Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Kedua informasi dan alasan klasik di atas hanya diperoleh secara sepihak dari petugas aparat kepolisian. Tapi bisakah dipertanyakan lebih lanjut, ketika alasan yang dikemukakan itu adalah dikarenakan tersangka melawan petugas; memakai apakah dia (tersangka) melakukan perlawanan. Alangkah tidak adilnya ketika tersangka melakukan perlawanan hanya dengan tangan kosong lalu petugas melawan −dalam pengertian membela diri− dengan “memuntahkan” timah panas dari pistolnya terhadap tersangka.
Di pihak lain juga tidak adil, walaupun dengan alasan tersangka melawan petugas, lalu dibalas dengan tembakan yang mematikan. Bukankah yang disarankan, ketika tersangka melawan petugas adalah dengan melakukan tindakan melumpuhkan ? Konsep melumpuhkan dengan mematikan suatu hal yang sangat jauh berbeda. Yang “diperkenankan” itu melumpuhkan ataukah juga membunuh ?
Setelah anggota polri berhasil “membunuh” tersangka, walaupun dengan dalih karena tersangka melawan petugas atau melarikan diri, seringkali komandan kesatuannya dengan gagah berani mengekspos melalui media cetak, bahwa anak buahnya telah berhasil menjalankan tugas “pembunuhan”. Luar biasa: membunuh dipandang suatu keberhasilan. Lalu dimana letak asas praduga tak bersalah dalam proses peradilan pidana ?
Saya belum pernah mendengar, bahwa ada anggota polri yang diproses lewat jalur peradilan setelah melakukan tindakan penembakan yang mengakibatkan matinya seseorang tersangka, dan seterusnya anggota polri itu dihukum, karena terbukti bahwa tindakan penembakan yang dilakukannya itu tidak melalui prosedur tetap (Protap), seperti harus menembak ke udara sebelum melakukan tindakan penembakan ke arah sasaran. Namun yang terjadi bahwa tindakan penembakan itu selalu saja dipandang sah dan benar.
Suatu ilustrasi kiranya perlu diuraikan sebagai bahan perbandingan. Ketika seorang wartawan bertanya kepada saya, bagaimana anda sebagai dosen mengajar di depan mahasiswa ? Jawaban yang keluar dari mulut saya bisa ditebak, pasti saya akan menjawab bahwa saya mengajar cukup hebat dan briliyan, dan tidak mungkin saya akan menjawab bahwa saya mengajar bodoh dan begok Tapi cukup objektifkah untuk menarik kesimpulan bahwa seorang dosen yang bersangkutan itu memang hebat dan briliyan mengajar di depan kelas, hanya merujuk dari jawaban yang bersangktan saja tanpa mengklarifikasi atau memverifikasinya dengan data dari pihak lain, dari mahasiswa yang saya ajarkan ? Kalau pertanyaan yang sama diajukan kepada mahasiswa, tentu jawabannya akan beragam. Tidak semua mahasiswa akan memberikan jawaban yang mengatakan bahwa dosen tersebut hebat dan briliyan.
Kembali kepada pokok masalah, cukup objektifkah data yang kita terima hanya sepihak yaitu dari pihak polri yang mengatakan bahwa tersangka melawan petugas untuk membenarkan terbunuhnya tersangka, tanpa mengklarifikasikan dengan saksi lain yang ada di TKP (Tempat Kejadian Perkara/locus delicti) pada waktu terjadinya penembakan ? Jangan-jangan saksi yang ada di TKP akan berkata bahwa tersangka sudah mengangkat tangan pertanda menyerah tapi polisi malah dengan membabi buta memuntahkan timah panasnya. Kalau ini yang terjadi bagaimana kita harus menyikapinya ?
Dalam proses peradilan pidana, aparat kepolisian merupakan ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan. Seluruh kejahatan, terutama untuk tindak pidana umum, maka aparat kepolisian merupakan gerbang dan pintu utama untuk menangani tindak pidana umum. Setelah dilakukan pemeriksaan, dibuatkan BAP-nya barulah masuk ke gerbang berikutnya yaitu aparat Kejaksaan dan seterusnya ke pengadilan.
Ketika kita “diperas” oleh hakim, kita bisa melaporkan hakim nakal itu ke Komisi Yudisial. Demikian pula halnya ketika kita diperas oleh Jaksa, kitapun bisa melaporkan jaksa nakal itu ke Komisi Kejaksaan. Tapi ketika kita diperas oleh polisi, kemana kita harus melaporkan ? Mau melaporkan ke Komisi Kepolisian, ternyata komisi ini tidak sama dengan Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan yang dapat langsung “menjewer telinga” si hakim atau jaksa yang nakal. Komisi Kepolisian tidak ada kewenangan untuk “menjewer” secara langsung telinga si polisi yang nakal itu. Lalu kita harus lapor kemana ? Hal ini dapat ditelusuri dari Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Komisi Kepolisian Nasional, di dalam Pasal 3 menyebutkan: Komisi Kepolisian Nasional bertugas:
a. membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan Kepolisian Negara Republik Indonesia ; dan
b. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia .
Sedangkan di dalam Pasal 4 disebutkan, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Komisi Kepolisian Nasional berwenang untuk:
a. mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran kepada Presiden yang berkaitan dengan anggaran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pengembangan sumber daya manusia Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan pengembangan sarana dan prasarana Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. memberikan saran dan pertimbangan lain kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri; dan
c. menerima saran dan keluhan dari masyarakat mengenai kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.
Coba perhatikan rumusan huruf c di atas, hanya sebatas menerima keluhan dan kemudian menyampaikan kepada presiden. Kompolnas ternyata tidak punya kewenangan langsung untuk "menjewer telinga" polisi tapi hanya sebagai perantara, tidak lebih dari itu.
di samping itu, kalaulah betul bisa dipercaya bahwa lembaga Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) itu dapat melakukan tindakan terhadap polisi “nakal”, dan alangkah tidak adilnya Negara ini, karena Kompolnas ini hanya ada di Ibu Kota Negara, Jakarta, sehingga dengan demikian hanya orang/penduduk Jakarta sajalah yang bisa menikmati fasilitas ini, karena yang paling dekat secara fisik dengan keberadaan Kantor Kompolnas adalah orang Jakarta, sementara orang-orang yang berada di daerah nun jauh di pelosok sana ? Terabaikan !
Kembali kepada pokok persoalan, bahwa secara teoretis kita dapat melaporkan ke unit Pelayanan Pengamanan Penindakan Disiplin (P3D) pada tingkatan Poltabes dan provos untuk level Polda. Tapi persoalannya adalah, bukankah personil-personil yang bertugas di unit P3D dan provos itu adalah juga anggota polisi, bagaimana mungkin akan bisa terjadi “jeruk makan jeruk”. Bisakah terjadi penilaian yang objektif ketika wasit sekaligus menjadi pemain ?
Konsekuensi logis dari masalah tindakan polisi yang menembak mati tersangka, dan ketika anggota keluarga korban yang ditembak mati oleh polisi itu tidak setuju dengan tindakan penembakan yang dilakukan oleh polisi itu, dan minta diproses anggota polisi tersebut, katakanlah bahwa polisi itu telah melakukan pembunuhan, kemanakah anggota keluarga yang tidak setuju itu harus melaporkan peristiwa itu ? Harus melaporkan ke P3D atau provos ? bukankah P3D dan provos itu juga adalah polisi, ini sama artinya melaporkan polisi ke polisi, sekali lagi mungkinkah wasit jadi pemain atau pemain sekali gus menjadi wasit ? Menurut hemat saya sulit dapat dipercaya objektivitas kinerja dari sebuah lembaga internal seperti itu.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar