Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Alangkah naifnya, bilamana ada seseorang yang memalsukan ijazah hanya untuk disimpan sebagai koleksi. jika hal ini terjadi, maka perlu dipertanyakan keadaan psikis dari orang tersebut, kalau tidak gila, minimal orang itu mempunyai kelainan jiwa. Dan perlu diketahui, bahwa hukum pidana, di negara manapun di dunia ini, tidak akan melakukan penghukuman/pemidanaan terhadap orang gila. Biasanya ada alasan pemaaf untuk orang yang bersangkutan.
Pemanfaatan ijazah palsu biasanya dilakukan setelah memperoleh moment yang tepat, atau secara sengaja menciptakan moment, dan ketika moment itu sedemikian rupa dirasakan telah kondusif, barulah ijazah palsu itu dimanfaatkan. Sehingga, secara modus operandi, terdapat dua alternatif yang mungkin akan ditempuh. Pertama, menunggu keteledoran/kealpaan petugas, dan kedua, “memaksa” petugas yang bertanggung jawab untuk meneliti keabsahan ijazah itu agar berpura-pura teledor/alpa.
Dari deskripsi uraian di atas, penulis mencoba melakukan analisa terhadap dua orang pejabat di Riau ini yang diduga berijazah palsu, seperti yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Satu orang memangku jabatan Bupati dan satunya lagi adalah wakil Bupati. Ini artinya adalah, bahwa kedua-duanya merupakan pejabat publik. Sebagai pejabat publik, tentu saja publik (baca: masyarakat) mempunyai hak untuk bertanya dan mempertanyakan eksistensi kebenaran dari dugaan yang sudah terlanjur terpublikasikan secara luas oleh media massa . Benarkah kedua pejabat publik itu berijazah palsu ? Bagaimana seharusnya menyikapi hal tersebut jika kasus yang sama terjadi pada masa mendatang ?
Ketika issu pemalsuan ijazah yang dilakukan oleh kedua pejabat tersebut semakin gencar dipublikasikan oleh media massa , beragam pendapatpun ikut berkembang dalam kehidupan masyarakat. Ada yang bersikap masa bodoh alias cuek, ada yang pro issu, bahkan ada yang kontra issu. Bagi kelompok yang kontra issu tentu saja melakukan pembelaan terhadap posisi pejabat publik tersebut. Di alam demokrasi tentu saja sikap-sikap yang demikian sebagai suatu sikap yang absah, sepanjang tidak dipengaruhi oleh argumen-argumen yang menyesatkan atau, ini yang lebih berbahaya, dipengaruhi oleh materi (suap menyuap). Sepanjang hal itu merupakan pengejawantahan dari sebuah sikap idealisme, karena perbedaan pandangan dan pemahaman tentu harus dihormati.
Persoalannya sekarang adalah, siapa dan pihak mana yang harus menengahi terhadap dua sikap yang ekstrim yang berkembang dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari munculnya dugaan kasus pemalsuan ijazah ini ? Jawabannya adalah polisi. Masalah ijazah palsu bukan merupakan masalah politik, melainkan murni masalah hukum pidana. Polisi dalam hal ini merupakan ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan.
Secara legalitas, memang tidak ada aturan yang mengharuskan seseorang yang diduga berijazah palsu harus lengser dari jabatannya. Hanya saja secara etika dan moralitas, memang sebaiknya setiap pejabat publik yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana seharusnyalah mengundurkan diri, minimal dinonaktifkan sementara waktu.
Demonstrasi Salah Arah
Seperti diuraikan di atas, bahwa masalah ijazah palsu adalah murni masalah hukum (pidana). Bupati dan wakil Bupati yang berijazah palsu baru sebatas dugaan. Maka oleh sebab itu, yang perlu didemo adalah kinerja polisi, misalnya: mengapa polisi tidak bekerja secara pro-aktif terhadap masalah ini. Kinerja polisi seperti inilah yang perlu di demo, bukannya mendesak DPRD untuk menggelar sidang.
Andaikan setelah diproses melalui proses peradilan pidana, dan putusan hakim telah berkekuatan hukum tetap, inipun tidak otomatis jabatan Bupati copot begitu saja. Barulah aksi demo di arahkan ke DPRD, manakala dengan putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap itu, toh DPRD tidak juga bersikap untuk menggelar sidang dan mengambil putusan memberhentikan Bupati.
Bukankah penggunaan ijazah palsu oleh kedua pejabat itu baru sebatas dugaan yang memerlukan pembuktian di sidang pengadilan ? Bukankah dalam suatu negara hukum, hanya pengadilanlah yang berwenang menetapkan bersalah atau tidaknya seseorang ? Sehingga, menurut hemat penulis ada mekanisme yang harus dilalui agar tidak menjurus kepada tindakan main hakim sendiri (daad van eigenrichting). Memang harus diakui, bahwa mekanisme yang harus dilalui itu adalah panjang dan berliku-liku, penuh onak dan duri, tapi inilah konsekuensi logis dari sebuah proses hukum yang kadangkala menjemukan itu. Kalau tidak demikian, justru kitalah yang dituduh melakukan tindakan main hakim sendiri.
Analisa Kasus
Dengan adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap itu nantinya (sampai tulisan ini diturunkan, peradilan tentang hal ini tidak ada kejelasan secara yuridis), penulis mencoba mengkonstruksikan kemungkinan lembaga DPRD juga dapat diseret ke depan pengadilan, karena kelalaian dan keteledoran mengakibatkan seseorang yang berijazah palsu dapat menduduki jabatan publik. Karena kewenangan DPRD-lah seseorang dapat medduduki jabatan Bupati. Para anggota DPRD-lah yang memilih seseorang untuk dapat menduduki jabatan. Sehingga kesalahan (sengaja maupun alpa) dalam melakukan pemilihan, tentu DPRD juga ikut bertanggung jawab, entah itu karena teledor dalam proses pemeriksaan persyaratan maupun hal lain yang cukup prinsipil. Tapi adakah konstruksi hukum untuk dapat melibatkan lembaga DPRD sebagai tersangka ?
Logikanya adalah, bahwa yang dikatakan kesalahan itu ada dua bentuk yaitu kesengajaan dan kealpaan. Sehingga orang yang dihukum itu pasti orang yang telah terbukti kesalahannya baik itu sengaja atau alpa. Masalah berapa lama/besar hukuman yang akan dijatuhkan, tergantung pada bentuk kesalahannya. Semakin besar kesalahannya, akan semakin beratlah hukuman yang akan dijatuhkan. Suatu kejahatan yang dilakukan secara sengaja tentulah hukumannya akan lain dengan orang yang melakukan kejahatan karena kealpaan. Satu hal yang jelas adalah, bahwa baik dilakukan secara sengaja atau kealpaan, keduanya tetap merupakan perbuatan pidana/kejahatan.
Menambrak orang lain di jalan raya, jelas perbuatan itu adalah suatu kealpaan, dan hukum pidana tetap menghukum pelakunya. Alangkah tidak adilnya, jika lembaga DPRD yang, katakanlah karena kealpaannya sehingga orang yang berijazah palsu lolos menduduki jabatan publik, tidak ada sanksi apapun untuk lembaga DPRD tersebut. Suatu ketidakadilan yang luar bisa sedang terjadi. Mengapa penbarak yang alpa mendapat hukuman, sementara lembaga DPRD yang juga alpa tidak dihukum ?
Polisi Membantu Kejahatan ?
Jika polisi tidak menggubris dan justru membiarkan terhadap dugaan penggunaan ijazah palsu yang dilakukan oleh kedua pejabat publik tersebut, maka ini sama saja artinya bahwa polisi ikut membantu terjadinya kejahatan pemalsuan ijazah, atau minimal membiarkan kejahatan pemalsuan ijazah itu berlangsung terus.
Perlu diingat, bahwa masalah tindak pidana pemalsuan ini bukanlah merupakan delik aduan. Artinya tanpa pengaduan atau laporan, jika polisi mengetahuinya, maka ia dapat langsung melakukan tindakan represif, jika tidak melakukan tindakan, sementara ia mengetahui dugaan terjadinya delik, maka polisi dapat dipersalahkan, kalau tidak membantu, minimal melindungi kejahatan. Sedangkan sebaliknya pada delik aduan, polisi tidak boleh bertindak represif sekalipun kejahatan itu terjadi di depan matanya sendiri (kecuali melakukan upaya preventif).
Persoalannya adalah, bagaimana jika polisi sebagai ujung tombak penegakan hukum pidana di lapangan tetap membiarkan dan tidak melakukan tindakan represif apapun terhadap pelaku pemalsuan ijazah tersebut ? Menurut hemat penulis, tak satupun ada lembaga yang bisa memaksa agar polisi melakukan pengusutan. Disinilah perlunya kontrol masyarakat, entah itu oleh mahasiswa ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk kalangan wartawan media cetak. Kalaupun ini tidak mempan juga, barangkali kita perlu berserah diri kepada Yang Maha Kuasa. Amien !
Penulis,
Zul Akrial
(Penulis adalah Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar