Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 06 April 2009

Perdamaian Dalam Hukum Pidana




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Tulisan ini diilhami oleh adanya perdamaian yang terjadi dalam kasus Tanjung Priok antara pelaku dengan para korban yaitu masyarakat Tanjung Priok. Kasus ini sendiri terjadi sekitar tahun 1980-an yang merupakan tragedi nasional dan bahkan internasional yang cukup menghebohkan ketika itu. Korban yang gugur dalam tragedi berdarah ini ada sekitar ratusan orang.
Pada era Orde Baru, kasus ini tidak pernah diungkap ke permukaan. Dan ketika zaman berubah ke era reformasi, korban kasus Tanjung Priok baru mulai berani “bernyanyi”, menuntut kasus yang telah sekian tahun berlalu ini supaya diusut dan diadili di Pengadilan.

Dalam rangka pengusutan, kuburan para korban Tanjung Priok inipun digali dan selanjutnya jasad dan tulang belulangnya diteliti di laboratorium forensik. Para saksi dipanggil untuk memberikan kesaksian. Mingu berganti bulan dan bulanpun berubah menjadi tahun, kasus ini tak juga kunjung selesai. Sementara itu, kasus lain yang berskala nasionalpun semakin meruyak jumlahnya dan kualitasnyapun juga semakin beragam, sehingga kasus Tanjung Priok inipun kembali tertutup oleh tragedi-tragedi nasional yang anyar tersebut.
Singkat cerita, berdasarkan berita yang disiarkan oleh media massa, baik cetak maupun elektronik beberapa waktu yang lalu, bahwa warga masyarakat Tanjung Priok yang menjadi korban pada tragedi berdarah itu, telah bersepakat untuk melakukan perdamaian dengan pelaku. Kehendak ini disampaikan oleh salah seorang diantara mereka, yaitu Dewi (?). Akhirnya, bertempat di salah satu ruangan di sebuah gedung di Jakarta, terjadilah perdamaian antara kedua belah pihak.
Sehubungan dengan uraian di atas, ada yang menarik untuk dicermati dari peristiwa perdamaian ini. Pertama, dari peristiwa perdamaian ini hampir tidak ada komentar atau tanggapan dari para pakar dari berbagai disiplin ilmu, baik pakar dalam bidang yuridis maupun bidang sosiologis. Kedua, adakah pengaturan lembaga perdamaian ini dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya dalam lingkup hukum pidana ? Untuk menjawab permasalahan ini, penulis mencoba menganalisis dari dua bentuk metode berfikir/pendekatan.

Dua Metode Berfikir 
Apa yang melatarbelakangi sikap para pakar yang hampir semuanya diam dan bungkam dalam menyikapi peritiwa perdamaian tersebut ? Adakah makna diam dalam konteks ini berarti membenarkan atau menyetujui proses perdamaian dalam bidang hukum pidana ? Dan adakah lembaga perdamaian ini diakui keberadaannya dalam hukum pidana ? Untuk memecahkan persoalan apakah lembaga perdamaian ini diakui dalam praktek peradilan hukum pidana, menurut hemat penulis ada dua metode berfikir yang saling bertolak belakang.
Pertama, metode berfikir yang yuridis formal. Bagi penganut metode ini akan berkata, bahwa hukum pidana adalah hukum publik. Konsekuensi dari sifat hukum pidana sebagai hukum publik adalah, bahwa pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana akan diselesaikan oleh aparat penegak hukum. Sebagai hukum publik, maka tidak diperkenankan untuk diselesaikan oleh kedua belah pihak saja, pihak korban dengan pihak pelaku.
Jika terjadi pembunuhan atau pencurian misalnya, maka pihak korban tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan pembalasan terhadap pelaku. Jika ini yang dilakukan oleh pihak korban, maka korban dapat dituduh telah melakukan tindakan main hakim sendiri (daad van eigenrichting), sehingga korban dapat dihukum karena telah melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.
Berlainan dengan sifat hukum pidana, dalam hukum perdata justru sebaliknya, jika terjadi perselisihan antara dua pihak, maka maka aturan hukum perdata secara tegas memperkenankan antara kedua belah pihak itu untuk melakukan perdamaian, dan malah dianjurkan untuk berdamai. Negara, dalam kasus perbuatan perdata tidak bisa mengintervensi atau mencampurinya. Negara baru ikut mencampuri apabila tidak terdapat kesepakatan damai diantara kedua belah pihak. Melalui gugatan ke Pengadilan, maka berarti negara telah ikut mencampuri kasus kedua belah pihak.
Tapi sebaliknya, oleh karena pembunuhan ini termasuk dalam ruang lingkup hukum pidana, maka proses penyelesaiannya merupakan tanggung jawab aparatur penegak hukum (polisi, jaksa dan hakim) untuk menanganinya, bukan diselesaikan oleh korban. Korban tidak punya kewenangan untuk menyelesaikannya secara pribadi.
Dengan demikian, para penganut metode berfikir yang yuridis formal ini, akan menolak keberadaan lembaga perdamaian dalam hukum pidana. karena menurut aliran ini, seluruh kasus pidana harus diajukan ke sidang pengadilan, tanpa kecuali.
Penganut metode berfikir yuridis formal ini memandang, bahwa hukum sama dengan Undang-Undang. Sehingga di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Hukum adalah aturan-aturan yang tertulis, dan yang tidak tertulis bukanlah hukum namanya. Jika demikian pandangan aliran ini, maka ada pertanyaan yang menarik untuk diajukan, yaitu: mengapa tidak langsung saja disebut “fakultas Undang-Undang”, mengapa dalam tataran normatif-empiris disebut “fakultas hukum” ? Ada apa sebenarnya ini ?
Kedua, metode berfikir yang yuridis materiil. Para penganut aliran ini memandang, bahwa hukum tidak identik dengan hanya sebatas Undang-Undang saja. Di luar peraturan perundang-undangan masih banyak hukum. Makna hukum bagi penganut aliran ini adalah, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Al Qur'an dan Hadist, menurut aliran ini, adalah merupakan sumber hukum yang valid dan shahih di samping peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh negara.
Bagi penganut aliran yang pertama, bahwa yang penting dalam penegakan hukum adalah dalam rangka tercapainya kepastian hukum. Sedangkan sebaliknya, penganut aliran kedua, yang akan dicapai melalui proses penegakan hukum adalah keadilan.
Bertolak dari sudut pandang keadilan dalam kaitannya dengan lembaga perdamaian, maka persoalan yang menarik untuk dikedepankan adalah: Apakah hanya lembaga pengadilan sajakah yang bisa menegakan keadilan. Atau dengan kata lain, apakah memang lembaga pengadilan telah diberi hak untuk memonopoli penegakan keadilan ? Apakah di pelosok desa yang berada nun jauh disana tidak ada keadilan ? Apakah di Kantor Gubernur tidak ada penegakan keadilan ? Apakah di kampus tidak ada keadilan ? Apakah lembaga adat yang ada di kampung-kampung tidak bisa menegakan keadilan, dan seterusnya ?
Menurut hemat penulis, keadilan itu ada dimana-mana, sebagaimana halnya dengan ketidakadilanpun juga ada dimana-mana. Sehingga konsekuensinya adalah, tidak ada satu lembagapun, termasuk lembaga pengadilan, yang dapat mengkalim “dirinya” sebagai satu-satunya yang berwenang dan memonopoli dalam penegakan keadilan. Kalau pernyataan ini dapat diterima, mengapa kita masih juga mensakralkan, “pengadilan sebagai benteng keadilan ?”. bukankah akan membuat kita menjadi semakin stress, jika dalam tataran praktek ternyata putusan-putusan yang menjadi produk pengadilan itu justru banyak yang tidak adil ?
Hakekat Lembaga Perdamaian
Perdamaian dalam hukum pidana artinya adalah, bahwa penyelesaian kasus kejahatan dilakukan di luar acara peradilan, yaitu dengan cara perdamaian antara kedua belah pihak, sama halnya seperti dalam kasus perdata sebagaimana yang dipaparkan di atas. Lembaga perdamaian ini secara yuridis formal tidak diakui dalam peraturan perundang-undangan hukum pidana. sehingga pelaksanaannya dipandang liar karena tidak mempunyai landasan hukum. Benarkah lembaga ini tidak mempunyai landasan hukum sehingga dipandang liar ?
Sebelum penulis mengemukakan alasan yuridis, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu landasan logikanya. Jika seseorang yang bernama Fulan melakukan pembunuhan terhadap seorang ibu. Lalu, atas kesepakatan yang tulus dan ikhlas dari pihak korban yang terdiri dari anak-anaknya dan saudara kandung si korban, memberi maaf kepada si pelaku, si Fulan tersebut. Apakah dengan tindakan permaafan (baca: perdamaian) ini, akan semakin menumbuh-suburkan perasaan dendam ataukah justru menyejukan suasana antara pelaku dan korban ? secara logika, tentu dengan perdamaian ini timbul suasana sejuk antara kedua belah pihak, ini berarti diantara kedua belah pihak telah tercapai suatu keadilan.
Kemudian, berkaitan dengan keadilan ini, jika kita perhatikan secara seksama pada setiap putusan pengadilan, selalu tercantum untaian kalimat yang berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tanpa kalimat ini, maka putusan pengadilan itu batal demi hukum, tidak sah. Persoalannya adalah, mengapa kepala/irah-irah putusan pengadilan itu tidak berbunyi, “Demi Keadilan Berdasarkan Hukum ?” Kalau kita berangkat dari cara berfikir yuridis materil, ternyata hukum itu tidak selamanya identik dengan keadilan. Kalau hukum itu identik dengan keadilan, seharusnyalah putusan pengadilan itu berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Hukum”.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bisakah kita menerima konsep perdamaian (ishlah) dalam hukum pidana kalau dengan ishlah ini dapat menimbulkan dan melahirkan rasa damai, sejuk dan rasa adil diantara para pihak ?
Jika semua kasus pidana harus diselesaikan melalui proses peradilan pidana, seperti yang dianut oleh aliran yang berpandangan yuridis formal, maka pertanyaannya adalah, apakah dengan adanya putusan pengadilan, lalu masalahnya selesai ? Atau dengan kata lain, apakah putusan pengadilan dapat menyelesaikan masalah ? Bukankah seringkali terjadi, bahwa putusan pengadilan itu bukannya menyelesaikan masalah tapi justru menimbulkan masalah. Mengapa ? Karena pandangan orang terhadap proses peradilan itu bukan masalah benar atau salah, tapi adalah berkaitan dengan masalah kalah dan menang.
Barangkali aparatur penegak hukum kita masih sulit menerima fikiran-fikiran yang berlandaskan pada metode berfikir yuridis materiil, sebab, pada umumnya aparat penegak hukum sudah terlanjur dan terbiasa berfikir bahwa yang dikatakan hukum itu adalah Undang-Undang, di luar Undang-Undang tidak ada hukum. Konsekuensinya adalah, bahwa setiap kali bertindak selalu saja mencari dasar hukumnya yaitu Undang-Undang Nomor berapa dan Pasal berapa yang mengaturnya.
Memang tak dapat disangkal, bahwa segala persoalan kehidupan kemasyarakatan sebaiknya diatur secara hitam putih dalam peraturan perundang-undangan, tertulis. Tapi perlu diingat, bahwa proses pembentukan peraturan perundang-undangan itu sendiri memakan waktu cukup lama. Sehingga dalam banyak hal, laju perkembangan masyarakat seringkali tidak terjangkau oleh materi peraturan perundang-undangan. Artinya, Undang-Undang seringkali tertinggal dibandingkan dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan sosial. Konsekuensinya adalah, apabila kita terlalu berfikir yuridis formal, maka yang terjadi adalah kepincangan-kepincangan dalam proses penegakan hukum.
Jika lembaga ishlah ini tidak diatur dalam Undang-Undang, tapi ia mampu menciptakan suasana keadilan diantara para pihak yang bersengketa, bisakah kita menerima kehadirannya tanpa landasan Pasal ? Masalah berani atau tidaknya kita menerima keberadaannya sangat tergantung pada pola berfikir. Jika kita sudah terbiasa dengan pola berfikir yang yuridis formal, maka secara apriori langsung menolaknya. Tapi apabila titik berat metode berfikir itu terletak pada yuridis materil, yang akan dicapai itu bukan hanya kepastian hukum, tapi juga rasa keadilan, maka kehadiran ishlah bisa diterima.

Ishlah Dalam Pelanggaran Lalu Lintas 
Lembaga Ishlah dalam hukum pidana ini secara diam-diam sebenarnya sering diterapkan oleh anggota masyarakat, terutama dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas . Dalam kasus ini seringkali terjadi perdamaian antara pihak penabrak dengan pihak korban (yang ditabrak). Perdamaian itu biasanya diikuti dengan pembayaran sejumlah uang oleh pihak penabrak kepada korban sebagai penggantian biaya penagobatan di rumah sakit. Kalau dengan kesepakatan ini, pihak korban telah mrasa adil sementara pihak pelaku sendiri dengan tulus ikhlas membayarkan sejumlah uang, tinggal lagi masalah watak Polri kita: jika Polri kita sangat kaku dan hanya berfikir yuridis formal, maka pihak penabrak tetap akan diajukan ke sidang pengadilan. Karena memang secara formal tidak ada ketentuan pengecualian, semua kasus pidana harus diselesaikan lewat proses peradilan, tidak peduli apakah si penabrak itu telah membayar sejumlah uang kepada korban atau tidak.
Dengan seringnya terjadi perdamaian dalam kasus kecelakaan lalu lintas, ini menunjukan bahwa sebenarnya masyarakat, secara sosiolagis, menghendaki adanya lembaga ADR (Alternative Dispute Resolution) dalam hukum pidana. Sampai saat ini, secara yuridis formal, tidak ada satupun kasus pidana yang dapat diselesai di luar jalur peradilan. Kalaupun ada, jumlah sedikit sekali. Singkat kata, semua kasus yang berbau pidana harus diselesai lewat peradilan pidana. Persoalannya adalah, mampukah pengadilan kita menegakan keadilan secara materil, bukan keadilan sebatas pengertian formal ?

Tugas Hakim 
 Mari kita coba menghitung personil hakim yang ada di tiap-tiap Pengadilan Negeri di Indonesia. Di setiap Pengadilan Negeri, jumlah hakim tidak lebih hanya dalam hitungan belasan orang, sementara tugasnya bukan hanya mengadili perkara pidana saja, tetapi juga mencakup perkara perdata.
Gambaran tugas hakim dalam mengadili perkara, pada waktu tertentu ia bertindak sebagai hakim anggota, dan di lain waktu berposisi sebagai hakim ketua pada hari yang sama, demikian seterusnya pada hari-hari berikutnya. Persoalannya, bisakah dia merekam proses persidangan secara baik pada sidang berikutnya terhadap suatu perkara dalam rangka memberikan keadilan yang materil kepada pencari keadilan yang datang padanya ? Ataukah hanya mengandalkan catatan-catan dari Panitera saja ? Ini baru tinjauan dari sudut kuantitas. Sedangkan dari sudut kualitas tentu saja akan sangat beragam antara kemampuan hakim yang satu dengan yang lain.
Atas dasar apa yang diuraikan di atas, penulis berpendapat, sudah saatnya pembentuk Peraturan Perundang-undangan merespon kenyataan-kenyataan lapangan yang menghendaki adanya ADR dalam perkara pidana. Walaupun tidak seluruh perkara pidana yang diberi peluang untuk diselesaikan secara ADR, namun terdapat indikasi terhadap tindak pidana-tindak pidana tertentu yang sekarang justru lebih banyak orientasi penyelesaiannya dilakukan secara damai, maka untuk hal-hal seperti inilah yang perlu direspon dan dirumuskan untuk diberikan landasan legalitas, sehingga tidak lagi dilakukan secara illegal seperti yang selama ini terjadi.

1 komentar:

  1. Berdasarkan tulisan bapak di atas, diketahui bahwa inisiatif penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan berasal dari masyarakat (pelaku dan korban), belum dan/atau tidak ada inisiatif dari pemerintah (dalam bentuk undang-undang maupun kebijakan).
    Menurut hemat bapak, apakah yang menjadi latar belakang terhadap pola pikir penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan sehingga menimbulkan kegelisahan intelektual serta perkara pidana apa sajakah yang dapat diselesaikan secara parate executie?

    BalasHapus

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj