Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 29 Oktober 2010

Kemerdekaan Profesionalisme Jaksa Sebagai Penuntut Umum: Analisis Terhadap Kebijakan Rencana Tuntutan (Rentut)[1]

-->



Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Penulis adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
A. Pendahuluan
Sesuai dengan sub tema yang dimintakan kepada penulis untuk ikut memberikan sumbang fikiran berkaitan dengan soal “Evaluasi Reformasi Kejaksaan”, mengingat keterbatasan waktu, maka penulis pada kesempatan ini hanya menyorot satu sisi yaitu yang berkaitan dengan kebijakan Rencana Tuntutan (Rentut) yang menurut hemat penulis, hal ini merupakan suatu persoalan yang menarik untuk didiskusikan baik berkaitan dengan eksistensi, dasar legalitasnya, dan kemanfaatan maupun efektivitasnya.
Seperti yang telah menjadi pengetahuan publik bahwa tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan semakin hari semakin menipis. Hal ini tercermin dengan fenomena dimana masyarakat mulai mengambil jalan pintas untuk main hakim sendiri dan enggan untuk mengadukan atau melaporkan terjadinya suatu tindak pidana kepada aparat penegak hukum. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh pandangan sebagian masyarakat bahwa proses penyelesaian hukum melalui lembaga peradilan penuh dengan permainan, seringkali menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
Salah satu lembaga yang mendapat sorotan tajam adalah Kejaksaan, sebab pada pada lembaga inilah nasib seseorang ditentukan apakah akan diperiksa oleh pengadilan atau tidak, Jaksa pula yang berwenang menentukan apakah seorang tersangka dapat dituntut atau tidak melalui kualitas surat dakwaan dan tuntutan yang dibuatnya. Sedemikian penting posisi Jaksa bagi proses penegakan hukum sehingga lembaga ini harus diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi..
B. Eksistensi Lembaga Kejaksaan
Kejaksaan R.I. adalah lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara, khususnya di bidang penuntutan. Sebagai badan yang berwenang dalam penegakan hukum dan keadilan, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada Presiden. Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, dan Kejaksaan Negeri merupakan kekuasaan negara khususnya di bidang penuntutan, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Di dalam Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini, Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya secara merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya (Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004).
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Kejaksaan dipimpin oleh Jaksa Agung yang membawahi enam Jaksa Agung Muda serta 31 Kepala Kejaksaan Tinggi pada tiap Provinsi (?). Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia juga mengisyaratkan bahwa lembaga Kejaksaan berada pada posisi sentral dengan peran strategis dalam pemantapan ketahanan bangsa. Karena Kejaksaan berada di poros dan menjadi filter antara proses penyidikan dan proses pemeriksaan di persidangan serta juga sebagai pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan. Sehingga, Lembaga Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
Perlu ditambahkan, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar). Selain berperan dalam perkara pidana, Kejaksaan juga memiliki peran lain dalam Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara, yaitu dapat mewakili Pemerintah dalam Perkara Perdata dan Tata Usaha Negara sebagai Jaksa Pengacara Negara. Jaksa sebagai pelaksana kewenangan tersebut diberi wewenang sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan, dan wewenang lain berdasarkan Undang-Undang.
Sehubungan dengan hal di atas, mengingat posisi Kejaksaan yang demikian strategis itu, maka hampir seluruh negara modern di dunia ini mempunyai sebuah institusi yang disebut dengan istilah "kejaksaan", yang mempunyai tugas utama melakukan penuntutan dalam perkara pidana ke pengadilan.[3]
Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 1 butir 1 dan butir 2 disebutkan pengertian jaksa dan penuntut umum. Bunyi Pasal 1 butir 1 adalah “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.” Sedangkan Pasal 1 butir 2 berbunyi: “Penuntut Umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) undang-undang di atas, tugas jaksa adalah. melakukan penuntutan; melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
C. Jaksa Sebagai Lembaga Penuntut
Dalam kaitannya dengan tugas yang diemban oleh Jaksa sebagai Penuntut Umum, maka eksistensi surat(requisitoir) merupakan bagian yang penting dalam proses hukum acara pidana. Surat tuntutan (requisitoir) dibuat secara tertulis dan dibacakan di persidangan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 182 ayat (1) huruf c KUHAP. Surat tuntutan (requisitoir) mencantumkan tuntutan jaksa penuntut umum terhadap terdakwa, baik berupa penghukuman atau pembebasan dan disusun berdasarkan pemeriksaan saksi dan saksi ahli, alat bukti, dan keterangan terdakwa. Berbeda dengan surat dakwaan yang disampaikan di awal persidangan, belum ada ancaman pidananya, dan disusun berdasarkan berita acara polisi. tuntutan
Berlainan dengan Surat Tuntutan, maka Fungsi surat dakwaan adalah sebagai dasar pemeriksaan di sidang Pengadilan, sebagai dasar pembuatan surat tuntutan (requisitoir), sebagai dasar pembuatan pembelaan terdakwa dan atau pembelanya, sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan, dan sebagai dasar pemeriksaan peradilan selanjutnya. Pemeriksaan didasarkan kepada surat dakwaan dan menurut Nederburg, pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.[4]
Tuntutan Penuntut Umum menjadi dasar bagi hakim untuk menjatuhkan putusan. Putusan hakim tanpa adanya tuntutan penuntut umum berakibat putusan batal demi hukum.[5]
Rencana Tuntutan (rentut) bukanlah sebuah istilah yang baru dalam proses peradilan pidana. Rentut telah mulai dikenal dan diberlakukan serta diterapkan oleh Kejaksaan sejak tahun 1985, yaitu berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) Nomor 09/1985. istilah resmi dari Rentut, berdasarkan Surat Edaran tersebut adalah Pedoman Tuntutan Pidana.
Dasar pemikiran adanya Rentut adalah dalam rangka pengendalian perkara agar tidak terjadi disparitas tuntutan yang terlalu mencolok pada perkara-perkara yang jenis tindak pidanya sama. Rentut hanya berlaku untuk jenis-jenis tindak pidana yang ditetapkan oleh Kejaksaan Agung yang dari waktu ke waktu dapat berubah seiring dengan perkembangan zaman.[6]
Untuk tindak pidana umum, kriteria perkara penting yang harus melalui Rentut diatur dalam Instruksi Jaksa Agung Nomor INS-004/J.A/3/1994 antara lain adalah dengan melibatkan tokoh masyarakat atau tokoh publik lainnya, menggunakan modus atau arena yang canggih, menimbulkan banyak korban, berkaitan dengan keamanan negara, perkara yang diduga penanganannya telah terjadi penyimpangan oleh aparat penegak hukum, serta perkara lain yang mendapat perhatian khusus pimpinan.
Sementara untuk tindak pidana khusus diatur dalam Surat Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/J.A/4/1995 Tentang Pedoman Tuntutan Pidana. Dalam SEJA keluaran tahun 1995 ini ditetapkan tiga faktor dalam menentukan apakah suatu perkara tindak pidana khusus itu harus melalui Rentut atau tidak yakni didasarkan pada kriteria: jenis perbuatan, keadaan diri pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut.
Sebelum melangkah lebih jauh membicarakan tentang eksistensi Rentut, perlu sekilas uraian tentang surat(requisitoir) tuntutan . Surat tuntutan yang baik adalah surat tuntutan yang mengandung konstruksi hukum yang objektif, benar, dan jelas. Jelas dalam arti penggambarannya dan hubungan antara keduanya. Dari kejelasan bentukan peristiwa dan bentukan hukumnya, maka akan menjadi jelas pula kesimpulan hukum yang ditarik tentang terbukti atau tidaknya tindak pidana yang didakwakan, terdakwa dapat dipersalahkan atau tidak, serta apa terdakwa dapat memikul beban pertanggungjawaban pidana atau tidak dalam peristiwa yang terjadi. Kesimpulan yang benar dari sudut hukum yang didukung oleh doktrin hukum maupun ilmu sosial lainnya dan keadilan merupakan taruhan keprofesionalan dan kualitas seorang Jaksa Penuntut Umum.
Dari kesimpulan yang ditarik itulah jaksa penuntut umum mengajukan permintaan pada majelis hakim, baik mengenai kedudukan perkara itu dalam hubungannya dengan tindak pidana yang didakwakan maupun terhadap terdakwa sendiri mengenai bentuk pertanggungjawaban pidana yang dimohonkan.
Rentut, sebagaimana telah disinggung di atas, adalah singkatan dari rencana tuntutan jaksa. Sebelum membacakan tuntutan di pengadilan, Jaksa Penuntut Umum biasanya melaporkan dulu rencana atas tuntutan itu kepada atasannya. Untuk perkara tertentu yang mendapat perhatian masyarakat, rentut harus dilaporkan kepada Kejaksaan Agung. Sulitnya adalah menentukan mana perkara yang menarik perhatian masyarakat, karena ketiadaan tolok ukur yang jelas dan objektif.
Menurut Wakil Jaksa Agung, Basrief Arief,[7] berkenaan dengan alur Rentut, dalam prakteknya, rentut diawali dengan pemaparan pendapat dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), selaku pihak yang terjun langsung ke “lapangan“ sidang pengadilan sehingga mengetahui dinamika persidangan.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa secara berjenjang, Rentut mengalir terus hingga ke Jaksa Agung setelah melalui Seksi Bidang Teknis, untuk menentukan apakah itu tindak pidana umum atau khusus, ini ditentukan pada tingkat Kejaksaan Negeri atau kejaksaan Tinggi.
Dalam kaitannya dengan apa yang diuraikan di atas, Andi Hamzah mengkritik, rentut berjenjang semacam itu hanya dikenal di Indonesia. Pola semacam itu membuka peluang adanya intervensi atasan. Jaksa itu mestinya independen, tandas Guru Besar Universitas Trisakti Jakarta itu.[8]
Dari paparan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dengan adanya kebijakan rentut seperti itu, maka secara otomatis akan menambah panjang proses birokrasi yang harus dilalui oleh seorang JPU dalam menangani suatu perkara pidana. Konsekuensinya adalah akan berimplikasi pada terganggunya proses peradilan yang cepat, murah dan sederhana termasuk di dalamnya akan mengganggu proses persidangan di pengadilan.
Pasal 182 KUHAP memang tidak menyinggung adanya “kewajiban” penyampaian rentut kepada atasan JPU, hanya disebutkan, “Setelah pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut umum mengajukan tuntutan pidana”. Dari redaksi Pasal 182 KUHAP ini, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya prosedur Rentut merupakan kebijakan internal kejaksaan.
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, apabila sidang selalu ditunda akibat belum ada petunjuk rencana tuntutan (Rentut) dari Kejaksaan Negeri atau Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung, maka berdasarkan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di palembang pada tanggal 9 Oktober 2009 dengan tema, “Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Kesamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum”, maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Negeri atau melaporkan kepada Ketua Pengadilan Tinggi, yang selanjutnya melakukan koordinasi dengan Kejaksaan Tinggi.
Dari hasil Rakernas itu, disarankan pula agar Majelis Hakim meminta kepada Penuntut Umum atau Kejaksaan Negeri agar menyerahkan bukti tertulis (surat) bahwa penuntut umum atau Kejaksaan Negeri telah mengajukan Rentut kepada Kepala Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Agung. Apabila proses tersebut sudah dijalani dan ternyata Rentut tidak juga turun, maka perkara tersebut dinyatakan penuntutan tidak dapat diterima dalam bentuk penetapan.[9]
Apa yang diuraikan di atas, merupakan respon “keras” dari aparatur pengadilan dalam menghadapi berlarut-larutnya proses rentut yang justru telah mengganggu jalannya proses persidangan.
Mengingat masalah Rentut ini murni merupakan kebijakan internal Kejaksaan, sehingga mengundang untuk diperdebatkan. Kebijakan Rencana tututan menjadi praktek dalam proses penuntutan karena berbagai alasan, antara lain:
  1. Dalam banyak kasus, pertimbangan hukum oleh Jaksa dinilai kurang matang dan kurang comprehensive;
  2. Adanya centencing policy yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;
  3. Adanya asas dalam penuntutan, bahwa Jaksa dalam melakukan kekuasaan Negara di bidang penuntutan adalah satu dan tidak terpisahkan (lihat Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004)
  4. Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh Jaksa Penuntut Umum.[10]
Di samping alasan di atas, kritik terhadap eksistensi Rentut yang munculpun cukup banyak dan beragam, antara lain dikatakan bahwa:
  1. Jaksa menjadi tidak lagi merdeka (dependent) dalam menjalankan tugas dan fungsinya, karena tuntutan itulah yang merupakan puncak dari tugas Jaksa di persidangan sebelum hakim menjatuhkan vonis, yang justru penentuan tuntutannya bukan lagi di tangannya tetapi sudah diintervensi oleh pihak lain (atasan) yang mendapat dasar pembenaran secara legal, melalui Surat Edaran Jaksa Agung;
  2. Jaksa menjadi kurang bertanggung jawab, karena kewenangan tuntutan pidananya bukan lagi dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum yang menentukan;
  3. Tidak memberi kesempatan berkembangnya profesionalisme Jaksa.
Di samping apa yang telah diuraikan di atas, jika dilihat dari sisi kewenangan mempertimbangkan unsur yang memberatkan dan meringankan sesungguhnya justru ada pada hakim, sesuai Pasal 28 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bukan pada Penuntut Umum.sehingga kebijakan “rencana tuntutan” yang harus mendapat persetujuan kepala Kejaksaan Negeri (Kajari), kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati), atau untuk perkara-perkara tertentu bahkan sampai Jaksa Agung harus diakhiri. Sebab, dalam realitasnya lebih sering dijadikan tawar-menawar yang berimplikasi uang. Tuntutan tidak perlu mendapat persetujuan atasan karena merupakan wewenang penuh Jaksa Penuntut Umum yang menangani perkara tersebut. Dalam tataran realitas, sesungguhnya Jaksa Penuntut Umulah yang paling mengerti dan mengetahui dengan situasi dan kondisi yang sebenarnya selama proses persidangan.
Kebijakan internal Kejaksaan berupa “memohon restu” atau “kewajiban” mengajukan rencana tuntutan kepada atasan seperti diuraikan di atas, ini menggambarkan secara vulgar dan ketelanjangan kepada publik bahwa kejaksaan menganut system komando seperti layaknya di institusi kemiliteran. Di Negara manapun didunia ini, militer adalah menganut system komando dan untuk itu tidak ada celah bagi yang namanya demokrasi di tubuh militer, termasuk militer yang ada di Indonesia. Sehingga citra yang demikian ini dengan kebijakan prosedur rentut itu dipandang perlu untuk ditinjau dan dikaji ulang.
D. Penutup
Kebijakan internal Kejaksaan berupa Rentut menggambarkan ketidakpercayaan atasan kepada bawahan. Jika hal ini tetap berlangsung, maka pada gilirannya nanti hal ini akan mengarah kepada system komando, yang justru akan membawa malapetaka bagi kehancuran penegakan hukum di Indonesia pada masa-masa yang akan datang.
E. Rekomendasi
Untuk lebih meningkatkan citra profesionalitas kejaksaan dalam melakukan penuntutan dalam proses peradilan pidana, maka sebaiknya lembaga rentut dihapuskan, sehingga masalah tuntutan pidana diberi kepercayaan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan. Dengan catatan lembaga Eksaminasi harus diperkuat. Eksaminasi yang dimaksud dalam hal ini adalah Lembaga Eksaminasi yang bersifat Eksternal bukan eksamin asi internal seperti yang selama ini ada di tubuh kejaksaan yang dipandang kurang objektif, karena bagaimana mungkin terjadi “jeruk makan jeruk”. Lembaga eksaminasi eksternal ini nantinya dibentuk secara permanen, yang bertugas untuk menguji dan menilai kinerja dari Jaksa Penuntut Umum tersebut, baik yang yang berkaitan dengan dakwaannya maupun dengan tuntutannya.

Daftar Rujukan
E Sasrodanukusumo, Tuntutan Pidana. Jakarta: Siliwangi,
“Memahami Rencana Tuntutan Kasus Pidana”, Tabloid Berita Mingguan, Modus Aceh Edisi 12 Tahun VII, Kamis 9 Juli 2009.
Harian Kompas tanggal 13 Nopember 2006, Kejagung Sudah Tetapkan 20 Tindak Pidana Harus Melalui Rentut !
Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di palembang pada tanggal 9 Oktober 2009 dengan tema, “Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Kesamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum”.
Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi Dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005. Cetakan Pertama.
Suhadibroto, Kualitas Aparat Kejaksaan Dalam Upaya Melaksanakan Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Pemantau Kejaksaan yang diselenggarakan di Jakarta oleh MAPPI FHUI, tanggal 28-30 Nopember 2004, yang diikuti oleh 25 lembaga-lembaga Pemantau Peradilan dari berbagai daerah di Indonesia.
Suhartomo, Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Cetakan Kedua
Yusril Ihza Mahendra, Keududukan Kejaksaan Dan Posisi Jaksa Agung Dalam Pemerintahan Presidensial Di Bawah UUD 1945, Makalah disajikan pada Seminar Nasional, “Pro Kontra Keabsahan Jaksa Agung”, yang diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Unissula pada tanggal 8 Agustus 2010.


[1] Makalah ini dibuat atas permintaan Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berdasarkan Surat Nomor 311/KHN/HP/IP/X/2010 tertanggal 18 Oktober 2010 dalam rangka Seminar Pengkajian Hukum Nasional, dengan tema “Evaluasi Terhadap Reformasi Lembaga Penegak Hukum”, dengan sub tema yang dimintakan adalah “Evaluasi Reformasi Kejaksaan”.
[2] Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), dan saat ini sedang menyelesaikan studi lanjut Program Doktor (Ph. D) di University Utara Malaysia (UUM), Kedah, malaysia. Email: zul_akrial@yahoo.co.id
[3] Yusril Ihza Mahendra, Keududukan Kejaksaan Dan Posisi Jaksa Agung Dalam Pemerintahan Presidensial Di Bawah UUD 1945, Makalah disajikan pada Seminar Nasional, “Pro Kontra Keabsahan Jaksa Agung”, yang diselenggarakan Oleh Fakultas Hukum Unissula pada tanggal 8 Agustus 2010.
[4] E Sasrodanukusumo, Tuntutan Pidana. Jakarta: Siliwangi, halaman 236.
[5] Lihat Pasal 197 Ayat (1) dan (2) KUHAP !
[6] “Memahami Rencana Tuntutan Kasus Pidana”, Tabloid Berita Mingguan, Modus Aceh Edisi 12 Tahun VII, Kamis 9 Juli 2009.
[7] Lihat Harian Kompas tanggal 13 Nopember 2006, Kejagung Sudah Tetapkan 20 Tindak Pidana Harus Melalui Rentut !
[9] Lihat Hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan Jajaran Pengadilan Tingkat Banding dari 4 (empat) Peradilan seluruh Indonesia di palembang pada tanggal 9 Oktober 2009 dengan tema, “Meningkatkan Kualitas Pengadilan dengan Kesamaan Persepsi Dalam Penerapan Hukum” butir 1 !
[10] Suhadibroto, Kualitas Aparat Kejaksaan Dalam Upaya Melaksanakan Penegakan Hukum, Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Pemantau Kejaksaan yang diselenggarakan di Jakarta oleh MAPPI FHUI, tanggal 28-30 Nopember 2004, yang diikuti oleh 25 lembaga-lembaga Pemantau Peradilan dari berbagai daerah di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj