Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 10 November 2010

KEDUDUKAN PIDANA DALAM SISTEM HUKUM




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
 
Masalah pokok dalam hukum pidana adalah berkenaan dengan 3 (tiga) hal, yaitu: masalah perbuatan pidana, masalah kesalahan/pertanggungjawaban pidana serta masalah pidana dan pemidanaan.
Dalam kaitan dengan ketiga masalah pokok hukum pidana di atas, ilmu hukum pidana yang dikembangkan dewasa ini lebih banyak membicarakan masalah-masalah dogmatik hukum pidana dari pada sanksi pidana. pembahasan tentang sanksi pidana yang bersifat memperkokoh norma hukum pidana belum banyak dilakukan, sehingga pembahasan seluruh isi hukum pidana dirasakan masih belum serasi.
Lebih lanjut mengenai hal di atas, J.E. Sahetapy, dalam disertasinya
yang telah diterbitkan menjadi buku, juga pernah menyatakan, bahwa dalam tahun-tahun lima puluhan, permasalahan pidana pada umumnya kurang sekali mendapat perhatian yang sebenarnya justru sangat menarik, mengasyikkan, dan penting sekali. Bidang termaksud tetap merupakan suatu “terra incognita” yang dianggap gersang.
Dalam kaitan ini, Andi Hamzah berpendapat bahwa, pidana dan pemidanaan bukan hanya berkaitan erat dengan hukum pidana, tetapi bahkan menjadi masalah inti hukum pidana.
Namun masalah pidana dan pemidanaan, menurut Bambang Poernomo , dianggap merupakan suatu bidang yang tak banyak diketahui, sehingga pembahasan tentang ilmu hukum pidana yang menyoroti pidana pada umumnya dan pidana penjara pada khususnya kurang mendapat perhatian. Selama ini yang banyak dipersoalkan dalam ilmu hukum pidana terletak di bidang asas-asas hukum pidana yang menyangkut perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana, yang pada dasarnya terletak di luar bidang pidana dan sistem pemidanaan.
Dalam tataran sosiologis dan praktek penegakan hukum pidana, untuk istilah pidana juga sering dipakai istilah “hukuman”. Istilah yang akan didiskursuskan ini sebenarnya merupakan terjemahan yang berasal dari istilah Belanda, yaitu straf. KUHP yang merupakan singkatan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, juga merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu WvS (Wetboek van Strafrecht). Apabila straf diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “hukuman”, maka terjemahan WvS ke dalam bahasa Indonesia seharusnya bukan KUHP, melainkan adalah KUHH (Kitab Undang-Undang Hukum Hukuman).
Selain dari sudut peristilahan, seperti diuraikan di atas, dari sudut cakupan dari istilah itupun juga terdapat perbedaan. Cakupan stilah hukuman lebih luas dari pada cakupan istilah pidana. Istilah hukuman dapat digunakan dalam banyak bidang, seperti bidang hukum perdata, bidang hukum administrasi, bidang hukum perburuhan dan bahkan juga di bidang pendidikanpun juga sering digunakan istilah hukuman. Sebagai ilustrasi penggunaan istilah hukuman di bidang pindidikan: pada saat seorang guru menyuruh muridnya untuk berdiri di depan kelas karena tak bisa menjawab pertanyaan atau karena tidak mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah); atau dengan cara memukul sang murid dengan lidi, semua itu merupakan hukuman, tidak pernah digunakan istilah pidana. Dengan demikian, hukuman merupakan istilah yang bersifat general, sedangkan pidana merupakan istilah yang spesifik, yaitu khusus di gunakan dalam bidang hukum pidana. Namun demikian, dari sudut praktek penegakan hukum pidana, tidak mempunyai arti yang signifikan untuk diperdebatkan dalam penggunaan antara istilah pidana dan hukuman, akan tetapi dalam tataran dunia akdemis, terutama dalam rangka konsistensi, maka pembedaan istilah tersebut perlu dan penting untuk diperhatikan.
Secara harfiah, pidana artinya adalah sebuah nestapa atau penderitaan, sedangkan secara yuridis, mengutip pendapat Roeslan Saleh, pidana artinya adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik itu.
Bertolak dari pengertian pidana di atas, maka dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur atau ciri-ciri pidana adalah:
  1. pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;
  2. pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);
  3. pidana itu dikenakan kepada subyek hukum yang telah melakukan perbuatan pidana (yang dapat dipertanggungjawabkan).
Pidana sebagai sebuah nestapa atau penderitaan, maka objek atau sasaran pengenaannya dalam hal ini ditujukan kepada:
  1. ditujukan terhadap jiwa, seperti pidana mati;
  2. ditujukan terhadap badan, seperti pidana cambuk, cap bakar dan sebagainya;
  3. ditujukan terhadap kemerdekaan atau kebebasan, seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana pembuangan. Terdapat anggapan bahwa pidana penjara/kurungan merupakan bagian dari pidana badan, ini adalah suatu pandangan yang keliru. Pidana penjara atau kurungan pada hakekatnya adalah merupakan pengekangan kemerdekaan atau kebebasan bergerak. Jadi objek atau sasaran pengenaan pidana dalam hal ini adalah ditujukan pada kemerdekaan atau kebebasan dari seorang terpidana;
  4. ditujukan terhadap harta benda, seperti pidana denda.
Mengingat pidana merupakan suatu penderitaan yang tidak menyenangkan, karena memang hukum pidana memberikan sanksi yang bengis dan sangat memperkuat berlakunya norma-norma hukum yang telah ada, tetapi tidak mengadakan norma yang baru, maka atas dasar inilah oleh van Kant menyebut bahwa hukum pidana sesungguhnya adalah hukum sanksi.
Sehubungan dengan sifat pidana yang memberi akibat pada penderitaan atau hal-hal yang tidak menyenangkan, maka itulah sebabnya pidana diposisikan sebagai ultimum remedium.
Posisi pidana sebagai ultimum remedium artinya adalah bahwa sanksi pidana merupakan “senjata” atau upaya terakhir setelah upaya-upaya lain gagal dalam menanggulangi suatu perbuatan.
Posisi pidana sebagai ultimum remedium seperti diuraikan di atas, dapat dijelaskan dengan penguraian sebuah ilustrasi sebagai berikut: “dalam hal terjadinya sebuah gelombang unjuk rasa dengan jumlah pengunjuk rasa mencapai ribuan orang, biasanya akan terjadi dan akan mengarah pada tindakan-tindakan anarkhis atau akan bersifat bringas. Dalam menghadapi situasi seperti ini, pihak keamanan (aparat kepolisian), pada tahap pertama akan melakukan upaya persuasif. Jika masih bringas, mungkin langkah berikutnya aparat kepolisian akan berteriak, bubar…..bubar……jika situasi semakin mengarah kepada tindakan anarkhis, pihak keamanan akan menyemprotkan air dari tengki pemadam kebakaran ke arah demonstran. Lebih lanjut, jika masih tetap bringas, dengan menyemprotkan gas air mata. Jika tidak dihiraukan juga, maka perlu dilakukan upaya yang keras yaitu dengan menggunakan pentung atau senjata api.
Dari uraian di atas, maka penggunaan senjata api atau pentung dalam hal ini adalah berkedudukan sebagai ultimum remedium, yaitu sebagai “senjata” terakhir setelah upaya-upaya lain gagal dalam mengendalikan massa. Jadi penggunaan senjata api atau pentung bukan sebagai senjata pertama dan utama (primum remedium), melainkan adalah sebagai senjata terakhir (ultimum remedium)
Demikian halnya dengan posisi sanksi pidana juga berkedudukan sebagai ultimum remedium dalam pengertian apabila upaya-upaya atau usaha-usaha lain gagal dalam mencegah suatu perbuatan yang tidak dikehendaki. Upaya-upaya lain yang dimaksud dalam hal ini, bisa dengan menggunakan sanksi perdata, sanksi administratif atau bahkan sanksi sosial. Apabila semua sanksi-sanksi ini tidak mempan, maka alternatif terakhir adalah dengan menggunakan sanksi pidana, yaitu dengan melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan tersebut.
Kriminalisasi adalah proses penetapan suatu perbuatan sebagai atau menjadi perbuatan pidana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya peraturan perundang-undangan dimana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi yang berupa pidana tertentu. Dengan demikian terbentuklah peraturan hukum pidana yang siap untuk diterapkan oleh aparat penegak hukum: Polisi, Jaksa dan Hakim.
Namun sayang sekali, menurut hemat penulis, dimana hampir seluruh produk perundang-undangan yang dihasilkan oleh DPR-RI, DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota, semua memuat bab tersendiri yang berjudul Bab Sanksi Pidana. Dengan adanya bab sanksi pidana seperti ini, maka otomatis telah terjadi kriminalisasi perbuatan yang tadinya bukan perbuatan pidana menjadi perbuatan pidana. Sepertinya kalau tidak memuat bab sanksi pidana, suatu produk peraturan perundang-undangan, baik Undang-Undang maupun Peraturan Daerah tersebut, terasa “hambar”, padahal sejatinya, pemberian “bumbu pidana” adalah sebagai alternatif terakhir setelah upaya-upaya lain gagal untuk mencegah suatu perbuatan yang tidak dikehendaki tersebut.
Melihat praktek legislatif dalam pembuatan peraturan perundang-undangan yang ada selama ini, baik dalam bentuk Undang-Undang maupun Peraturan Daerah (Propinsi, Kabupaten/Kota) ada kecenderungan untuk menempatkan dan mencantumkan posisi pidana sebagai primum remedium bukan lagi sebagai ultimum remedium. Kecenderungan seperti ini mungkin ada kekhawatiran dalam mindset pembuat peraturan perundang-undangan bahwa kalau tidak dicantumkan sanksi pidana dalam setiap produk perundang-undangannya, dikhawatirkan tidak akan dipatuhi oleh masyarakat, atau dengan perkataan lain akan menjadikan perundang-undangan itu seperti macan ompong, tak bergigi.
Sebenarnya ada banyak kendala yang akan muncul manakala kedudukan pidana, seperti diuraikan di atas, ditempatkan dalam posisinya sebagai primum remedium. Satu diantaranya adalah berkaitan dengan masalah aparatur penegak hukum. Secara kuantitas jumlah atau rasio aparat kepolisian kita adalah 1 : 1.200 sementara jumlah aparat yang akan menegakan Perda yaitu Satpol PP tentu akan beragam sekali kuantitasnya diantara Pemerintah Propinsi yang satu dengan yang lain, demikian juga dengan personil Satpol PP untuk tingkat Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Namun semua itu, secara normatif akan bermuara kepada aparat kepolisian yang mengkoordinir proses penyidikannya.
Apa yang diuraikan di atas, baru dilihat dari sudut kuantitas aparat penegak hukumnya, dan jika dilihat dari sisi kualitas tentu akan sangat beragam sekali kemampuan yang bisa diandalkan terhadap personil, baik personil kepolisian maupun personil Satpol PP yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan. Salah satu tolok ukur untuk menguji tingkat kualitas dalam hal ini bisa dilihat dari tingkat pendidikan yang dimiliki oleh masing-masing personil.
Mengutip pendapat Barda Nawawi Arief, secara lebih lengkap dapat diuraikan tentang mengapa pidana harus diposisikan sebagai ultimum remedium, karena Hukum Pidana juga mempunyai batas-batas kemampuan sebagai sarana/saluran kebijakan kriminal, yaitu dikarenakan oleh hal-hal sebagai berikut:
  1. Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada di luar jangkauan hukum pidana;
  2. Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks sifatnya;
  3. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan “pengobatan simptomatik” bukan “pengobatan kausatif,” artinya Penggunaan hukum pidana menurut Sudarto, merupakan penanggulangan sesuatu gejala dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.
  4. Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif/paradoksial dan mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negatif;
  5. Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat struktural/fungsional;
  6. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;
  7. Bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”;
Proses kriminalisasi yang berlangsung secara terus menerus tanpa melakukan monitoring dan evaluasi secara komprehensif berkenaan dengan pengaruh dan dampak dari produk perundang-undangan itu terhadap keseluruhan system penyelenggaraan hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, mengakibatkan timbulnya:
  1. Krisis kelebihan kriminalisasi. Hal ini berkenaan dengan banyaknya atau melimpahnya jumlah kejahatan dan perbuatan-perbuatan yang dikriminalisasikan, dan
  2. Krisis kelampauan batas kemampuan hukum pidana. Hal ini berkenaan dengan usaha/upaya pengendalian perbuatan dengan tidak menggunakan sanksi yang efektif.

Daftar Rujukan
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia”, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 1993.
Bambang Pornomo, Pelaksanaan Pidana Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta: Liberty, 1996.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.
J.E. Sahetapy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta: CV Rajawali, 1982.
Machrup Elrick (Ed), Kapita Selekta Hukum, Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji, S.H., Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1987.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 1992.
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Sudarto, Hukum Dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj