Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 03 April 2009

TERORISME




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Ada tiga istilah yang dapat dilahirkan dari judul di atas, yaitu istilah “teror”, “teroris” dan istilah “terorisme” itu sendiri. Secara tata bahasa, “teror” artinya adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian atau kekejaman oleh seseorang atau golongan. “Teroris” adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut. Sedangkan istilah “terorisme” itu sendiri mengandung arti penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai suatu tujuan.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, penulis akan melakukan ulasan terhadap konsep terorisme sebagai suatu tindak pidana dikaitkan dengan aturan hukum positif yang berlaku.
Indonesia sekarang ini telah mempunyai landasan hukum untuk tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yang mulai berlaku tanggal 18 Oktober 2002. Dan Perpu ini telah disahkan oleh DPR RI menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 ini, maka aparat penegak hukum di Indonesia telah mempunyai landasan legalitas yang kuat untuk melakukan tindakan terhadap perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori tindak pidana terorisme.
Ironisnya, usaha membuat satu kesepakatan definisi terorisme yang bisa menjadi salah satu butir deklarasi sidang umum PBB tanggal 14 – 15 September 2005 yang lalu, begitu alot. Para diplomat yang tergabung dalam tim perumus isu terorisme masih kesulitan menentukan definisi. Sehingga sampai saat ini, istilah “terorisme” itu sendiri belum terdapat definisi yang jelas dan objektif yang disepakati, baik secara nasional maupun internasional. “Jelas” berarti dipahami secara menyeluruh oleh masyarakat dunia. “Objektif”, berarti dipahami secara relatif sama oleh masyarakat dunia. Sehingga istilah terorisme sampai saat ini belum didefinisikan secara baku menjadi definisi yang dikamuskan secara yudisial. Demikian juga halnya di dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 pun juga tidak ditemui penjelasan yang kongkrit tentang apa yang dimaksud dengan terorisme itu.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 hanya merumuskan perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana terorisme, sementara pengertian terorisme itu sendiri tidak terdapat di dalam undang-undang tersebut.
Unsur Pokok Tindak Pidana Terorisme
Salah satu pasal pokok tentang tindak pidana terorisme, dirumuskan dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang selengkapnya berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (emapt) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.”
Istilah “setiap orang” dalam rumusan pasal di atas adalah orang perorangan, kelompok orang, baik sipil, militer maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi (Pasal 1 butir 2). “Setiap orang” disini adalah menunjukan kepada subyek hukum atau pelaku tindak pidana terorisme. Pelaku yang dapat melakukan tindak pidana terorisme dalam hal ini ada dua kemungkinan, orang dalam pengertian pribadi ataupun korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dari rumusan “pelaku” di atas, maka tindak pidana terorisme dapat saja dilakukan oleh hanya satu orang saja, atau kelompok orang (sebagai sebuah jaringan baik nasional maupun internasional) maupun oleh korporasi. Aturan dalam Pasal 1 butir 2 dalam hal ini adalah berfungsi untuk menepis anggapan bahwa tindak pidana terorisme selalu dilakukan oleh sebuah jaringan atau kelompok orang.
Unsur kedua dari redaksi pasal di atas adalah “menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan”. Dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap perbuatan penyelahagunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan pingsan atau tidak berdaya (Pasal 1 butir 4). Dari rumusan pengertian kekerasan ini ternyata kekerasan dalam tindak pidana terorisme dalam hal ini bisa dengan memakai sarana dan bisa juga tidak dengan memakai sarana, hanya dengan mengandalkan otot semata-mata.
Dengan sarana misalnya dengan menggunakan bom, senjata api ataupun senjata tajam. Namun sayang dalam pandangan sosiologis, ternyata setiap kali terjadi kejahatan dengan menggunakan sarana bom, selalu dikaitakan dengan konsep teroris. Padahal undang-undang sendiri tidak mengatakan bahwa setiap kejahatan dengan menggunakan sarana bom adalah teroris. Istilah bom sendiri tidak dijumpai dalam rumusan Pasal-Pasal undang-undang teroris, apalagi bom molotov.
Istilah molotov berasal dari bahasa Rusia, molotovo, yang artinya adalah cairan pembakar. Adapun unsur (bom) molotov itu adalah: botol, bensin dan sumbu kain, tidak menggunakan zat kimia sebagaimana lazimnya bahan-bahan untuk membuat bom dalam arti sesungguhnya. Sehingga kita seringkali terjebak dan terpengaruh dengan pandangan-pandangan masyarakat awam, lalu dengan serta merta mengkaitkan perbuatan dengan menggunakan bom molotov itu sama dengan terorisme.
Bom, apalagi bom molotov, bukanlah sebagai sebuah unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan suatu tindakan sebagai tindak pidana terorisme. Sama sekali tidak ada unsur bom dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.
Unsur penting dalam tindak pidana terorisme yang harus dibuktikan berikutnya adalah berkaitan dengan dua hal, yaitu objek penggunaan kekerasan dan dampak yang ditimbulkannya. Pasal 6 menentukan bahwa objek harus ditujukan pada “ tempat-tempat vital yang strategis” atau “lingkungan hidup” atau “fasilitas publik” atau fasilitas internasional”.
Sedangkan unsur penting kedua untuk dapat dikatakan suatu kejahatan sebagai kejahatan terorisme adalah, “menimbulkan teror atau rasa takut secara meluas”. Konsekuensinya adalah, walaupun bom diledakan pada lokasi fasilitas publik, tapi jika tidak menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas dalam kehidupan masyarakat, maka tindakan itu tidak dapat digolongkan ke dalam klasifikasi sebagai tindak pidana terorisme.
Bagaimana mengukur dampak yang menimbulkan susana teror atau rasa takut secara meluas itu ? Salah satu tolok ukur yang dapat digunakan adalah pada aktivitas ekonomi atau sosial. Apakah dengan terjadinya peledakan itu, aktivitas ekonomi atau kegiatan sosial masyarakat suatu wilayah menjadi “lesu” atau menurun atau terganggu ? jika jawabannya “ya” maka unsur menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas telah terpenuhi.
Jadi untuk dapat dikatakan suatu tindakan adalah tindak pidana terorisme, maka haruslah terpenuhi kedua unsur penting di atas secara kumulutaif. Salah satu unsur saja tidak terpenuhi, maka tindakan itu bukanlah tindak pidana terorisme.
Satu hal yang harus dan perlu diketahui adalah, bahwa tindak pidana terorisme, khususnya terhadap rumusan Pasal 6, adalah merupakan delik dolus/opzet, yaitu sebagai suatu tindakan kesengajaan bukan kealpaan, karena dengan tegas disebutkan, “setiap orang yang dengan sengaja….”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj