Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 19 Juni 2009

PUNGLI




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Pernah suatu kali terjadi beberapa angkot salah satu trayek di Kota Pekanbaru, tidak beroperasi selama satu hari, sebagai wujud protes terhadap pungutan liar (pungli) yang semakin meresahkan. Mereka meneruskan aksi berdemonstrasi ke Polresta (sekarang Poltabes) Pekanbaru.
Di dalam demonstrasi itu, para sopir oplet/angkot menyampaikan keluhannya serta minta perlindungan kepada pihak Polresta (Poltabes) tentang merebaknya para preman yang melakukan pemerasan terhadap mereka. Dengan pernyataan sopir tersebut, secara tidak langsung sebenarnya mereka mengharapkan kepada aparat kepolisian untuk menindak setiap bentuk aksi pemerasan.
Para sopir angkot itu menegaskan, jika pungli itu tidak dapat ditertibkan, maka mereka akan bertindak sendiri untuk memberantas para preman yang memeras itu.
Berita ini pantas untuk disikapi secara serius. Ketidakseriusan akan menyababkan tindakan main hakim sendiri dari para sopir terhadap preman pemeras. Jika ini terjadi maka tidak mustahil akan dapat melahirkan "tawuran" dan "perang" horizontal antar penduduk secara meluas.
Sebelum memberikan analisis lebih lanjut, perlu diketahui terlebih dahulu konsep pungli itu sendiri, kemudian akar sejarah dan prospeknya pada masa mendatang.
Istilah Pungli
Perbuatan-perbuatan yang disebut sebagai perbuatan pungli sebenarnya merupakan suatu gejala sosial yang telah ada di Indonesia, sejak Indonesia masih dalam masa penjajahan dan bahkan jauh sebelum itu. Namun penamaan perbuatan itu sebagai perbuatan pungli, secara nasional baru diperkenalkan pada bulan September 1977, yaitu saat Kaskopkamtib yang bertindak selaku Kepala Operasi Tertib bersama Menpan dengan gencar melancarkan Operasi Tertib (OPSTIB), yang sasaran utamanya adalah pungli.
Istilah pungli sebenarnya hanyalah merupakan istilah politik yang kemudian dipopulerkan lebih lanjut oleh dunia jurnalis. Di dalam dunia hukum (pidana), istilah ini tidak dijumpai. Belum pernah kita mendengar adanya tindak pidana pungli atau delik pungli. Jika kita bersikeras menggunakan istilah pungli, maka secara hukum (pidana), pelaku pungli tidak dapat dihukum. Karena memang tidak ada ketentuan hukumnya yang mengatur secara tegas perbuatan pungli tersebut.
Secara kebetulan, istilah pungli ini juga terdapat dalam kamus bahasa China. Li artinya keuntungan dan Pung artinya persembahan, jadi Pungli diucapkan Puuuung Li, artinya adalah mempersembahkan keuntungan.
Bertolak dari uraian di atas, penulis merasa perlu untuk meluruskan penggunaan istilah pungli tersebut. Pungli merupakan kependekan dari "Pungutan Liar". Semua bentuk pungutan yang tidak resmi, yang tidak mempunyai landasan hukum, maka tindakan pungutan tersebut dinamakan sebagai pungutan liar (pungli). Dalam bekerjanya, pelaku pungli selalu diikuti dengan tindakan kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap korban.
Pungli = Pemerasan
Jika kita sepakat dengan konsep pungli seperti diuraikan di atas, maka sesungguhnya pungli itu tidak lain adalah merupakan pemerasan. pemerasan dalam dunia hukum pidana merupakan suatu perbuatan yang dilarang, sehingga termasuk dalam kategori tindak pidana/delik.
Rumusan tindak pidana pemerasan dituangkan dalam Pasal 368 KUHP yang secara tegas menetapkan, "Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, supaya memberikan barang sesuatu, yang seluruh atau sebagiannya adalah kepunyaan orang itu atau kepunyaan orang lain; atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun".
Polisi dan Aksi Pemerasan
Kembali kepada persoalan demonstrasi yang dilakukan oleh para sopir oplet di depan Polresta Pekanbaru. Satu hal yang jelas adalah, bahwa sasaran aksi demonstrasi yang ditujukan kepada Polresta Pekanbaru, merupakan suatu tindakan yang tepat dan benar dari para sopir oplet tersebut. Sebab, para sopir oplet mengalami tindak kejahatan, dan penanganan masalah kejahatan ini merupakan tugas dan kewajiban dari aparat kepolisian sehingga wajar aksi demonstrasi itu diarahkan ke polresta.
Pertanyaan yang lebih menarik untuk dikedepankan sehubungan dengan aksi ini adalah, mengapa harus ada demonstrasi ? Jawaban singkatnya barangkali adalah, bahwa para sopir oplet telah menjadi korban kejahatan pemerasan yang dilakukan oleh para preman. Maka oleh sebab itu adalah wajar mereka mengadukan nasibnya kepada pihak kepolisian, karena pihak kepolisianlah yang berwenang menangani masalah kejahatan. Tapi mengapa harus dengan menggelar aksi unjuk rasa secara beramai-ramai kalau hanya sekedar menyampaikan keluhan ?
Ada banyak alasan yang dapat dikedepankan untuk memberikan analisis terhadap persoalan di atas. Pertama, sistem intelijen dari pihak kepolisian tidak bekerja secara optimal. Kalau kinerja intelijennya bekerja dengan baik, penulis yakin setiap gejala kejahatan telah dapat diketahui sehingga dapat dilakukan antisipasi dini agar kejahatan itu tidak sampai terjadi.
Bagaimana kita dapat mengatakan intelijen polisi bekerja dengan baik, kalau segerombolan orang secara beramai-ramai mengadukan nasibnya yang setiap hari menjadi korban tindak kejahatan ? Kalau hanya satu atau dua orang menjadi korban yang luput dari pengamatan polisi, masih bisa ditolerir karena memang jumlah polisi dengan jumlah penduduk sangat tidak sebanding (1:1200). Tapi yang sekarang terjadi adalah, ada sekelompok manusia yang setiap hari menjadi korban kejahatan dan nasib mereka tidak terpantau oleh aparat kepolisian, suatu hal yang perlu disesali dan diprotes.
Kedua, polisi mengetahui aksi pemerasan yang dilakukan terhadap para sopir oplet, akan tetapi memilih sikap tidak ambil peduli atau pura-pura tidak tahu. Ketidakpedulian dan sikap kepura-puraan ini mungkin dikarenakan adanya jalinan kolusi antara pihak polisi dengan preman pemeras.
Apa yang diuraikan di atas sangat mungkin terjadi. Karena kita sulit mengatakan dan membuktikannya bahwa sebenarnya polisi mengetahui tindakan pemerasan yang terjadi, tapi bagaimana kita membuktikan bahwa polisi telah bersikap tidak ambil peduli atas kejahatan tersebut. Ditambah lagi tidak adanya sanksi yang tegas terhadap personil polisi yang menghindar melakukan "pengusutan" terhadap suatu tindak pidana yang terjadi itu, sehingga dia boleh saja "cuek".
Tidak ada lembaga pengawasan yang melakukan kontrol terhadap kinerja polisi seperti diuraikan di atas. Ini merupakan suatu kelemahan dalam bekerjanya sistem kepolisian. Oleh karena polisi melaksanakan tugas-tugas di bidang publik, seharusnya ada lembaga kontrol yang independen dan mempunyai kekuatan putusan yang mengikat. Untuk dapat masuknya lembaga ini ke dalam mekanisme kepolisian, tentu saja diperlukan sistem open managemen terlebih dahulu.
Jika kemungkinan kedua ini dapat dibuktikan, maka sesungguhnya personil polisi yang mengetahui adanya aksi pemerasan akan tetapi dia memilih sikap cuek, tidak ambil peduli atau pura-pura tidak tahu, maka polisi tersebut sesungguhnya dapat dikatakan telah melakukan kejahatan, baik kejahatan jabatan maupun kejahatan hukum pidana. Dalam bidang hukum pidana, polisi tersebut paling tidak akan terkena delik penyertaan. Tapi lagi-lagi kita terbentur pada masalah pembuktian, namun bukan tidak mustahil hal itu dapat dibuktikan pada masa yang akan datang seiring dengan bergulirnya arus reformasi di segala bidang kehdupan.


[1] Penulis adalah dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

1 komentar:

  1. pungli memang banyak terjadi, baru2 ini terjadi pemerasan terhadap seorng pemuda d dpan mall ska, tidak haya itu pemuda tersebut jg megalami kekerasan, padahal d sana terdapat pos polisi....,

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj