimana diketahui bahwa Polisi
menjalankan tugas, termasuk tugas penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
sebagainya, adalah berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maka atas dasar peraturan perundang-undangan yang berlaku inilah sebenarnya
yang memberikan perlindungan hukum terhadap tugas-tugas yang dilakukan oleh
polisi sehingga tidak dikatakan sebagai tindakan yang melanggar Hak Asasi
Manusia.
Dalam kaitannya dengan tugas polisi yang
melakukan tindakan penangkapan terhadap “aktivis masjid” seperti diuraikan di
atas, maka polisi dikatakan tidak melanggar Hak Asasi Manusia, jika dalam
melakukan tindakan penangkapan itu, polisi mengikuti aturan dan tata cara
penangkapan berdasarkan hukum yang berlaku. Untuk itu perlu diuraikan aturan
main tugas polisi dalam melakukan tindakan penangkapan yang tidak melanggar Hak
Asasi Manusia. Di dalam ketentuan Pasal 18 Ayat (1), (2) dan (3) Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), ditegaskan:
(1)
Pelaksanaan
tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia
dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat
perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan
serta tempat ia diperiksa.
(2)
Dalam
hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan
ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang
bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3)
Tembusan
surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
Dari aturan hukum di atas, yang mengatur
tentang tata cara penangkapan yang tidak melanggar Hak Asasi Manusia, maka
secara gamblang, jelas dan tidak memerlukan tafsiran lagi, yaitu bahwa polisi
dalam melakukan tugas penangkapan (bukan tertangkap tangan) harus membekali
diri dengan 2 (dua) surat: pertama,
menunjukan atau memperlihatkan surat
tugas kepada orang yang akan ditangkap (si tersangka). Eksistensi dari surat
ini sangat penting, yang mengandung arti agar tidak terjadi tindakan
penangkapan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mempunyai kewenangan,
seperti polisi gadungan. Dengan adanya surat tugas ini, maka tindakan yang
dilakukan oleh aparat kepolisian menjadi tindakan yang sah dan tidak melanggar
HAM karena tindakan polisi itu mempunyai landasan legalitas dan mendapat
pembenaran secara hukum. Kalau tidak dibekali dengan surat tugas maka ini sama
artinya dengan tindakan penculikan. Sebab, belum pernah kita mendengar,
misalnya sebelum melakukan tindakan penculikan, si penculik memperlihatkan
surat tugasnya. Maka dengan demikian, polisi yang melakukan tindakan
penangkapan dengan tidak memperlihatkan
surat tugasnya adalah sama dengan melakukan tindakan penculikan dan sekaligus
melanggar Hak Asasi Manusia.
Kedua, selain
persyaratan surat tugas yang harus diperlihatkan kepada si tersangka seperti diuraikan
di atas, pada waktu melakukan tindakan penangkapan, polisi dipersyaratkan pula
membawa dan menyerahkan surat
perintah penangkapan kepada si tersangka. Surat ini tidak kalah pentingnya sebagaimana
dengan surat tugas. Eksistensi dari surat perintah penangkapan ini adalah untuk
menghindari terjadinya error in persona atau
salah tangkap orang. Karena di dalam surat perintah penangkapan ini tercantum
identitas orang yang akan ditangkap: nama, tempat tinggal, jenis kelamin dan
sebagainya.
Kejadian yang menimpa para isteri dari
sang suami yang ditangkap adalah dikarenakan ketidakpatuhan polisi terhadap
ketentuan hukum yang berlaku, terutama terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat (3),
sang isteri tidak pernah menerima tembusan surat perintah penangkapan; tentang dimana
suami mereka ditahan, apa tuduhannya, dan seterusnya. Sehingga adalah wajar
jika para isteri tersebut kelimpungan sekaligus kebingungan karena kehilangan
sang suami tercinta. Metode seperti ini persis sama dengan metode penculikan.
Tanpa berita, tanpa tembusan surat, dan kadang hilang tak berbekas.
Tragedi tindakan penangkapan tanpa
melalui aturan hukum yang dilakukan oleh aparat Kepolisian, sebenarnya telah
membuat ketidakamanan dan ketakutan masyarakat, karena dapat saja terjadi
sewaktu-waktu, entah itu pada pagi hari atau tengah malam, Anda mungkin dapat
saja ditangkap oleh polisi tanpa alasan yang jelas dan tidak memerlukan surat
tugas dan surat perintah penangkapan. Ini artinya adalah, bahwa untuk
memberantas teroris ternyata polisi justru melakukan tindakan-tindakan dengan
cara menteror masyarakat. Karena, bukankah dengan tindakan seperti itu bisa
dikatakan bahwa polisi sesungguhnya telah melakukan kegiatan teroris, karena
telah membuat masyarakat merasa tidak aman, tercekam dan ketakutan secara meluas
?
Gejala penangkapan yang dilakukan oleh
aparat kepolisian tanpa surat tugas dan tanpa surat perintah penangkapan ini,
mengindikasikan bahwa sesungguhnya kita sedang berproses kembali ke rezim hukum
Orde Baru (Orba).
Praperadilan
Walaupun memang diakui masih tersedia
upaya hukum untuk “memprotes” tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi
yang tidak mengindahkan ketentuan Pasal 18 KUHAP, yaitu melalui upaya
praperadilan, namun menurut hemat penulis, masalahnya tidak sesederhana itu.
Karena hasil akhir dari proses pemeriksaan sidang praperadilan hanya ada 2
(dua) alternatif kemungkinan, yaitu berupa penetapan hakim praperadilan tentang
“sah” atau “tidak sahnya” penangkapan yang dilakukan oleh polisi. Jika hakim
praperadilan menetapkan bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi itu adalah sah,
maka proses pemeriksaan dapat dilanjutkan. Sebaliknya, bilamana penetapan hakim
menyatakan bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan oleh polisi itu adalah
tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 18 KUHAP, maka terhadap
tersangka tidak dapat dilanjutkan proses pemeriksaan. Hasilnya sangat sumir dan
dangkal sekali.
Tidak pernah ada penetapan hakim
praperadilan yang menyatakan, misalnya bahwa tindakan penangkapan yang dilakukan
oleh polisi adalah tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku, dan dengan demikian polisi yang bersangkutan harus diproses sebagai
orang yang telah melakukan kejahatan penculikan.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka
persoalannya adalah bagaimana jika tindakan penangkapan yang dilakukan oleh
polisi itu dengan cara sadar dan sengaja tidak mengikuti ketentuan Pasal 18
KUHAP tersebut, lalu masihkah hakim praperadilan hanya “memutuskan” atau
menetapkan antara sah dan tidak sah itu saja ? Jawabannya tetap mengacu pada
dua alternatif tersebut, karena itulah model hukum acara kita dan ditambah lagi
hakim Indonesia yang rata-rata menganut paham positivistis yang sangat kental.
Dari apa yang diuraikan terakhir,menurut
hemat penulis inilah yang merupakan satu titik lemah dari aturan sidang
praperadilan. Hakim praperadilan hanya memeriksa masalah-masalah administratif
penangkapan belaka, tidak menyentuh pada hal yang substansial. Hakim
praperadilan hanya diberi wewenang dan mempertanyakan soal ada atau tidaknya
surat perintah penangkapan yang diberikan kepada tersangka dan tembusannya
kepada keluarga si tertangkap. Pertanyaan tidak pernah menyentuh sampai pada
kalimat “mengapa polisi tidak memperlihatkan surat tugas dan menyerahkan surat
perintah penangkapan kepada tersangka ?” Padahal stigma yang muncul setelah
dilakukan tindakan penangkapan itu sangat luar biasa terhadap diri tersangka
maupun keuarganya. Keluarga yang ditinggalkannya seringkali dijauhi oleh
masyarakat, apalagi jika itu berkaitan dengan tuduhan teroris, seperti yang
dialami oleh para isteri dari aktivis masjid tersebut. Sangat menyakitkan
sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar