Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Selasa, 03 Maret 2009

TINDAK PIDANA KEHUTANAN (illegal Logging) DI INDONESIA




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Pembangunan pada hakekatnya adalah suatu upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan termasuk di dalamnya peningkatan kesejahteraan hidup. Demikian juga halnya dengan tujuan akhir dari kebijakan pembangunan di bidang kehutanan.
Pembangunan kehutanan sebagai bagian yang integral dari pembangunan nasional secara keseluruhan memiliki posisi strategis terutama dalam kerangka pembangunan jangka panjang, karena berkaitan langsung dengan berbagai aspek pembangunan tingkat lokal, daerah, nasional,
dan bahkan internasional. Aspek-aspek pembangunan dimaksud pada dasarnya adalah menyangkut upaya-upaya mengoptimalkan pendayagunaan fungsi-fungsi ganda dari hutan dan kehutanan yang bertumpu pada kawasan hutan yang menyebar seluas lebih kurang 72 % dari luas wilayah daratan Indonesia, atau sekitar 143,970 juta ha yang terbagi menjadi hutan lindung, hutan konservasi, hutan produksi dan sebagainya.[2]
Fungsi-fungsi hutan tersebut pada hakekatnya merupakan modal alam (natural capital) yang harus ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa Indonesia untuk berbagai tujuan, antara lain yaitu:
1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional, dan global;
2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah, dan pendapatan masyarakat;
3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa negara bagi penumpukan modal pembangunan;
4. Menyediakan lapangan pekerjaan untuk menyerap tenaga kerja, terutama golongan menengah dan golongan bawah dalam upaya turut memberantas pengangguran dan pengentasan kemiskinan;
5. Mendorong pembangunan sektor-sektor nonkehutanan melalui pendayagunaan sumber daya alam secara rasional dan berkelanjutan. [3]
Bertolak dari uraian di atas, ternyata ada banyak sektor/bidang yang mempunyai hubungan dan kaitan langsung dengan bidang kehutanan, terutama adalah sektor ekonomi, sosial, ketenagakerjaan dan sebagainya. Di samping itu terdapat pula banyak kepentingan yang terkait seperti kepentingan lokal, daerah, nasional dan juga internasional. Maka untuk menghindari terjadinya konflik antar kepentingan dan antar bidang/sektor tersebut, diperlukan perangkat aturan dalam rangka memberikan kepastian hukum, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih diantara keduanya. Aturan hukum itu sendiri sebenarnya tidak akan mempunyai arti apa-apa jika tidak didukung oleh aparat pelaksana (kelembagaan), yaitu yang melaksanakan aturan hukum tersebut.
Dari sudut yuridis normatif, peraturan hukum yang mengatur bidang kehutanan relatif cukup memadai, dan bahkan untuk melarang dan atau memerintahkan perbuatan tertentu, pembuat undang-undang memandang perlu menjadikan perbuatan tersebut sebagai tindak/perbuatan pidana, yang selanjutnya disebut dengan tindak pidana di bidang kehutanan. Dalam rangka penindakan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan ini, dalam hal ini terutama dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan pihak kepolisian. Secara singkat diperlukan law and man.
Berkaitan dengan tema sentral tentang Penegakan Hukum Dalam Kasus (Tindak) Pidana Kehutanan (Illegal Logging),” titik fokus dari makalah ini adalah berkenaan dengan masalah illegal logging yang penulis terjemahkan dengan “kayu haram”. Sehubungan dengan itu, maka yang perlu dipertanyakan adalah, mengapa kasus Illegal Logging masih tetap terjadi: apakah aturan hukumnya yang kurang baik, yang masih mengandung celah untuk terjadinya peluang “penyelundupan hukum”; ataukah aparat pelaksananya yang memang masih memberikan toleransi untuk “kompromi” dengan pelaku illegal logging, atau karena ketidakmampuan dan ketidakberdayaan aparat untuk melaksanakan aturan itu ?
Uraian berikut ini lebih menekankan pada masalah tindak pidana kehutanan dibandingkan dengan persoalan kebijakan kehutanan, dan uraian tentang tindak pidana di bidang kehutanan berikut ini berorientasi pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang selanjutnya disingkat dengan UUK dan Peraturan Perundang-Undangan lain yang berkaitan dengan masalah illegal logging.
Dari sejumlah Peraturan Perundang-Undangan yang dapat diidentifikasi dan yang secara langsung berkaitan dengan perbuatan illegal logging pada pokoknya adalah sebagai berikut:
1. Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 menyebutkan, “setiap orang[4] dilarang: menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”;
2. Pasal 50 Ayat (3) huruf f UUK menyebutkan, “setiap orang dilarang: menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”;
3. Pasal 50 Ayat (3) huruf h UUK menyebutkan: “setiap orang dilarang: mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”;[5]
4. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan, “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (emapt) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).
Ternyata dari sejumlah aturan yang dapat dikenakan terhadap pelaku illegal logging, seperti diuraikan di atas, secara yuridis normatif masih cukup memadai untuk menjerat para pelaku illegal logging tersebut. Artinya unsur-unsur yang terkandung di dalam ketentuan pasal-pasal UUK cukup mudah dimengerti dan diimplementasikan, walaupun pada tataran ancaman pidana yang ditentukan dalam aturan tersebut masih terdapat kelemahan, namun dalam implementasi pada tataran praktek di lapangan, ternyata masih sering terjadi praktek-pratek illegal logging yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, sehingga dengan demikian juga dapat dikategorikan sebagai delik korupsi, maka persoalannya sekarang, menurut hemat penulis, bukan terletak pada tataran yuridis normatif, melainkan adalah terletak pada tataran implementasi aturan tersebut di lapangan oleh aparat pelaksana.
Bertolak dari uraian di atas, dengan bersandarkan pada aturan yang telah disebutkan di atas, maka paling tidak ada 3 (tiga) upaya/tindakan yang dapat dilakukan untuk meminimalisir terjadinya illegal logging, yaitu:
1. Upaya pengawasan dan penindakan yang dilakukan di TKP (tempat kejadian perkara), yaitu di lokasi kawasan hutan dimana tempat dilakukannya penembangan kayu secara illegal. Mengingat kawasan hutan yang ada cukup luas yang tidak dibarengi dengan jumlah aparat yang signifikan, maka upaya ini sulit dapat diandalkan, kecuali menjalin kerjasama dengan masyarakat tempatan. Inipun akan mendapat kesulitan jika anggota masyarakat itu justru mendapatkan keuntungan materiil dari tindakan illegal logging[6].
2. Upaya lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan pos-pos tempat penarikan retribusi yang banyak terdapat di pinggir-pinggir jalan luar kota. Dalam pengamatan penulis, petugas pos retribusi hanya melakukan pekerjaan menarik uang dari truk yang membawa kayu, hanya sekedar itu. Seharusnya di samping melakukan penarikan uang retribusi juga sekaligus melakukan pengecekan terhadap dokumen yang melegalkan pengangkutan kayu[7]. Dengan tindakan pengecekan seperti ini, secara psikologis diharapkan dapat dijadikan sebagai upaya shock therapy bagi para sopir truk dan pemodal.
Selain dari itu, juga harus dilakukan patroli rutin di daerah aliran sungai yang dijadikan jalur pengangkutan kayu untuk menuju terminal akhir, tempat penampungan kayu;
3. Upaya ketiga adalah menelusuri terminal/tujuan akhir dari pengangkutan kayu illegal, dan biasanya tujuan itu adalah perusahaan atau industri yang membutuhkan bahan baku dari kayu. Menurut hemat penulis ini adalah merupakan upaya yang cukup efektif untuk menanggulangi perbuatan-perbuatan illegal logging. Perusahaan atau industri seperti ini dapat dituding telah melakukan “penadahan”.[8] Perbuatan menampung terhadap kayu-kayu illegal oleh perusahaan, yang dalam bahasa hukum konvensional KUHP disebut sebagai penadahan tersebut, dapat dikategorikan sebagai kejahatan korporasi (corporate crime).
Korporasi merupakan subjek hukum di samping manusia. Meskipun Undang-Undang memperlakukan korporasi sebagai subjek hukum, namun dalam wujudnya berbeda dengan subjek hukum yang berupa manusia. Korporasi adalah suatu organisasi, suatu bentuk organisasi dengan tujuan tertentu yang bergerak dalam bidang ekonomi/bisnis. Oleh karena itu, untuk dapat memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks dalam bingkai struktur.[9]
Dalam banyak hal, korporasi memang menampakan diri sebagai yang menguntungkan bagi negara, seperti pembayaran pajak, menghasilkan devisa bagi negara dan penyerapan tenaga kerja. Namun di sisi lain perlu diingat, bahwa korporasi juga dapat melakukan kejahatan yang menimbulkan korban bergelimpangan yang bersifat abstrak.
Berdasarkan ketentuan Pasal 50 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, korporasi dapat berkedudukan sebagai pelaku tindak pidana di bidang kehutanan, termasuk di dalamnya perbuatan-perbuatan illegal logging,[10] yaitu sebagai pihak yang menerima atau membeli kayu-kayu yang tidak dilengkapi dengan dokumen yang sah yang disebut dengan illegal logging.
Perlu diingat, bahwa kegiatan pengeksploitasian hutanpun secara umum sebenarnya merupakan tuntutan industri/perusahaan untuk memperoleh bahan baku, di samping juga kebutuhan negara untuk memperoleh devisa. Sehubungan dengan itu, ada banyak kemungkinan yang akan terjadi untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku kayu, bisa terjadi pasokan kayu legal, sebaliknya juga dapat terjadi pasokan kayu-kayu illegal. Persoalannya bagaimana bentuk mekanisme kontrol terhadap kemungkinan suatu perusahaan menerima pasokan kayu yang illegal itu, hal inilah yang menjadi tantangan aparat pelaksana dalam menghadapi subjek hukum korporasi.
Menurut I.S Susanto, bahwa ciri industrialisasi adalah meningkatnya peranan dan kekuasaan korporasi di hampir semua segi kehidupan, sehingga seolah-olah hidup matinya masyarakat ditangan korporasi. Di sisi lain, dalam mencapai tujuannya, korporasi cenderung melakukan pelanggaran hukum dan nilai-nilai sosial lainnya, sehingga menimbulkan kerugian yang luar biasa besarnya pada masyarakat luas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kejahatan dewasa ini adalah kejahatan korporasi, artinya kejahatan korporasi adalah kejahatan yang paling serius, yang paling mencemaskan, yang paling merugikan dan paling merusak pada dewasa ini. Sehingga perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kejahatan korporasi tidak dapat ditunda-tunda lagi terutama oleh ilmuan, pemerintah dan penegak hukum.
Demikian makalah singkat tentang Kebijakan kehutanan dan tindak pidana kehutanan di Indonesia ini dibuat untuk dipresentasikan dalam acara pelatihan penegakan hukum dalam kasus (tindak) pidana kehutanan (illegal logging).

Daftar Rujukan
Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996
Djamaloedin Soerjohadikoesoemoe, Pembangunan Kehutanan Pada PJP II: Kebijakan dan Permasalahannya Dalam Rangka Mewujudkan Amanat UUD 1945, Makalah Pada Seminar “Kebijaksanaan Pembangunan Pertanahan/Agraria dan Implikasinya Di Riau Dalam Rangka Memasuki PJP II Tahap I”, Pekanbaru, 30 – 31 Mei 1994.
I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995.
Muladi dan Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Bandung, Sekolah Tinggi Hukum Bandung, 1991.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan


[1] Pemakalah adalah dosen Fakultas Hukum dan Sekretaris Pusat Kajian Pelaku dan Korban Kejahatan Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
[2] Lihat Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan dan Pembangunan Bidang Kehutanan, Jakarta, PT Raja Grafindo, 1996, hal. 49 !
[3] Djamaloedin Soerjohadikoesoemoe, Pembangunan Kehutanan Pada PJP II: Kebijakan dan Permasalahannya Dalam Rangka Mewujudkan Amanat UUD 1945, Makalah Pada Seminar “Kebijaksanaan Pembangunan Pertanahan/Agraria dan Implikasinya Di Riau Dalam Rangka Memasuki PJP II Tahap I”, Pekanbaru, 30 – 31 Mei 1994.
[4] Di dalam penjelasan Pasal 50 Ayat (1) UUK disebutkan, “Yang dimaksud dengan orang adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
[5] Di dalam Bab XIV tentang Ketentuan Pidana Pasal 78 Ayat (5) dan Ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan:
Ayat (5) Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf e dan f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah.
Ayat (7) Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 Ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah).
[6] Lihat Pasal 50 Ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 !
[7] Lihat Pasal 50 Ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 !
[8] Lihat Pasal 50 Ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 !
[9] I.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1995, hal. 21.
[10] Lihat ketentuan Pasal 50 Ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 !

1 komentar:

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj