Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Kamis, 02 April 2009

ANTARA PEJABAT DAN PENJAHAT




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Untuk menilai kejahatan mana yang paling sadis diantara berbagai jenis kejahatan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dalam hal ini adalah tergantung dari sudut mana kita melihat. Jika kita melihat dari sudut pandang korban dalam pengertian kongkrit, maka kejahatan perampokan yang disertai dengan tindakan penganiayaan atau pembunuhan, adalah merupakan kejahatan yang paling sadis dan sangat membahayakan sekaligus mengerikan.
Tapi jika kita melihat dari sudut pandang korban dalam pengertian abstrak, maka dapat dikatakan bahwa kejahatan seperti diuraikan di atas, belumlah seberapa membahayakan masyarakat. Tidaklah sesadis kejahatan lain seperti yang akan diuraikan berikut ini.
Seorang preman, dalam pengertian pelaku kejahatan jalanan atau pelaku kejahatan konvensional, yang melakukan tindakan perampokan terhadap seorang ibu rumah tangga, dengan cara menebas tangannya hingga putus untuk mengambil gelang emas yang ada di tangannya, sehingga darah berceceran akibat tebasan clurit si preman tersebut. Sepintas, kejahatan yang dilakukan oleh si preman ini terkesa sangat sadis dan meresahkan masyarakat. Benarkah demikian ?
Perlu diketahui, bahwa korban dari kejahatan yang dilakukan oleh si preman tersebut adalah bersifat individual dan kongkrit, dan kerugian yang diderita oleh di ibu tadi, karena kehilangan gelas emasnya, anggaplah nilai nominalnya adalah sebesar lima puluh juta rupiah.
Pejabat Sekaligus Penjahat
Tapi sekarang, mari kita perbandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat. Kejahatan yang dilakukan oleh para pejabat dalam tataran teoretis sering disebut dengan istilah kejahatan White Collar Crime (WCC), kejahatan kerah putih. Mereka pejabat tetapi sekaligus juga penjahat. Salah satu bentuk dari kejahatan WCC ini adalah korupsi.
Korupsi dalam pengertian masyarakat awam adalah tindakan mengambil uang negara yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya. Walaupun pengertian korupsi seperti ini tidaklah terlalu lengkap dan sempurna, namun bisa dipahami jika kita berangkat dari sudut pengertian sosiologis (masyarakat awam). Dari pengertian korupsi dari masyarakat awam ini, tentu saja para preman tidaklah dapat melakukannya; yang dapat melakukan tindakan korupsi hanyalah para pejabat dalam kapasitasnya sebagai Pegawai Negeri, baik Sipil maupun TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Jika dilihat dari sudut cara (modus operandi) dan sarana yang digunakan, maka terdapat perbedaan yang fundamental antara kejahatan yang dilakukan oleh pejabat dengan kejahatan yang dilakukan oleh para preman. Preman melakukan kejahatan lebih banyak menggunakan cara-cara kekerasan dan brutal, dan sarana yang digunakan dalam melakukan aksi kejahatannya lebih dominan mengandalkan otot ketimbang otak.
Sementara itu, kejahatan yang dilakukan oleh pejabat lebih banyak dilakukan dengan cara halus, sopan dan penuh santun. Dengan demikian, untuk mencapai tujuan itu, tentu saja para pejabat lebih banyak mengandalkan otak ketimbang otot.
Apapun alasannya, barangkali kita sepakat, bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan mengandalkan otak jauh lebih banyak mendatangkan hasil (uang) dari pada pekerjaan yang dilakukan dengan mengandalkan tenaga (otot). Demikian pula halnya dengan hasil yang dapat dicapai antara kejahatan yang dilakukan dengan mengandalkan otot dan kejahatan yang dilakukan dengan mengandalkan otak.
Andaikata seorang pejabat mengkorupsi uang negara sebesar 1 (satu) miliar rupiah. Mari kita perbandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh preman seperti diuraikan di atas, yang memperoleh uang sebesar lima puluh juta rupiah. Untuk mendapat yang sejumlah itu, sang preman telah menebas hingga putus tangan seorang ibu rumah tangga. Jika kita melihat dari sudut pandang korban yang ditimbulkan oleh kedua bentuk kejahatan tersebut, manakah sebenarnya yang lebih sadis dan merugikan serta membahayakan masyarakat ?
Kalau kita analisis dari sudut pandang korban, maka dengan jumlah uang satu miliar itu, sebenarnya si pejabat tersebut telah melakukan tindakan pembunuhan terhadap penduduk minimal satu kecamatan. Kalau kita analogikan dengan kejahatan yang telah dilakukan oleh preman tersebut, maka sesungguhnya si pejabat itu telah “menebas tangan-tangan” penduduk satu kecamatan.
Maka dengan demikian, dari analisis ini dapat dikatakan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, sesungguhnya dapat menimbulkan korban yang banyak dan bergelimpangan yang penuh dengan ceceran “darah segar”. Jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh para preman, korbannya adalah bersifat individual dan kongkrit, sedangkan kejahatan korupsi, korbannya adalah bersifat kolektif dan abstrak.
Kejahatan Pejabat Lebih Sadis ?
Barangkali kita tidak atau belum terbiasa untuk mengatakan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan oleh pejabat itu sesungguhnya jauh lebih sadis, mengerikan dan sangat membahayakan serta meresahkan masyarakat, jika dibandingkan dengan kejahatan yang dilakukan oleh para preman. Mengapa ?
Beberapa tahun belakangan, kita mungkin belum pernah mendengar, pihak aparat penegak hukum dan aparat pemerintah mengeluarkan pernyataan, bahwa kejahatan korupsi ini sudah sangat meresahkan masyarakat. Belum pernah ada pernyataan seperti ini. Baru dipenghujung tahun 2003 kecemasan terhadap korupsi mulai meluas, dan malah dua organisasi Islam (Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah) bergabung secara resmi dan mengeluarkan statemen bersama untuk memberantas dan perang terhadap korupsi.
Pernyataan yang sering muncul justru diarahkan pada para preman yang nota benenya tidak punya kekuasaan apa-apa (powerless), sehingga ke luar pernyataan resmi dari pemerintah, bahwa kejahatan pemerasan yang dilakukan oleh para preman saat ini sudah sangat meresahkan masyarakat, sehingga perlu ditindak tegas, dan dilibas, kalau perlu tembak di tempat. Mengapa harus terjadi perbedaan perlakuan dalam penegakan hukum ?
Di samping itu, kita juga jarang mendengar berita, bahwa preman berhasil merampok uang sampai miliaran rupiah. Paling-paling nilainya hanya ratusan juta rupiah. Tapi sebaliknya, pejabat mempunyai peluang yang besar untuk melakukan korupsi, mulai dari seratus perak hingga triliunan rupiah.
Jika dilihat dari sudut tingkat kemunafikanpun, para koruptor sesungguhnya jauh lebih munafik dari para preman. Preman tidak pernah menyembunyikan kepremanannya. Setelah melakukan tindakan kejahatan, ia tetap berposisi sebagai penjahat dengan segala asesoriesnya: bertato, muka seram dan rambut gondrong. Sedangkan pejabat yang telah melakukan korupsi, ia tetap menggunakan safari necis, berjas dan berdasi, memakai mobil dinas, ia tetap minta dihormati oleh rakyat walaupun jahat.
Hukum Diskriminatif
Bertolak dari uraian di atas, bukan berarti kita harus mencari alasan untuk membenarkan tindakan preman yang melakukan kejahatan pemerasan, penodongan, pembunuhan, pencurian dan sebagainya. Tidak. Tindakan-tindakan seperti ini tetap harus diberantas. Tapi yang aneh dalam konteks ini adalah, mengapa harus terjadi perbedaan perlakuan penegakan hukum yang terlalu diskriminatif, antara preman yang melakukan kejahatan dengan pejabat yang juga sama-sama melakukan kejahatan ?
Padahal sudah sejak lama, salah seorang tokoh proklamator almarhum Mohammad Hatta mengeluarkan pernyataan, bahwa korupsi di Indonesia sudah membudaya. Dan bahkan dari hasil survai 40 negara yang dilakukan oleh PERC, sebuah LSM yang berkedudukan di Hongkong, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara nomor satu terkorup. Artinya kejahatan korupsi itu telah merajalela dan ada di mana-mana. Di kantor Gubernur ada koruptor, di Kantor Walikota ada koruptor, di instansi pengadilan ada koruptor. Tapi celakanya, pelakunya “sulit” atau malah “dipersulit” untuk bisa ditangkap.
Asumsi yang dapat dikedepankan dalam kaitan ini adalah, bahwa masalah ini adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan atau lebih tepatnya adalah sebagai akibat dari ketidakberdayaan aparat penegak hukum dalam mengungkap kejahatan pejabat. Lalu kita diarahkan dan digiring melalui pernyataan yang disebarkan lewat media massa untuk mengakui bahwa kejahatan para preman sudah sedemikian sadis sehingga perlu dilibas.
Kalau aparat penegak hukum tidak mampu atau tidak berdaya melakukan pengusutan terhadap pejabat yang melakukan kejahatan korupsi, karena berbagai kendala baik psikologis maupun teknis yuridis, maka alangkah adilnya jika diterapkan asas toleransi yuridis terhadap pelaku kejahatan konvensional[1].


[1] Lihat Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h) Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1997, hal. 1 dan seterusnya !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj