Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 03 April 2009

MASJID




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)


Belum lama berselang, pemuka-pemuka masyarakat di kampung penulis, yang terdiri dari unsur pemuda, kaum cerdik pandai, alim ulama dan penguasa desa, mengadakan musyawarah untuk suatu perombakan sebuah bangunan masjid. Sebagai suatu masyarakat yang masih berada dalam masa transisi tentu saja pelaksanaannya diadakan selaras dengan tingkat pemikiran dan peradaban kampung itu sendiri. Di samping itu, secara jelas juga terlihat dari pelaksanaan musyawarah itu sendiri yang digelar dalam posisi bersila beralaskan tikar rumput yang menunjukkan ciri khas suasana dan keadaan musyawarah di daerah perkampungan.
Setelah protokol membuka acara dan kemudian mempersilakan kepada kepala desa untuk memberikan penjelasan dan beberapa pengarahan kepada anggota musyawarah.
Dengan senyumnya yang khas dan sedikit gemetar diawal pembicaraannya, beliau berkata “Kita harus dan musti membangun untuk mengejar ketertinggalan kita dari desa lain, salah satu pembangunan yang saya maksudkan itu adalah pembangunan dalam rangka perombakan terhadap bangunan masjid tempat dimana kita duduk sekarang ini……coba lihat” ! Lanjut pak Kepdes dengan berapi-api, “desa-desa tetangga kita, semuanya sudah pada memperbesar masjidnya dan bahkan ada yang membangunnya tingkat dua, kenadatipun belum selesai yang penting mereka punya tekad dan semangat untuk itu dan sekarang saya mengajak kita semua untuk berupaya dan senantiasa mempunyai semangat untuk memperbesar masjid kita ini”.
Salah seorang dari anggota musyawarah, setelah forum tukar pendapat (diskusi) dibuka, menanggapi dari apa yang diuraikan oleh Bapak Kepala Desa sebelumnya.
“Bahwa untuk mengadakan perombakan terhadap masjid kita ini, kita musti berkorban, apakah itu korban biaya maupun korban tenaga. Masalah biaya secara swadaya saya sangat pesimis, dan kalau toh perombakan ini jadi dilakukan, maka mau tak mau kita harus banyak mengemis, sementara itu, hal lain yang juga memerlukan biaya masih sangat banyak, sehingga kalau biaya-biaya yang ada hanya difokuskan untuk perombakan masjid maka tentunya sektor lain akan menjadi terbengkalai…”
Tak kalah serunya pendapat yang dikemukakan oleh salah seorang dari golongan alim ulama, dan beliau ini kebetulan baru saja ba’da menunaikan ibadah haji, karena merasakan pendapat anak muda tadi mengarah kepada gagalnya rencana perombakan, lalu dengan bijak beliau memberikan alasan “Memang membangun itu kita perlu dan butuh pengorbanan, tapi masjid adalah merupakan salah satu tanda yang menunjukkan bahwa masyarakat desa kita adalah masyarakat Islam, sehingga adalah wajar kalau kita memberikan perhatian lebih dari yang lain, caranya yaaa… itu dengan mengadakan perombakan terhadap masjid kita ini supaya menjadi lebih besar dan megah, sehingga pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, menakala sanak famili kita pulang dari perantauan untuk berlebaran bersama di kampung halaman, tidak lagi berdesakan seperti yang kita alami belakangan ini”.
Hanya dengan berpikiran untuk dua hari raya itu, lalu sekian puluh juta fulus melayang, sementara hal-hal lain yang urgensi yang menyangkut kemanusiaan masih ternganga untuk dimintakan perhatian, patutkah itu ?
Entah beliau-beliau itu salah kaprah dengan istilah “pembangunan” yang barangkali semata-mata hanya dalam pengertian fisik, atau barangkali hanya ikut-ikutan mode, orang merehab awak juga ikut merehab tanpa dasar pengetahuan yang cukup, entahlah penulis juga tak tahu, yang jelas rencana itu hampir matang.
Adalah benar bahwa kualitas dan kuantitas itu sama-sama kita butuhkan dan sama pentingnya. Tapi dalam keadaan yang bagaimanakah kedudukan kedua hal tersebut adalah sama ? Sehingga untuk itulah kita perlu memilih dan memilah secara seksama dan bijaksana dalam rangka memberikan prioritas.
Lalu yang perlu dipertanyakan lebih lanjut adalah, sampai berapa shaf-kah atau lebih tepatnya lagi, berapa orang jemaahkah yang hadir pada tiap-tiap kali pelaksanaan shalat yang berhukum fardhu di masjid itu, sehingga perangkat desa sampai pada kesimpulan untuk membesarkan ruangan masjid ?
Sejak pertemuan itu, penulis sering bergumul dengan diri penulis sendiri perihal latar belakang perombakan tersebut. Padahal sehari semalam umat Islam hanya diwajibkan untuk menunaikan lima kali shalat fardhu, dan kalau penulis perhatikan pelaksanaan shalat di masjid tersebut, hanya farhu zohor, magrib dan isya yang agak menonjol jama’ahnya secara kuantitas, dan itupun mayoritasnya adalah dari golongan manula (manusia usia lanjut), dan penulis pikir hal yang demikian adalah wajar-wajar saja”, tak ada keistimewaan, karena kapan lagi waktunya mereka harus memperbanyak pengabdiannya kepada Allah SWT dengan umur yang sudah hampir senja itu. Pun kalau penulis tilik dari segi pelaksanaan shalat Jum’at dalam hal ini kurang lebih hanya berkisar antara empat sampai dengan enam shaf, ini berarti bahwa dari ruangan masjid yang ada masih dapat menampung untuk lima sampai dengan enam shaf lagi ke belakangnya, masih tersisa luas ruangan masjid yang belum dioptimalkan.
Sedangkan kalau latar belakang pemikiran perombakan itu dikarenakan penuh sesaknya jema’ah manakala pelaksanaan shalat idul fitri dan adha, bukankah hal ini dapat di atasi dengan melaksanakannya di lapangan terbuka, seperti di lapangan bola kaki, misalnya. Sebagaimana yang pernah juga dilaksanakan oleh Nabi besar Muhammad SAW.
Berkata Allamah Ibnu Al-Qaiyim, “biasanya Rasulullah SAW melakukan sembahyang dua hari raya (hari raya idul fitri dan haji) pada tempat yang dinamakan “Mushalla” yaitu nama tempat di dekat pintu gerbang kota Madinah di sebelah Timur kota, di sana sekarang menjadi tempat perhentian kendaraan orang haji yang hendak ke Madinah dan tidak pernah beliau sembahyang hari raya di masjid, hanya satu kali yaitu ketika mereka kehujanan”.[1]
Megah dan besarnya suatu bangunan masjid bukanlah merupakan kriteria yang menentukan untuk dapat disebut bahwa jema’ahnya juga mempunyai prestasi ibadah yang tinggi lagi megah sebagaimana dengan masjidnya. Karena kuantitas tidak selalu menunjukkan kualitas.
Bukankah akan menjadi lucu dan senjang dengan masjid yang begitu bagus dan megah semantara jema’ah yang hadir hanya secuil. Sebagai suatu masjid yang masih cukup memadai untuk menampung jema’ah dalam perbandingannya dengan jumlah penduduk yang ada toh akan dilakukan perombakan, pertanda apakah ini ? Lagi ikut trendy barang kali.


[1] H. Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Jakarta: Attahiriyah, 1976, hal. 134.

2 komentar:

  1. betul pak !

    tp,,
    ada bner ny jg lho warga tuw

    sLaen bs mnmpung jmaah yg bnyk
    paz hr rya,

    X j dgn direhab ny msjd,,
    jmaah ber+ paz shlt frdhu

    Lgyn,,
    msjd indh kn jd mtvsi jg tuk ibdh,
    ada semangat baru lh

    toh jg gag ada slh ny bkin msjd indh
    walo pn jmaah ny sdkt

    memper"cantik" rmh Allah

    BalasHapus
  2. >>>> BATMAN <<<<6 Juni 2009 pukul 20.21

    Menurut BATMAN itu adalah suatu pemikiran yang salah; pemikiran yang induvidualistis, dimana hanya karena seseorang merasa "malu" mesjidnya lebih kecil, lebih jelek dari mesjid yang lain sehingga menggorbankan tenaga dan materi jemaah yang lain hanya untuk menghilangkan dan menebus rasa "malu"nya saja.

    Memang, mesjid menandakan bahwa masyrakat sekitar ada dan banyak yang beragama Islam. tetapi kemegahan dan kebesaran mesjid tidak akan menandakan kemegahan dan kebesaran jemaah mesjid tersebut.

    Kalau mesjid tidak punya "uang kas" yang cukup, selagi masih bisa menampung dan masih bisa mengatasi masalah kecil dan "jelak"nya mesjid tersebut alagkah baiknya kalau mesjid tidak direhab. karena banyak sisi negatifnya. tetapi kalau memang perlu kali dilakukan renovasi dan uang kas nya cukup untuk membiayai rehab tersebut tanpa memberi beban yang "berarti" pada jemaah silakan saja.

    Salam dari BATMAN

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj