Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Beberapa tahun belakangan, Panglima ABRI (sekarang Panglima TNI), ketika Kepolisian masih bergabung dengan militer, pernah mengeluarkan instruksi kepada setiap jajaran bawahannya untuk menembak ditempat setiap pelaku kerusuhan dan penjarahan serta penjahat lainnya yang membahayakan masyarakat dan aparat.
Dari berbagai tanggapan dan pendapat terhadap kebijakan tersebut, baik dari kalangan praktisi, birokrasi maupun teoretisi pada umumnya menyambut baik dan mendukung tindakan aparat untuk melakukan tembak di tempat tersebut.
Aksi kerusuhan dan penjarahan merupakan tindakan-tindakan yang bersiat fisik, yang akibatnya dapat dilihat dan dirasakan seketika itu juga. Sehingga dari akibat-akibat tindakan tersebut sangat mencemaskan dan merugikan kehidupan masyarakat.
Pelaku-pelaku dari asksi tersebut, secara fisik materil jelas dilakukan oleh mereka-mereka yang mengandalkan otot dari pada otak. Tindakan-tindakan fisik tersebut bukan berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu rangkaian dari serentetan “program” sehingga setiap aksi akan mempunyai dalang yang berkedudukan sebagai pelaku fungsional. Hal ini juga disinyalir oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahwa aksi-aksi yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu mempunyai pelaku di balik layar/dalang.
Penulis berasumsi, bahwa pelaku fisik adalah mereka yang berasal dari kalangan powerless dan yang secara finansial tidak mampu, sedangkan pelaku fungsional adalah mereka yang berasal dari kalangan powerfull dan mempunyai kemampuan secara finansial.
Bertolak dari uraian di atas, kemanakah arah kebijakan tembak di tempat itu akan ditujukan, ke pelaku fungsional (dalangnya) ataukah ke pelaku fisik materil seperti diuraikan di atas.
Kejahatan WCC
Sebagaimana diketahui, kejahatan itu tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, kejahatan bukanlah suatu variabel yang berdiri sendiri. Semakin maju dan berkembang peradaban manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan timbul dan muncul.
Begitulah setidaknya ketika umat manusia belum menemukan alat sanggih komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajalela di berbagai belahan dunia, maka orangpun lalu direpotkan pula dengan efek sampingnya, yaitu kejahatan di bidang komputer.
Demikian pula corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan di bidang lingkungan hidup, money laundering[1], kejahatan di bidang ekonomi, korupsi dan lain-lain. Semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia. Kejahatan-kejahatan ini adalah termasuk dalam kategori WCC (White Collar Crime), atau kejahatan korporasi, atau sering juga disebut dengan istilah kejahatan kelas “alite”.
Dikatakan elite, karena tidak semua orang dapat melakukannya. Tidak dapat dibayangkan bagaimana preman atau para penjarah, orang yang belakangan ini diuber-uber oleh aparat keamanan dapat melakukan kejahatan komputer atau money laundering misalnya, yang nota bene membutuhkan pengetahuan dan keterampilan tertentu. Kejahatan kelas elite ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak seperti halnya pada kejahatan “warungan”, kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai sasaran.
Namun syang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal, aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.
Akibat ketidakmampuan aparat hukum dalam menyikapi dan menangani pelaku jenis ini, maka aparatur hukum (polisi) lalu mengerahkan segala dana dan tenaga yang ada untuk mengejar dan membabat para pelaku kejahatan “warungan” seperti pembunuhan, pencurian, perampokan, penipuan, penganiayaan, termasuk di dalamnya penjarahan dan pelaku kerusuhan.
Keberadaan kejahatan yang sifatnya konvensional ini, seperti juga telah disinggung di atas, memang dapat dilihat dan disaksikan dengan mata telanjang serta akibatnyapun langsung dapat dirasakan oleh korban (masyarakat).
Berlainan dengan kejahatan “warungan”, kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, di samping keberadaannya berdampak positif karena dapat menghasilkan pajak dan devisa dalam jumlah besar bagi pembangunan nasional, sehingga korporasi nampak sangat positif. Namun disisi lain kita juga akan dapat menyaksikan perilaku negatif yang ditunjukan oleh korporasi.
Kegiatan yang dianggap sebagai kejahatan atau tindak pidana korporasi, yang menimbulkan keresahan luas dalam masyarakat, adalah tindak pidana yang menimbulkan kerugian besar. Kerugian ini tidak saja dapat dihitung dengan uang, tetapi juga yang tidak dapat dihitung yaitu misalnya hilangnya kepercayaan masyarakat pada sistim perekonomian yang berlaku.
Kalau diperbandingkan akibat yang ditimbulkan oleh kedua corak kejahatan tersebut, maka tidak ada pilihan lain bahwa akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan korporasi lebih besar dan berbahaya, baik dalam arti kualitas maupun dalam arti kuantitas bagi dan dalam kehidupan masyarakat.
Tapi dampak negatif ini, dalam banyak hal tidak secara langsung dirasakan oleh masyarakat dan penegak hukum. Padahal seperti dikatakan di atas, bahaya dan kerugian yang ditimbulkan jauh lebih besar dibandingkan dengan kejahatan “warungan”.
Sehubungan dengan apa yang diuraikan terakhir, maka timbul persoalan, mengapa tidak dilakukan instruksi atau kebijakan untuk melakukan penembakan di tempat, terhadap pelaku kejahatan korporasi atau WCC ?
Sebagai wujud dari ketidakmampuan dalam menangani masalah kejahatan korporasi, maka aparat penegak hukum lalu mengerahkan perhatiannya pada upaya pemberantasan terhadap pelaku kejahatan “warungan”. Pelaku dari kejahatan “warungan” ini pada umumnya adalah berasal dari kelompok powerless yang tidak berdaya baik secara struktural maupun finansial.
Sebaliknya para pelaku kejahatan korporasi (WCC) adalah berasal dari kalangan powerfull. Ini dapat melakukan bargaining dengan penguasa. Mereka bisa membeli hukum. Lebih dari itu mereka bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah. Dalam kondisi seperti itu, penguasa lalu menjadi “Powerless” dibuat tidak berdaya oleh pelaku WCC.
Bertolak dari uraian di atas, maka sebagai kompensasinya, penguasa (baca aparat penegak hukum) lalu menggasak para powerless. Jadi ada semacam frustasi penguasa sehingga berusaha mengalihkan perhatian masyarakat ke bidang lain, yang kandungan keberbahayaannya justru didramatisir sedemikian rupa, sehingga memberi kesan seolah-olah kejahatan “warungan” sudah begitu sangat meresahkan masyarakat, dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan WCC. Lalu dengan serta merta penguasa mengeluarkan kebijakan tembak di tempat.
Lalu apa sebenarnya yang hendak dituju dengan kebijakan tembak di tempat itu ? jika dengan kebijakan itu dimaksudkan akan melakukan pemberantasan terhadap kejahatan, jelas tidak masuk akal. Apalagi hendak memberantas penjahat, jelas lebih tidak masuk akal lagi. Karena penjahat muncul sebagai akibat dari tekanan sosial. Jadi kebijakan tembak di tempat justru akan menimbulkan masalah baru, oleh karena ia tidak menyentuh akar persoalan.
Meningkatnya kejahatan adalah sebagai indikator dari kehidupan masyarakat yang amburadul. Dilihat dari sudut patologi sosial, masyarakat yang sedemikian itu sedang mengidap suatu gejala yang kurang sehat. Entah itu kemiskinan yang sedang merajelela, ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan lain-lain, yang berkonsekuensi membuka peluang kepada warga masyarakat untuk bertindak di luar hukum.
Penjahat (perusuh maupun penjarah) dalam hal ini tidak lebih dari sebuah gunung es yang akar permasalahannya tidak kelihatan secara kasat mata. Maka “men-dor” gunung es bukanlah tindakan yang bijaksana, tapi malah menimbulkan masalah baru.
[1] Tentang hal ini, baca: Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2001, hal. 211 dan seterusnya !

Tidak ada komentar:
Posting Komentar