Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 06 April 2009

CITRA POLISI




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Kesan atau citra masyarakat terhadap Kepolisian, khususnya petugas Polisi, hampir di semua negara tetap masih belum membaik. Keadaan ini, nampaknya akan selamanya terus demikian. Sekalipun upaya pihak Kepolisian untuk memperbaiki citra negatif terus ditingkatkan, namun upaya tersebut tetap tidak akan mengakibatkan citra terhadap Polri menjadi positif. Antara citra negatif tentang Polri dan upaya memperbaiki citra dimaksud, layaknya sebagai dua garis sejajar yang tidak pernah bertemu. Betapapun berhasilnya Polri menangkal dan menanggulangi kejahatan dalam rangka memelihara Kamtibmas, tetap citra negatif tidak akan pernah punah[1].
Mengapa semua itu terjadi ? Hal ini disebabkan karena pertama, Polisilah petugas yang terdekat dan terdepan dengan kejahatan di masyarakat. Selain masyarakat, Polisi merupakan pihak pertama yang akan menerima laporan tentang kejahatan atau mengetahui terjadinya suatu kejahatan. Faktor kedua, berkenaan dengan kedudukan, peran dan tugas serta tanggung jawab pihak Kepolisian, khususnya petugas Polisi berada di tengah-tengah diantara pelaku kejahatan (sebagai individu atau kelompok)di satu pihak, dan masyarakat (non kriminal) di lain pihak. Kedudukan demikian, tidaklah menguntungkan bagi tugas-tugas dan tanggung jawab yang diemban oleh Polisi. Kedudukan demikian sangat rawan, kegagalan menanggulangi kejahatan akan merupakan sasaran kritik dan celaan masyarakat, sedangkan keberhasilan dalam menanggulangi kejahatan merupakan acaman serius (baik fisik maupun psikis) terhadap Polisi atau keluarganya.
Faktor ketiga, kecanggihan perkembangan teknologi selain memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat, juga telah terbukti merupakan prakondisi bagi peningkatan modus operandi kejahatan yang berkembang di masyarakat. Dalam kenyataannya, sering kecepatan pertumbuhan teknologi yang meningkatkan kecanggihan modus operandi kejahatan, belum dapat diikuti dengan memadai oleh pihak Kepolisian, baik peningkatan di bidang “software”“hardware”. Kecanggihan di bidang “software” di sini menyangkut segi kualitas “the man behind the gun”, sedangkan di bidang “hardware” dimaksudkan adalah prasarana dan sarana fisik Kepolisian. maupun di bidang
Terdapat sinyalemen, bahwa masalah yang dihadapi oleh Kepolisian kita masih berkutat dengan persoalan biaya penyidikan. Jadi, boro-boro kita berbicara masalah “software” dan “hardware” untuk biaya penyidikan saja, kepolisian kita masih kelimpungan.
Dalam kaitan ini yang perlu dikedepankan sehubungan dengan citra Polisi adalah, bahwa bagi kebanyakan anggota masyarakat, Polisi itu simbol ancaman, karena Polisi bertugas menegakkan tata tertib, akan membuat masyarakat, terutama mereka yang terbiasa bersikap atau berprilaku tidak tertib, gampang menjadi takut terhadap Polisi.
Masyarakat umumnya mengidentifikasi pekerjaan Polisi sebagai pengejar kejahatan. Karenanya, tidak seorangpun dari warga masyarakat yang suka “berhubungan” dengan Polisi. Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama lantaran mereka takut dianggap sebagai pelaku kejahatan. Dan Kedua, karena mereka memang pelaku kejahatan.
Persepsi demikian, merupakan salah satu kendala pembentukan sinerji Polisi dan masyarakat. Apalagi ketika kebanyakan warga masyarakat menilai Polisi sebagai alat Negara/Pemerintah bukan alat rakyat.
Persepsi masyarakat akan keberadaan aparat Kepolisian seperti itu, menimbulkan penilaian awam, bahwa Polisi lebih berorientasi kepada kepentingan pemerintah (birokrasi negara), ketimbang kepentingan rakyat. Padahal tugas pokoknya adalah menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (aparat kamtibmas)[2]. Dan bukan pertahanan keamaman negara (aparat Hankam), seperti yang diemban oleh aparat TNI.
Konsekuensi Polri sebagai aparat Kamtibmas adalah, bahwa simbol profesional aparat Kepolisian kita seharusnya juga mencerminkan simbol-simbol sebagai aparat Kamtibmas, bukan lagi menggunakan simbol-simbol yang bernuansa militerisme.
Tuntutan masyarakat untuk menceraikan Polri dari militer (TNI) mulai ditanggapi pada era reformasi. Dan bersamaan dengan hari Bhyangkara 1 Juli 2000 yang baru lalu, secara resmi Polri “bercerai” dengan lembaga Dephankam untuk selanjutnya berada langsung di bawah lembaga Kepresidenan yang membawahi Polri, dalam hal ini adalah Presiden sebagai kepala negara, bukan Presiden sebagai kepala pemerintahan (eksekutif).
Jika kedudukan Presiden sebagai kepala pemerintahan yang membawahi Polri, maka dalam menjalankan tugasnya, Polri akan mengalami konflik yang cukup signifikan. Polisi tidak akan bisa netral ketika berhadapan dengan Gubernur, Bupati, Camat serta aparat pemerintah yang lain yang terlibat kasus pidana. Sebab semua aparatur yang disebutkan itu, merupakan aparat pemerintah. Inilah kesulitan yang akan dialami oleh Polisi ditempatkan di bawah kendali Presiden sebagai kepala Pemerintahan.

[1] Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung: PT Eresco, 1992, hal. 107 dan seterusnya !
[2] Tentang tugas Polisi yang demikian ini, baca lebih lanjut, Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998, hal. 1 dan seterusnya !

4 komentar:

  1. Pak..........



    artikelnya TOP BGT deh...........



    good luck !!!

    BalasHapus
  2. DINA.....................:

    artikel nya bagus, menarik, dan saya dapat memahami tentang kerancuan yang ada di kepolisisan,

    good job..........
    good life.............

    BalasHapus
  3. DINA......

    pak, artikel bagus,menarik sebagai bahan bacaan yg bagus membuka wawasan saya...

    good job,,

    BalasHapus
  4. pak,artikel nya bagus,menarik bagi saya

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj