Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Sabtu, 20 Juni 2009

PENGAKUAN DALAM PROSES PERADILAN PIDANA




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Pada waktu menghadapi sangkaan atau tuduhan pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana, entah itu tuduhan pencurian, pembunuhan, pemerkosaan dan lai sebagainya, tersangka/terdakwa berhadapan dengan ”raksasa” penegak hukum, mulai dari penyidik (Polri), Jaksa Penuntut Umum sampai dengan majelis hakim dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Dengan gagah dan perkasa, mereka menghadapi tersangka/terdakwa sendirian, mereka membawakan Pasal-pasal peraturan perundang-undangan, kaedah-kaedah hukum dan sebagainya, yang seringkali tidak difahami oleh tersangka/terdakwa. Tersangka lalu bingung dan bengong.


Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa kedudukan tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana adalah sosok yang lemah, mengingat bahwa yang bersangkutan dalam hal ini menghadapi dan berhadapan dengan sosok yang lebih tegar dan perkasa, yakni negara melalui aparatur penegak hukumnya.
Dari keadaan tersebut melahirkan suatu gagasan bahwa terhadap mereka yang berkedudukan sebagai tertuduh (tersangka-red) yang lemah itu perlu mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih pembela/pengacara. Disinilah letak pentingnya posisi pembela dalam peradilan pidana, disamping dalam rangka ikut menjunjung tinggi Hak Asasi Tersangka (sebagai manusia) dari kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum pada saat melakukan pemeriksaan, juga dalam rangka memenuhi tuntutan tujuan dari proses peradilan pidana (KUHAP) itu sendiri, yaitu ”untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, dengan cara menerapkan ketentuan acara pidana secara jujur dan benar...”
Namun untuk daerah-daerah yang tingkat perekonomiannya dan tingkat kesadaran hukum dari anggota masyarakatnya masih rendah, jasa pengacara untuk daerah-daerah tersebut seringkali tidak termanfaatkan. Sehingga kontrol dalam proses pemeriksaan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum (khususnya pada tahap penyidikan yang dilakukan oleh polisi) terhadap tersangka menjadi tidak ada, maka konsekuensinya kemungkinan untuk terjadinya ”penyelundupan” dan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum akan besar sekali peluangnya.
Hal di atas berangkat dari sudut pandangan, bahwa dalam proses perkara pidana seakan-akan terjadinya suatu pertarungan antara tersangka dengan aparat penegak hukum, maka untuk itu menurut Van Bammelen, seperti dikutip oleh Erni Widhayanti (1998:34) garansi hak-hak asasi manusia harus diperkuat, karena kalau tidak, pertarungan akan timpang. Pemenuhan terhadap statemen dari Van Bammelen tersebut, salah satunya adalah lewat jasa pengacara disamping perumusan aturan-aturan hukum secara jelas.

Pengakuan tersangka
Adakah ketentuan hukum yang mengharuskan tersangka memberikan pengakuan? Dan adakah ”Pengakuan” itu berposisi dan diakui sebagai alat bukti ?
Untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka pada tahap penyidikan, seringkali diidentikan dengan pemaksaan dan pemukulan, artinya pengakuan sama dengan memukul tersangka.
Bahwa untuk kasus-kasus pemaksaan dan pemukulan oleh oknum polisi terhadap tersangka, seringkali menghiasi lembaran-lembaran media massa. Paling tidak berita-berita serupa itu gambaran gelap bagi sosok kepolisian. Media massa tidak akan memberitakan sesuatu kalau dengan berita itu akan menjadi bumerang bagi kestabilannya dan kelanjutan hidupnya.
Kembali kepada masalah pengkuan. ”Pengakuan” dalam proses peradilan pidana bukan merupakan alat bukti. Walaupun seribu kali pengakuan diberikan (diucapkan) oleh tersangka atas perbuatan pidana yang dituduhkan oleh polisi, hal itu bukanlah jaminan bahwa tersangka akan dihukum oleh hakim.
Mungkin seorang terdakwa mengakui kesalahan karena mendapat upah dari orang lain yang sebetulnya melakukan kejahatan, hal ini sulit diperhitungkan meskipun ia telah seratus kali mengucapkan pengakuan salah. Atau kemungkinan lain, bahwa pengakuan itu diberikan oleh tersangka sebagai akibat dari penyiksaan yang tidak tertahankan lagi.
Sulit untuk ditiru adalah putusan pengadilan negeri di Bonthain Sulawesi pada tahun 1928 memberikan putusan bebas bagi terdakwa yang mengakui terus terang melakukan pembunuhan berencana, karena tidak sesuai dengan keadaan rekonstruksi kejadian. Mungkin sekali perkara semacam ini adalah perkara bikinan (sebagai hasil perekayasaan dari pihak-pihak tertentu).
Berkenaan dengan masalah pemidanaan, ketentuan pasal 183 KUHAP menetapkan bahwa ”hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Berdasarkan ketentuan ini, hakim, sebelum menjatuhkan putusan pemidanaan, terikat pada keharusan pemenuhan dua syarat. Pertama harus terdapat sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Dua, berdasarkan alat bukti tersebut, hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah (baik kesalahan dalam bentuk kesengajaan maupun keapaan/kelalaian) melakukan perbuatan pidana (kejahatan) sebagaimana yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Menyangkut alat bukti yang sah, berdasarkan ketentuan pasal 184 KUHP menetapkan:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk, dan
e. Keterangan terdakwa.
Dari redaksi ketentuan tersebut ternyata tidak sedikitpun menyinggung adanya keharusan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka. Kalau dibandingkan dengan ketentuan hukum acara pidana yang lama, yaitu pasal 295 RIB dalam hal ini menetapkan 4 macam alat bukti, yaitu: keterangan saksi, surat, dan pengakuan tertuduh.
Namun seringkali yang digambarkan oleh kenyataan lapangan, tendensinya mengikuti aturan acara pidana yang lama, yang nyata-nyata tidak berlaku lagi, khususnya pada proses penyidikan yang agaknya menganggap penting mendapatkan pengakuan dari tersangka. Sebenarnya kalau kita mau berfikir secara rasional, kendatipun tersangka menyangkal, kalau ada buktinya lengkap, sesuai makna ketentuan pasal 183 KUHAP, dalam artian terdapat korelasi antara alat-alat bukti yang ada toh ia dapat dihukum.
Sebaliknya walaupun tersangka memberikan pengakuan, kalau antara alat-alat bukti yang diajukan tidak terdapat korelasi satu sama lain, saling bertentangan, maka konsekuensinya terdakwa akan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum.
Maka itulah sebabnya dengan diundangkannya KUHAP dalam Lembaran Negara tanggal 31 Desember 1981, sistem pembuktian dan alat bukti terjadi perobahan dan perombakan yang sangat mendasar, salah satunya adalah menyangkut alat bukti pengakuan yang tidak lagi berposisi sebagai alat bukti yang sah, dalam artian ada atau tidak adanya pengakuan dari tersangka bukan lagi merupakan hal yang penting dan tidak perlu dipersoalkan. Namun yang menjadi persoalan, seringkali pihak penyidik tidak mau menerima alibi sekaligus pembuktian alibi dari/oleh tersangka, sehingga konsekuensinya terjadi penolakan penandatanganan BAP (Berita AcaraPemeriksaan) penyidik oleh tersangka.
Persoalan lain timbul, bagaimana kalau tersangka tetap menolak menandatangani BAP penyidikan, haruskah tersangka tetap dipaksa, kalau perlu dipukul sampai babak belur, agar supaya ia menandatanganinya ? Kalau ya jawabannya, kejam kalilah aturan hukum itu. Tidak demikian halnya.
Perlu diingat bahwa aturan hukum pidana ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia melindungi kepentingan masyarakat, namun disisi lain ia sekaligus juga memperkosa hak-hak asasi manusia, mengekang kebebasan manusia. Seperti tindakan-tindakan penangkapan, penahanan, dan penghukuman, semuanya ini merupakan tindakan-tindakan pengekangan hak asasi manusia. Tetapi karena ada aturan hukumnya, sehingga perbuatan-perbuatan seperti itu menjadi benar dan tidak melanggar hukum.
Namun satu hal yang sering dilupakan, bahwa tindakan pemukulan, seperti aparat kepolisian yang memukul tersangka agar memberikan pengakuan, sangat tidak ada aturan hukumnya. Konsekuensinya, perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian seperti itu merupakan perbuatan melanggar hukum (berupa tindak pidana penganiayaan). Maka si polisi itu dapat diajukan dan diadukan sebagai tersangka karena melakukan perbuatan penganiayaan terhadap seseorang yang beradada bawah pengawasannya.
Agar lebih jelas, perlu dikutip aturan hukum yang berkenaan dengan hal di atas, bahwa aparat penyidik yaitu pejabat Polisi Negara Republik Indonesia karena kewajibannya mempunyai wewenang (Pasal 7 Ayat (1) KUHAP):
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tandapengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sangat jelas sekali aturan hukum yang mengatur tentang wewenang polisi dalam melakukan proses pemeriksaan terhadap tersangka. Tidak sedikitpun dari aturan hukum tersebut yang menyebutkan atau membenarkan bahwa polisi berwenang memukul tersangka, apalagi menembak mati tersangka. Sama sekali tidak ada.
Pada butir/huruf j di atas, yaitu mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, tidak dapat ditafsirkan sebagai peluang atau alasan pembenar bagi polisi untuk memukul tersangka, karena dari penjelasan pasal 5 Ayat (1) Angka 4 dijelaskan secara limitatif, bahwa yang dimaksud dengan ”tindakan lain” adalah tindakan dari penyidik untuk kepentingan penyidikan dengan syarat:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
d. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. menghormati hak asasi manusia.
Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa polisi tidak mempunyai wewenang sedikitpun untuk melakukan pemukulan terhadap tahanan atau tersangka yang berada di bawah pengawasan dan pengawalannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj