Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Jumat, 03 April 2009

PENGADILAN, BENTENG KEADILAN ?




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
 (Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Proses peradilan pidana merupakan suatu bentuk ajang “pergulatan” antara manusia dengan manusia lain, yang dalam istilah Prof. Mr. Roeslan Saleh[1], disebut sebagai konfrontasi manusia dan manusia. Peluang untuk saling “bergulat” dan berkonfrontasi seperti itu, justru memang diakui dan mendapat jaminan dari ketentuan perundang-undangan. Persoalan apakah dalam pergulatan itu nantinya “dibumbui” dengan kebohongan atau kepalsuan yang dikemas sedemikian rupa lewat jasa pengacara misalnya, seperti dengan mengajukan alat bukti yang palsu atau memutar balikan fakta (distorsi), untuk tahap awal mungkin tidak akan terdeteksi, dan bahkan mungkin tetap tidak akan terungkap sampai putusan dijatuhkan.
Demikian pula sebaliknya, terhadap aparatur penegak hukum yang mempunyai kewenangan untuk menghukum terdakwa, apakah putusannya itu berlandaskan pada like or dislike, ataukah dengan cara memutarbalikan aturan-aturan hokum, arogansi kekuasaan seperti inpun juga sangat sulit dibuktikan.
Peluang untuk terjadinya keadaan-keadaan di atas, sungguh sangat terbuka lebar. Karena proses peradilan pidana itu adalah ibarat sebuah adegan permainan yang telah diatur sedemikian rupa tata caranya. Pemainnya tidak lain adalah manusia-manusia biasa, bukan malaikat. Maka, peluang penyimpangan yang dimaksud, kemungkinan besar dapat saja terjadi, bila berangkat dari sisi manusiawi dari para pemain yang punya rasional sekaligus emosional.
Pada suatu waktu, aparatur penegak hukum, seperti juga dengan terdakwa, mungkin rasionalnya akan lebih menonjol; dan di lain waktu mungkin pula emosionalnya yang lebih mendominasi dibandingkan rasionalnya.
Sulit Dibuktikan
Dalam proses peradilan pada umumnya, terdapat suatu adagium, bahwa setiap putusan hakim harus dianggap benar. Adagium ini didukung oleh bukti, bahwa hakim yang telah memberikan putusan terhadap suatu perkara yang ditanganinya, tidak pernah diajukan ke muka sidang pengadilan atas dasar kesewenang-wenangan misalnya.
Andaikata terdakwa tidak setuju dan tidak puas dengan putusan yang telah dijatuhkan itu, ia dapat mengajukan banding dan lalu kasasi, dan kemudian bilamana perlu mengajukan PK (Peninjauan Kembali/herziening) dan bukan dengan menggugat atau mengajukan hakim sebagai tersangka.
Dengan keadaan ini, maka sesungguhnya peluang untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan cukup besar, tanpa bisa kita menggugat dan mempermasalahkan hakim yang bersangkutan. Kita hanya bisa menerima semua itu dalam kepasrahan sambil melangkah untuk mengikuti “ritual” prosedur formal berikutnya yaitu banding, kasasi dan peninjauan kembali, dan seterusnya bilamana perlu juga mengajukan grasi kepada Presiden.
Konsekuensi dari semua itu, akan dapat melahirkan peradilan sesat, seperti yang pernah ditulis oleh Hermann Mostar dalam bukunya berjudul “Peradilan Sesat”[2]. Di dalamnya diuraikan berbagai faktor penyebab terjadinya peradilan sesat, salah satunya adalah sebagai akibat dari arogansi kekuasaan, seperti putusan berdasarkan pada like or dislike tersebut.
Untuk membuktikan telah terjadinya putusan yang didasarkan pada like or dislike kita dihadapkan dengan persoalan yang “maha” sulit. Terasa dalam bathin, tapi sungguh sangat sulit untuk dapat mengungkapkannya. Di samping sifatnya yang abstrak, sekaligus kita mendapat kesulitan dalam memenuhi bukti-bukti formal (alat bukti yang sah berdasarkan Undang-Undang), yang nota bene sifatnya lebih kongkrit dan rasional yang ditentukan dalam undang-undang. Bagaimana kita menghadirkan alat bukti untuk membuktikan bahwa hakim telah bertindak atau telah memutuskan berdasarkan like or dislike ?
Apa yang diuraikan terakhir inipun juga berangkat dari sisi manusiawi. Bahwa yang namanya keadilan itu erat kaitannya dengan hati nurani manusia. Suara hati tidak bisa dibohongi. Persoalan hati merupakan persoalan bathin, sehingga sifatnya adalah abstrak. Maka adalah wajar ketika jeritan bathin seperti diuraikan di atas, tidak bisa terakomodir dalam kehidupan hukum yang sifatnya yuridis formal.
Agaknya, jalan terakhir yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik tahin ini, adalah dengan mengedepankan sarana sumpah pocong. Tapi, lagi-lagi kita berhadapan dengan aturan formal yang kaku. Dalam lapangan hukum pidana, ternyata lembaga sumpah pocong ini tidak ada pengaturannya. Akibatnya bisa ditebak, bahwa lembaga sumpah pocong menjadi lembaga yang tidak punya makna dalam lapangan hukum pidana. Hal ini sebagai akibat dari pola pikir yang legalis positivist.
Maka dengan demikian, berbagai upaya hukum, baik upaya hukum biasa maupun luar biasa, senantiasa menjadi jalur andalan yang akan ditempuh oleh para pencari keadilan. Tak ada jalan lain. Akhirnya tumpukan berkas kasasi di MA (Mahkamah Agung) menjadi “menggunung” jumlahnya. Lalu, sehubungan dengan tumpukan perkara (baik perdata maupun pidana) yang mencapai ribuan jumlahnya itu, bisakah hakim MA memberikan putusan yang objektif, khususnya dalam menangani perkara pidana dengan hanya berpedomankan pada berkas-berkas perkara, tanpa memeriksa tersangka dan saksi secara langsung ? Wallahu’alam.
Maka degan demikian, proses peradilan pidana seperti ini menjadikan ia sebagai suatu bentuk permasalahan sosial, yang keberadaannya tidak akan pernah habis untuk dijadikan sebagai bahan diskusi, untuk dikecam, dikritik dan sebagainya, karena pergulatan ini menyentuh langsung pada hak-hak manusia yang paling mendasar[3].
Mencermati sisi-sisi manusiawi dari pengelola lembaga peradilan pidana, seperti personil polisi, aparat kejaksaan serta pejabat kehakiman, ternyata sama dan sebangun dengan manusia-manusia yang ada pada lembaga-lembaga sosial lain. Jika pada lembaga-lembaga sosial bisa terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalagunaan kekuasaan, maka keadaan yang sama inipun juga dapat terjadi pada lembaga-lembaga peradilan pidana.
Polisi dan jaksa adalah manusia biasa. Dalam dirinya ada sejuta rasa. Hal yang sama juga tidak berbeda dengan seorang hakim, sekalipun hakim yang ada di Mahkamah Agung. Mereka bisa korupsi, berkolusi dan juga bisa bertindak sewenang-wenang terhadap terdakwa yang diadilinya, sekalipun di sampingnya ada penasehat hukumnya.
Maka dengan demikian, agaknya yang membedakan lembaga yang satu dengan lembaga yang lain, tidak lebih hanyalah sebatas aturan-aturan formal yang mengatur masing-masing lembaga tersebut.
Untuk itu, adalah terlalu naif kalau kita mensakralkan lembaga pengadilan hanya karena melihat dan berpedomankan semata-mata pada aturan-aturan hukum formal yang mengatur lembaga tersebut. Adalah betul, aturan main pada pengadilan menyebutkan bahwa setiap putusan hakim harus diucapkan atas nama Tuhan, sehingga berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Tapi siapa yang dapat menjamin, bahwa putusan itu didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang objektif dan tidak memihak. Hakim manusia biasa, bukan malaikat.
Kalau kita mau jujur, mengapa kita tidak mensakralkan lembaga-lembaga sosial lain yang pada prinsipnya juga berfungsi sebagai benteng keadilan, khususnya terhadap urusan birokrasi kemasyarakatan, karena berdasarkan hukum formal. Bukankah semua aparatur negara kita, mulai dari lurah sampai Presiden, sebelum memangku jabatan, telah disumpah dengan untaian kalimat yang disusun sedemikian rupa idealnya itu ? Tapi, sekali lagi, siapa yang dapat menjamin bahwa mereka dalam menjalankan tugasnya tidak akan melanggar sumpah ? Kecuali mereka yang bertugas dengan iman, sekalipun tanpa harus melewati prosesi formalitas pengucapan sumpah. Di sini jaminan ada pada garis vertikal, bukan horizontal.
Oleh karena itu, lembaga pengadilan, sekali lagi, tidak berbeda dengan lembaga-lembaga sosial yang lain. Lembaga pengadilan bukanlah sebagai suatu lembaga yang suci dari dosa dan noda. Sehingga hanya akan menambah kekecewaan dan rasa frustasi yang berkepanjangan, jika lembaga pengadilan masih juga dipotret sebagai benteng keadilan.
Suatu hal agaknya perlu diketengahkan adalah, bahwa putusan pengadilan itu belum tentu akan menyelesaikan masalah[4]. Bahkan, sering kali dengan putusan itu malah menimbulkan ketegangan-ketegangan lain sebagai indikator adanya ketidakadilan. Sehingga dengan ini saja telah semakin memberikan gambaran kepada kita akan ketidakbenaran pernyataan bahwa pengadilan sebagai benteng keadilan.
Untuk mengantisipasi dampak negatif dari proses formal peradilan pidana seperti diuraikan di atas, para ahli sekarang sedang mengembangkan konsep ADR (alternative dispute resolution). Artinya, untuk menangani atau menyelesaikan suatu masalah dengan menggunakan lembaga dan aturan lain[5].
Boleh jadi, dengan menggali dari sumber hukum adat atau membentuk aturan dan lembaga tersendiri seperti lembaga arbitrase dan lain-lain. Konsekuensi dari pembentukan lembaga dan aturan baru ini, maka penggunaan lembaga peradilan ini secara berangsur-angsur fungsinya dapat diminimalisir dan mengarah kepada fungsi pengadilan yang ideal.
Daftar Rujukan
Erni Widhayanti. Hak-hak Tersangka/Terdakwa di Dalam KUHAP. Yogyakarta : Liberty, 1988. Cetakan ke-1.
Hermann Mostar. Peradilan Sesat. Jakarta: PT. Temprint, 1987. Cetakan ke-2.
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995. Cet. Ke-1.
Republika. “Polisi dan Teori Kejahatan”. Satjipto Rahardjo. 6 Agustus 1996.
Roeslan Saleh. Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan ke-1.


[1] Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983. Cetakan ke-1.
[2] Hermann Mostar, Peradilan Sesat, Jakarta: PT. Temprint, 1987. Cetakan ke-2.
[3] Untuk memperkaya tentang hal ini, baca: Sudikno Mertokusumo, Mewujudkan Peradilan Sebagai Benteng Terakhir Bagi Para Pencari Keadilan, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Tentang Kekuasaan Kehakiman Dan Sistem Peradilan Di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang tanggal 20 Nopember 1996 !
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat, Bandung: Alumni, 1984.
[5] Baca lebih lanjut, Ali Budiardjo dkk. (Editor), Reformasi Hukum Di Indonesia, khususnya Bab V tentang Penyelesaian Sengketa Alternatif. Hasil Studi Perkembangan Hukum – Proyek Bank Dunia, Jakarta: Cyberconsult, 1999 !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj