Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 23 Februari 2009

POLISI DAN KEKERASAN




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Dibandingkan dengan aparat penegak hukum lain, seperti jaksa, hakim, dan pengacara, tampaknya polisi lebih populer di mata masyarakat. Lantaran kepopulerannya itu, wajar apabila setiap tingkah dari prilaku polisi mulai dari penampilan pribadi sampai penampilan dalam tugas, selalu mendapat perhatian dan sorotan masyarakat. Perbincangan yang mengetengahkan ‘citra’ polisi, selalu saja dapat ditemui dalam forum-forum, baik yang bersifat resmi maupun jalanan atau warung kopi.
Apakah sorotan ini karena polisi memang disenangi dan dibutuhkan ? Ataukah justru karena mereka tidak disenangi dan menyebalkan ? Jawaban terhadap pertanyaan ini pada intinya akan bermuara pada satu kenyataan. Bahwa polisi merupakan aparat penegak hukum terdepan dan merupakan ujung tombak dalam penegakan hukum pidana yang berhubungan dan bersenggolan langsung dengan masyarakat. Sehingga, risiko bagi terjadinya pergesekan dan pembenturan dengan masyarakat juga tinggi.
Dalam menjalani tugasnya, penulis berasumsi, bahwa mayoritas anggota masyarakat pasti menghendaki sekaligus menaruh harapan yang besar kepada polisi untuk tidak menggunakan tindakan kekerasan secara fisik. Entah itu dalam bentuk pemukulan atau tamparan dengan menggunakan tangan, maupun penembakan dengan menggunakan pistol, ataupun dalam bentuk tekanan psikologis yang berlebihan.
Mengutip pendapat Adrianus Meliala[2] yang mengatakan, “bahwa pengharapan masyarakat terhadap praktek kekerasan yang seharusnya tidak dilakukan oleh polisi, jelas salah. Kekerasan, secara teoretis dan praktek sehari-hari, menurut Adrianus, justru dipersepsikan oleh polisi (mungkin juga secara diam-diam dianjurkan untuk dilakukan) sebagai metode yang efektif dalam melakukan tindakan penyidikan.
Penulis sependapat dengan argumen yang diajukan Adrianus Meliala di atas. Namun perlu dipahami, kendatipun penulis sependapat, akan tetapi tidak berarti juga setuju dan membenarkan tindakan kekerasan yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugasnya.
Melalui tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan betapa eratnya hubungan antara pelaksanaan tugas kepolisian dengan penggunaan tindakan kekerasan. Aparat kepolisian boleh saja membantah dan dapat saja mengatakan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya, dia tidak menggunakan kekerasan. Tapi, mari kita lihat dan saksikan bersama terhadap simbol-simbol yang digunakan oleh aparat kepolisian dalam dinas kesehariannya. Yang kita lihat sebagai ‘asesoris’ polisi ketika dia mengenakan pakaian dinas adalah pistol, pentung dan borgol serta pisau/sangkur. Apa yang dapat kita katakan dengan simbol-simbol atau asesoris itu ? Kesan apa yang dapat kita petik dari simbol atau asesoris itu ? Adakah symbol atau asesoris itu menunjukkan ke arah kasih syang ?
Mari kita ambil sebagai suatu perbandingan. Ketika seorang pria lajang yang sedang mengalami cinta berat pada seorang perempuan, sedang kasmaran, biasanya yang muncul sebagai simbolnya adalah setangkai bunga atau sehelai sapu tangan. Simbol inilah yang kemudian dipersepsikan sebagai wujud dari kasih sayang. Jadi, peranan setangkai bunga dalam dunia percintaan, telah dikenal oleh masyarakat umum sebagai simbol kasih syang.
Adakah simbol-simbol yang melekat pada pakaian dinas polisi itu menunjukkan ke arah kasih syang itu ? Dapatkah kita mengatakan bahwa pistol, pentung dan borgol sebagai simbol yang menggambarkan kasih syang ? Realitas kehidupan mengatakan bahwa pistol, pisau dan borgol maupun pentungan merupakan simbol kekerasan. Dengan demikian, betapa absurd dan naifnya keinginan kita agar polisi tidak menggunakan kekerasan. Sebab dari asesoris yang digunakannya sendiri sudah menunjukkan ke arah kekerasan. Terlepas dari siapa yang menjadi objek kekerasan. Bisa tersangka, bisa saksi korban atau orang lain yang mendapat tindakan kekerasan. Yang jelas adalah, bahwa polisi seharusnya tidak membantah bahwa sebenarnya dia memerlukan kekerasan dalam menjalankan tugasnya. Kalau tidak demikian, mana mungkin dia diperlengkapi dengan pistol, borgol atau pentungan kalau tidak untuk kekerasan.
Mengingat kekerasan itu memang diperlukan oleh aparat kepolisian dalam menjalankan tugasnya, maka persoalannya adalah, kapan dan dalam hal apa sebenarnya kekerasan itu digunakan ? Satu hal yang jelas adalah bahwa tidak setiap gerak dinas polisi menggunakan kekerasan, walaupun dia diperlengkapi dengan asesoris kekerasan.
Jika polisi menggunakan kekerasan, lalu bagaimana kita dapat mengatakan bahwa polisi tidak melanggar asas praduga tak bersalah ? Padahal terhadap orang yang telah bersalah sekalipun yang dinyatakan melalui putusan pengadilan, tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan kekerasan terhadapnya.
Sehubungan dengan masalah kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, ada satu hal yang menarik untuk dikedepankan. Kekerasan (baca penganiayaan) oleh polisi yang dilakukan di kantor polisi, seperti yang sering kita dengar, ketika tersangka diperiksa oleh polisi, seringkali dibarengi dengan tindakan penganiayaan dengan tujuan entah itu untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka atau untuk tujuan penganiayaan semata-mata. Tindakan penganiayaan yang dilakukan polisi ini, sulit memang dibuktikan.
Akan tetapi, jika tindakan penganiayaan ini dilakukan secara terus menerus dan diketahui oleh atasan, penulis berani mengatakan bahwa tindakan ini merupakan suatu bentuk kejahatan (semi) terorganisir atau paling tidak termasuk dalam kategori kejahatan korporasi (badan hukum). Dikatakan badan hukum, karena lembaga Polsek, Polres maupun Polda adalah merupakan salah satu bentuk badan hukum publik.
Walaupun proses peradilan terhadap pelaku kejahatan badan hukum, baik publik maupun private, untuk Indonesia belum begitu populer, tapi di luar negeri seperti di Amerika Serikat, Inggris dan negara-negara Eropa lainnya, proses peradilan terhadap pelaku kejahatan badan hukum telah menjadi suatu hal yang biasa.
Maka dengan demikian, sudah saatnya lembaga kepolisian Indonesia mereformasi persepsi personil Polri terhadap kekerasan. Hal ini tentunya dilakukan lewat pendidikan yang diberikan sejak awal pembekalan, baik ditahap Secapa, Secaba maupun Secatam (kalaupun masih ada). Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi gelombang protes yang keras terhadap keberadaan polisi yang memandang kekerasan sebagai modal yang primer dalam menjalankan tugas. Padahal, kekerasan diperlukan sebagai ultimum remidium (senjata pamungkas/senjata terakhir), dan bukan berposisi sebagai sarana utama (primum remidium). Artinya, jika upaya-upaya lain dipandang sudah tidak memungkinkan lagi digunakan, maka kekerasan dalam hal ini adalah sebagai sarana terakhir yang harus digunakan.

[1] Penulis adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru
[2] Lihat Harian Umum Republika, 29 Agustus 1995 !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj