Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Selasa, 12 Juli 2011

Kejaksaan Dan Kebijakan “Rentut”





Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.

(Penulis adalah dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Kejaksaan R.I. adalah lembaga yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.

Kejaksaan berada pada poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Kejaksaan sebagai lembaga pengendali proses perkara, karena hanya institusi Kejaksaanlah yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Sehubungan dengan hal di atas, mengingat posisi Kejaksaan yang demikian strategis itu, maka hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah "kejaksaan", yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan.
Sebelum melangkah ke Pengadilan, Jaksa menyiapkan Surat Dakwaan. Berlainan dengan surat tuntutan, maka fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir), dan sebagai dasar pembuatan pembelaan oleh terdakwa/pembelanya, serta sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan, namun pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.
Sebelum hakim menjatuhkan putusan, maka JPU harus mengajukan surat tuntutan terlebih dahulu. Namun di internal kejaksaan, sebelum lahirnya tuntutan, terdapat istilah Rencana Tuntutan (rentut). Rentut ini bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. Istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana.
Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok terhadap perkara-perkara yang jenis tindak pidananya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 antara lain adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau sarana yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan.
Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut.
Sebelum melangkah lebih jauh membicarakan tentang eksistensi Rentut ini, perlu sekilas uraian tentang surat tuntutan (requisitoir). Surat tuntutan yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta apakah terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam peristiwa yang terjadi. Kesimpulan yang benar dari sudut hukum yang didukung oleh doktrin hukum maupun ilmu sosial lainnya dan keadilan merupakan taruhan keprofesionalan dan kualitas seorang Jaksa Penuntut Umum.
Rentut, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah singkatan dari rencana tuntutan. Sebelum membacakan tuntutan di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum biasanya melaporkan dulu rencana atas tuntutan itu kepada atasannya. Untuk perkara tertentu yang mendapat perhatian masyarakat, rentut harus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sulitnya adalah menentukan mana perkara yang menarik perhatian masyarakat, karena ketiadaan tolok ukur yang jelas dan objektif.
Dalam kaitan ini, Andi Hamzah mengkritik, bahwa kebijakan rentut semacam itu hanya dikenal di Indonesia. Pola semacam itu membuka peluang adanya intervensi atasan. Jaksa itu mestinya independen.
Dari paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya kebijakan rentut yang ditentukan oleh atasan seperti itu, maka secara otomatis akan menambah panjang proses birokrasi yang harus dilalui oleh seorang JPU dalam menangani suatu perkara pidana. Konsekuensinya adalah akan berimplikasi pada terganggunya proses peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk di dalamnya akan mengganggu proses persidangan di pengadilan.
Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya “kewajiban” penyampaian rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan, “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Dari redaksi Pasal 182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan.
Kritik terhadap eksistensi Rentut antara lain disebutkan: Jaksa menjadi tidak lagi merdeka (dependent) dalam menjalankan tugas dan fungsinya; Jaksa menjadi kurang bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidananya bukan lagi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan; Tidak memberi kesempatan berkembangnya profesionalisme Jaksa.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, jika dilihat dari sisi kewenangan mempertimbangkan unsur yang memberatkan dan meringankan sesungguhnya ada pada hakim, sesuai Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bukan pada Penuntut Umum. Sehingga kebijakan “rencana tuntutan” yang ditentukan oleh dan harus mendapat persetujuan kepala Kejaksaan Negeri (Kejari), kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati), atau untuk perkara-perkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung harus diakhiri. Sebab, dalam realitasnya lebih sering dijadikan tawar-menawar yang berimplikasi uang (?). Tuntutan tidak perlu mendapat persetujuan atasan karena merupakan wewenang penuh Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara tersebut. Dalam tataran realitas, sesungguhnya JPU yang menangani perkara itulah yang paling tau dan paling mengerti dengan kondisi yang sebenarnya selama proses persidangan, sementara atasannya sama sekali tidak mengetahui secara riil proses persidangan yang berlangsung tersebut. Bagaimana mungkin orang yang tidak tau dengan kondisi riil proses persidangan lalu mempunyai kewenangan untuk menetapkan tuntutan pidananya ? Ini tidak logis dan tidak masuk akal. Apalagi misalnya proses persidangannya berlangsung di Indonesia bagian Timur nun jauh disana, sementara Rentutnya ditetapkan oleh Jaksa Agung yang berada di Jakarta, yang nota bene tidak tau sama sekali dengan kondisi riil persidangan terhadap seseorang, bukankah hal ini sebuah lelucon yang tidak lucu ?
Kalau alasannya untuk meminimalisir terjadinya disparitas pidana agar tidak terlalu mencolok, ini juga tidak masuk akal. Karena hakim berwenang untuk menjatuhkan putusan di bawah maupun di atas tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU. Kalau misalnya Jaksa mengajukan tuntutan pidana 10 tahun penjara terhadap seseorang terdakwa, maka hakim dalam hal ini bebas untuk menjatuhkan pidana penjara 5 tahun atau 8 tahun ataupun 12 tahun penjara. Hakim tidak wajib mengikuti tuntutan pidana yang diajukan oleh JPU.
Kebijakan internal Kejaksaan berupa “kewajiban” mengajukan rentut kepada atasan seperti diuraikan di atas, ini menggambarkan secara vulgar dan ketelanjangan kepada publik bahwa kejaksaan menganut system komando seperti layaknya di institusi kemiliteran. Di Negara manapun di dunia ini, militer adalah menganut system komando dan untuk itu tidak ada celah bagi yang namanya demokrasi di tubuh militer, termasuk militer yang ada di Indonesia tentunya.
Kebijakan internal Kejaksaan berupa Rentut menggambarkan ketidakpercayaan atasan kepada bawahan. Jika hal ini tetap berlangsung, maka pada gilirannya nanti hal ini akan mengarah kepada system komando, yang justru akan membawa malapetaka bagi kehancuran penegakan hukum di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
Untuk lebih meningkatkan citra profesionalitas kejaksaan dalam melakukan penuntutan dalam proses peradilan pidana, maka sebaiknya lembaga rentut dihapuskan, sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara pidana yang bersangkutan. Dengan catatan lembaga Eksaminasi harus diperkuat. Eksaminasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Lembaga Eksaminasi yang bersifat Eksternal, yang bertugas untuk menguji dan menilai kinerja dari Jaksa Penuntut Umum tersebut, baik yang yang berkaitan dengan dakwaannya maupun dengan tuntutannya.

3 komentar:

  1. Bpk, saya mau nanya. Dasar hukumnya, sorang hakim dapat menjatuhkan pidana lebih ringan atau lebih berat dari tuntutan JPU diatur dimana?

    BalasHapus
  2. Kalau kita merujuk pada sistem pertanggungjawaban pidana "Geen Straf Zonder Schuld", maka pidana ditentukan oleh tingkat dan bentuk kesalahan (bentuk kesalahan ada 2 yaitu kesengajaan dan kealpaan)dan Sejauh pengetahuan saya, sampai saat ini belum ada perumusan kongkrit tentang pedoman pemidanaan bagi hakim, kecuali dalam Rancangan KUHP ada dirumuskan pedoman pemidanaan secara jelas, apa saja yang musti dipertimbangkan oleh hakim sebelum menjatuhkan pidana pada terdakwa, demikian terima kasih.

    BalasHapus
  3. Blog nya keren dengan informasinya tapi sayang terlalu banyak ornamen yang gak penting kaya musik dan lain" jd malah mengganggu klo mau baca dengan tenang.

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj