Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Kamis, 25 Juni 2009

ANTARA GELANDANGAN DAN PREMAN




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru, Indonesia)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Sebelum membicarakan tentang siapakah sesungguhnya manusia preman itu, maka sosok gelandangan agaknya perlu dikupas sebagai bahan perbandingan dalam rangka membedakan dan mencari titik pertalian antara konsep preman, yang beberapa waktu lalu pernah berada dalam keadaan kucar-kair dengan konsep gelandangan. Adakah pertalian dan hubungan antara kedua konsep tersebut ?
Mengutip pendapat Ny. Saparinah Sadli[1] dalam makalahnya yang berjudul “Perilaku Gelandangan dan Penanggulangannya”, menyebutkan jika kita ingin mendeskripsikan mereka yang tergolong gelandangan, maka mereka adalah anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi “serba tidak”. Karena biasanya mereka tidak mempunyai Kartu Tanda Penduduk (KTP), tidak mempunyai tempat tinggal yang pasti dan tetap, tidak dapat merencanakan hari depan anak-anaknya maupun hari depan dirinya sendiri, tidak mempunyai penghasilan yang tetap, tidak mengetahui apa yang akan dimakan pada hari itu. Daftar “tidak” ini bisa diperpanjang lagi dengan menambahkan, mereka biasanya tidak berpendidikan formal, tidak selalu terjangkau oleh pelayanan sosial yang ada, tidak dapat memberikan bimbingan kepada anak-anak yang mereka lahirkan, sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh seorang anak sebagai makhluk yang masih dalam usia perkembangan tertentu, dan lain sebagainya.
Mereka itu pada umumnya adalah merupakan masyarakat pendatang, dari desa ke kota, yang kurang mempunyai keterampilan, sehingga menyebabkan mereka tidak mendapat pekerjaan yang memadai di kota.
Alhasil, mereka mengerjakan pekerjaan apa saja asal bisa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Diantara mereka ada yang mengumpulkan barang bekas, mengumpulkan puntung rokok, mengemis dan “pekerjaan lainnya”. Penghasilan mereka rendah dan penuh ketidakpastian.
Terjadinya arus urbanisasi ini, antara lain disebabkan oleh pola konsumsi penduduk yang mulai bergeser. Pola hidup konsumtif menunjukkan gejala meningkat. Sedangkan upah (pendapatan) di sektor pertanian relatif tidak bertambah. Agaknya keadaan inilah yang mendorong sebagian dari penduduk desa, terutama dari golongan usia muda, memalingkan perhatiannya dan mencoba mengadu nasib ke daerah perkotaan. Hal ini ditopang lagi oleh daya tarik upah yang tinggi, kesempatan kerja yang luas di kota, terutama di sektor informal, kehidupan kota yang menggiurkan, kemajuan transportasi, kemajuan komunikasi telah menarik mereka untuk hilir mudik dan selanjutnya berketetapan hati untuk pindah ke kota. Pertumbuhan penduduk kota menjadi pesat dan menjadikan kota sebagai tumpuan harapan.
Dengan semakin pesatnya pertumbuhan kota ini, telah menimbulkan masalah tersendiri di daerah perkotaan, diantaranya adalah terjadinya pembengkakan pengangguran, dengan berbagai dampak negatif sebagai konsekuensi logis dari masalah tersebut.
Namun di sisi lain ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa suatu kota akan berakhir tanpa tambahan warga baru. Begitulah kota senantiasa memperagakan daya tarik, yang menyebabkan orang berdatangan, baik atas kemauan sendiri maupun karena tak lagi mampu bertahan hidup di desa. Dalam proses ini muncullah gejala gelandangan, yaitu ketika kota tak mampu lagi menyerap semua pendatang baru dalam perikehidupan yang layak, baik di sektor formal maupun informal.
Agaknya dari uraian di atas itulah oleh pembentuk KUHP lalu menjadikan perbuatan pergelandangan sebagai perbuatan pidana, yaitu seperti dirumuskan dalam ketentuan Pasal 505 KUHP, yang menetapkan: “Barang siapa bergelandangan tanpa mata pencaharian, diancam karena melakukan pergelandangan dengan pidana kurungan maksimum tiga bulan”.
Menurut hemat penulis, ketentuan ini lebih merupakan suatu upaya preventif dari kemungkinan terjadinya dampak negatif sebagai akibat dari kehidupan gelandangan itu. Namun sayangnya ketentuan ini sudah tidak pernah diterapkan lagi (?).
Pelarangan terhadap kehidupan pergelandangan adalah dikarenakan akan mengarah kepada perbuatan meminta-minta makan dan/atau meminta menginap kepada seseorang, yang dapat dipandang melanggar ketertiban umum. Dan jika tidak berhasil meminta seperti itu, maka ia akan makan apa adanya dan betah tinggal beratapkan langit. Karenanya yang dimaksud dengan bergelandangan di sini adalah seseorang yang berkelana, berpetualang, “mengukur jalan” tanpa mempunyai bekal dan malas bekerja. Dan kalaupun ada sedikit keinginan untuk bekerja biasanya memilih-milih sehingga akhirnya tidak mendapat pekerjaan[2].
Dari keadaan hidup seperti itu dapat menjadi alat picu untuk terjadinya kerawanan sosial dalam masyarakat. Karena tekanan ekonomi maka orang tidak segan-segan untuk menggunakan rumusan H3 (halal, haram, hantam) tanpa peduli dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat.
Itulah sebabnya menurut penulis, bahwa ketentuan Pasal 505 KUHP ini adalah tepat dan perlu dipertahankan dalam KUHP Nasional yang akan datang, artinya hidup bergelandangan, seperti diuraikan di atas, itu perlu dilarang dalam KUHP, yakni bukan saja karena sifatnya yang dapat mengganggu ketentraman atau yang dapat membahayakan kepentingan-kepentingan hukum penduduk pada umumnya, akan tetapi juga karena cara hidup sehari-hari dari orang-orang gelandangan yang seringkali menimbulkan pemandangan yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan norma-norma kepatutan itu dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat sekitarnya.
Konsep Preman
Dari uraian tentang konsep gelandangan di atas, maka yang perlu dipertanyakan adalah samakah pengertian gelandangan dengan preman yang belakangan ini kembali “digaruk” oleh petugas keamanan ?
Kalau jawabannya sama dan sebangun, maka untuk merazia preman seharusnya bukan saja dilakukan pada malam hari, melainkan justru harus dilakukan di siang hari, karena pada siang hari itulah justru para preman (gelandangan-red) banyak dan kentara berkeliaran. Dan mereka bukan saja bergelandangan yang hanya sekedar melanggar ketentuan Pasal 505 KUHP, tapi lebih dari itu mereka telah melakukan dan melanggar ketentuan hukum pidana yang lain, entah itu melakukan pemerasan, perampokan, penodongan dan lain sebagainya.
Atau kemungkinan lain, untuk malam hari mereka disebut preman sehingga perlu dilibas dan dibasmi, sedangkan pada siang hari mereka disebut gelandangan, yang untuk sementara waktu dibiarkan begitu saja. Andaikata ini alasannya, sesungguhnya kita harus angkat tangan untuk terus beradu argumentasi. Kita hanya bisa pasrah dan menyerah dalam kebingungan.
Andaikata secara tegas disebutkan bahwa konsep preman “tidak sama” dengan konsep gelandangan, maka tentunya harus ada perumusan dan unsur-unsur yang jelas seperti halnya dengan makna gelandangan. Sehingga mereka-mereka yang telah memenuhi unsur-unsur ketentuan Pasal 505 KUHP, maka mereka itu digolongkan sebagai gelandangan, dan berarti mereka telah melanggar Pasal KUHP tersebut, konsekuensinya, mereka harus dilibas oleh aparat Kepolisian, sebagai penyidik tunggal terhadap semua perbuatan pidana yang diatur dalam KUHP.
Lalu apa yang menjadi rumusan dan unsur-unsur untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu adalah preman ? Apakah mereka yang berambut gondrong dan berwajah seram itu adalah preman sehingga oleh karenanya mereka perlu dilibas ?[3]
Potongan rambut dan potongan wajah yang seram sangat tidak beralasan untuk diidentikan dengan atau sebagai penjahat. Kalau ini yang terjadi, maka itu adalah sebuah penghinaan terhadap wajah yang buruk dan seram.
Barangkali adalah tepat perumpamaan berikut ini. Bahwa sebelum mendirikan sebuah rumah, maka kita harus tahu dulu potongan dan model rumah yang akan dikehendaki, setelah itu baru dilaksanakan pembangunannya. Demikian juga halnya dengan program “penggarukan” manusia preman. Sebelum “menggaruk” dan menangkap preman, kita harus tahu dulu apa yang menjadi ciri-ciri dan unsur-unsur untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu adalah preman, setelah ada perumusan yang jelas, barulah turun ke lapangan untuk melibas mereka-mereka yang termasuk dan memenuhi unsur-unsur tersebut. Jadi jelas dan pasti. Kalau tidak demikian, yang terjadi justru hanya sebuah arogansi kekuasaan dalam kesewenang-wenangan.


[1] Ny Saparinah Sadli, “Perilaku Gelandangan Dan Penanggulangannya,” Gelandangan Pandangan Ilmuwan Sosial, Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Dan Sosial, 1984, hal. 124.
[2] S.R Sianturi, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Penjelasannya, Jakarta: Ahaem Petehaem, 1989, hal. 339.
[3] Sebagai perbandingan, baca artikel penulis dalam blog ini dengan judul, Preman: Wajah Yang Seram ?

3 komentar:

  1. hemat saya preman dan gelandangan identik karena aktifitas hidupnya dimulai di jalanan, bedanya preman tidak memiliki pekerjaan kalaupun ada pekerjaan pastilah pekerjaan yang berbau kejahatan, hasil pekerjaan tersebut biasanya di habiskan dengan pesta miras atau narkoba. gelandangan hemat saya walaupun hidup dan mencari sesuap nasi di jalanan dengan cara meminta2 tapi dilakukan dengan bermartabat, mereka tidak mencari uang dengan mencuri ataupun korupsi. karena mereka malu kalau makan dari hasil curian ataupun korupsi, jelas di sisi ini mereka lebih bermartabat ketimbang manusia kebanyakan. menurut saya lagi ada sisi positif dari preman dan gelandagan ini mereka adalah kritik sosial terhadap berhasil tidaknya sebuah pemerintahan. siapa sih yang mau hidupnya tidak jelas arahnya?, karena tiap orang berhak atas penghidupan yang layak. Pasal 27 (2) UUD 1945 menegaskan "tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan". dan kalau mereka ini fakir miskin pun adalah merupakan tugas negara untuk memeliharanya (pasal 34 UUD 1945). hemat saya mereka bukanlah penjahat atau tukang bikin onar, mungkin Negaralah yang menciptakan mereka menjadi seperti itu. mereka adalah orang-orang yang termarginalkan oleh pembangunan.

    BalasHapus
  2. Artikel yang sangat menarik, pak.
    Preman dan gelandangan bisa dipersamakan apabila preman itu tergolong ke dalam bagian preman kelas bawah.
    Menurut hemat kami, preman dapat dibagi dalam 3 (tiga) kelompok besar, yaitu:
    1. Preman kelas bawah
    2. Preman kelas menengah
    3. Preman kelas atas
    Bila dijelaskan, tentunya akan mengambang sesuai klasifikasi yang ada.
    Bila ditinjau dari klasifikasi preman; tingkat menengah dan atas. Perilaku preman adalah anggota masyarakat yang hidup dalam kondisi “serba berani”. Karena biasanya mereka berani untuk gertak sana-gertak sini, sangat berani untuk berbuat dan bertanggungjawab, berani dijadikan “kambing hitam”, total berjuang walau menentang norma dan hukum yang berlaku.

    Tetapi tentunya, harus dilakukan penelitian lebih lanjut apakah memang demikian konsepsi preman, pak.
    Menjadi preman adalah suatu harapan, dilabeli preman adalah sebuah kegelisahan intelektual.

    BalasHapus
  3. Yth. Doe-08......
    Ya memang butuh penelitian dengan menggunakan data empiris, dan apa yang saya tulis ini hanya berangkat dari asumsi.....dan memang kalau dilabeli preman adalah sebuah kegelisahan intelektual.....

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj