Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 23 Februari 2009

“POLISI TIDUR”: MENGORBANKAN KEPENTINGAN PEMAKAI JALAN




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Dalam beritanya, sebuah harian menurunkan tulisan berjudul “polisi tidur” Ganggu Lalu Lintas. Keberadaan “polisi tidur” ini dikeluhkan warga. Di ruas jalan ini banyak dipasang “polisi tidur” dan bahkan ada yang berjarak hanya sekitar 10 meter, sehingga menghambat laju kendaraan karena harus mengurangi kecepatannya pada tiap-tiap “portal” yang ditemui.
Sebelum beranjak lebih jauh, perlu lebih dahulu dipahami pengertian dari “polisi tidur” itu sendiri, sehingga tidak terjadi kerancuan makna. “Polisi tidur” dapat diartikan sebagai suatu rintangan yang terdapat pada permukaan suatu ruas jalan. Rintangan itu dapat berupa onggokan tanah atau semen atau kayu yang diletakkan di atas permukaan jalan setinggi 5 sampai 10 cm. Ini dimaksudkan untuk menghambat laju kendaraan baik roda empat maupun roda dua.
Rintangan, lazim ditempatkan pada daerah atau kawasan pemukiman padat penduduk dan di sana terdapat banyak anak-anak bermain.
“polisi tidur” menurut hemat penulis dapat pula berfungsi untuk mengingatkan atau menyadarkan pengemudi dari keterlenaannya ketika sedang mengemudi kendaraan dalam kecepatan tinggi, seperti yang ditempatkan pada ruas jalan tol, atau ruas jalan negara yang dilalui oleh bus-bus antar kota antar provinsi.
Di ruas jalan tol atau jalan Negara ini, jika kita lihat terdapat onggokan semen atau aspal setinggi 5-8 cm, yang dijejerkan antara 15-20 buah dalam jarak sekitar setengah meter, sehingga ketika mobil melewati portal akan terasa getaran. Sehingga portal dapat berfungsi untuk mengingatkan sopir agar tidak terlena dengan kemulusan kondisi ruas jalan.
Dari keberadaan “polisi tidur” seperti diuraikan di atas, persoalannya adalah, siapakah yang berwenang memberi izin untuk memasang “polisi tidur” itu, ataukah memang dibolehkan untuk dipasang tanpa izin, suka-suka warga ?
Mekanisme di atas penting untuk diketahui, karena kalau tindakan pemasangan “polisi tidur” yang sewenang-wenang oleh setiap masyarakat, seperti yang dikeluhkan masyarakat seperti kutipan berita di atas, sehingga dapat menimbulkan benturan, hambatan dan gangguan di dalam proses berlalu lintas. Apalagi jika “polisi tidur” itu dipasang terlalu tinggi dari permukaan jalan, maka hal ini akan dapat menghambat kelancaran lalu lintas.
Maka oleh sebab itu, terhadap keberadaan “polisi tidur” ini perlu mendapat perhatian dari pihak yang berwenang, terutama dari pihak Dinas Pekerjaan Umum ¾ sekarang Dinas Kimpraswil¾ dan Camat untuk melakukan penataan ulang.
Walaupun masalah ini kelihatan sepele, akan tetapi menurut hemat penulis, jika telah banyak warga yang mengeluh terhadap kehadiran “polisi tidur” maka tidak mustahil dari akumulasi kegeraman warga dapat memicu terjadinya kerusuhan antara warga pengguna jalan dengan pihak pemasang “polisi tidur” tersebut.
Dalam hal tertentu, pemasangan “polisi tidur” justru bertujuan untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Biasanya di depan warung/kedai bertujuan untuk menarik perhatian orang-orang yang berlalu lalang di depan warungnya. Sebab, dengan adanya “polisi tidur” maka mau tidak mau si pengguna jalan harus mengemudikan kendaraannya itu secara perlahan-lahan. Maka dengan pemasangan “polisi tidur” seperti ini adalah sebagai suatu hal yang tidak etis. Mengorbankan kepentingan umum demi kepentingan pribadi.
Hal lain yang perlu dicermati adalah, “polisi tidur” yang terbuat dari bahan kayu. Hal ini dapat dirasakan warga masyarakat, sebab seringkali ditemui pada kayu tersebut terpasang paku yang dapat mengakibatkan gembosnya ban kendaraan.
Jika pemasangan “polisi tidur” itu didasarkan atas banyaknya kendaraan yang lewat dengan kecepatan tinggi, maka alasan ini sesungguunya tidak adil karena tidak ikut dipertimbangkan terhadap pengendara yang selalu berjalan pelan-pelan. Maka pemasangan “polisi tidur” itu sesungguhnya telah mengorbabkan kepentingan pengendara.
Penulis berasumsi, bahwa sebagian besar dari “polisi tidur” yang ada, di pasang secara ilegal. Maka oleh sebab itu, penulis berpendapat pihak yang memasangnya telah melakukan tindakan main hakim sendiri (daad van eigenrichting) karena jalan bukan milik pribadi, tapi adalah milik umum, sehingga penguasaan maupun pengaturannyapun juga harus dilakukan oleh instansi pemerintah. Pribadi dalam hal ini tidak berwenang untuk mengatur dan menguasai suatu ruas jalan dengan seenaknya.
Disebutkan di dalam hukum pidana bahwa orang yang memasang “polisi tidur” yang tidak mendapat izin dari instansi yang berwenang, maka sesungguhnya ia telah melakukan suatu perbuatan kejahatan, sama seperti kejahatan pencurian dimana orang mengambil barang orang lain tanpa mendapat izin dari pemiliknya, maka orang itu disebut telah melakukan tindak pidana pencurian.
Dalam Pasal 192 KUHP disebutkan “Barang siapa sengaja menghancurkan, membuat tidak terpakai atau merusak suatu bangunan untuk lalu lintas umum, memalang (versperren) suatu jalan umum darat dan air, atau menggagalkan tindakan pengamanan terhadap bangunan atau jalan sedemikian itu dapat diancam, dengan pidana penjara maksimum sembilan tahun. Jika karenanya dikhawatirkan terjadi bahaya bagi keamanan lalu lintas, pidana penjara maksimum lima belas tahun. Apabila terjadi bahaya keamanan lalu lintas dan tindakan itu mengakibatkan matinya orang”.
Di samping aturan pasal di atas, maka sesungguhnya pihak pemasang portal dapat pula dikenakan Pasal 494 KUHP ke-6 yang berbunyi, “Diancam dengan pidana denda, barang siapa tanpa izin penguasa yang berwenang, memalang (verperren) atau jalan umum darat atau jalan umum air atau merintangi di situ. Ataupun pemalangan atau perintangan seperti itu dilakukan dengan pemakaian angkutan darat atau angkutan air yang tidak semestinya”.
Dari redaksi pasal di atas jelas, “polisi tidur” dalam hal ini adalah termasuk dalam pengertian dan unsur memalang (verperren) sehingga jika pihak pengguna jalan yang merasa kurang senang dengan keberadaan/kehadiran “polisi tidur” bisa saja melaporkan kepada polisi dengan tuduhan bahwa pemasangan “polisi tidur” tersebut telah melanggar ketentuan pasal-pasal seperti dikemukakan di atas.
Oleh karena tindakan pemasangan “polisi tidur” ini merupakan suatu kejahatan dan kategori kejahatannya bukan termasuk dalam kategori delik aduan, maka Polisi sesungguhnya dapat melakukan tindakan Kepolisian terhadap orang yang telah memasang “polisi tidur” tersebut, tanpa harus menunggu laporan/pengaduan dari warga masyarakat.
Karena Polisi dalam hal ini merupakan penyidik tunggal terhadap semua kejahatan yang diatur dalam KUHP termasuk di dalamnya kejahatan pemasangan “polisi tidur”, maka tidak ada alasan bagi Polisi untuk tidak bertindak karena dari kenyataan yang terjadi di lapangan banyak sekali “polisi tidur” yang dipasang di ruas jalan tanpa mendapat izin dari instansi yang berwenang, dan ¾seperti diuraikan di atas¾ pemasangan “polisi tidur” tanpa izin adalah merupakan suatu kejahatan.
Jika Polisi tidak melakukan tindakan terhadap keberadaan “polisi tidur” yang sering ditemui di ruas jalan, maka berarti Polisi tidak melakukan tugasnya dalam upaya memberantas kejahatan.


[1] Penulis adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj