Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 23 Februari 2009

DEMONSTRASI KE DPRD ?




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Bolehkah sekelompok orang melakukan aksi demonstrasi untuk menyampaikan aspirasi di bumi Indonesia ini ? Paling tidak ada dua dasar pikiran untuk menjawab dan sekaligus sebagai alasan pembenar bagi sebuah “pergelaran” demonstrasi. Pertama bertolak dari ketentuan Pasal 28 UUD 1945, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.[2]
Kedua yang merupakan konsekuensi dari yang pertama,
bahwa peluang untuk berdemonstrasi dimungkinkan oleh adanya alam demokrasi. Keterbukaan dalam hal ini merupakan salah satu sarana dari demokrasi yang sekarang tengah menjadi isu sentral dari setiap diskursus.
Secara teoretis, unjuk rasa atau demonstrasi merupakan salah satu bentuk partisipasi politik nonkonvensional, di samping partisipasi konvensional seperti memilih para wakil rakyat dalam suatu pemilihan umum ataupun memilih presiden secara langsung seperti di Amerika Serikat dan juga Indonesia yang telah memulai pada pemilu tahun 2004 yang lalu.
Aksi demonstrasi sebenarnya merupakan produk akhir atau sebagai senjata pamungkas setelah upaya-upaya lain menemui jalan buntu. Maka pada titik ini terlihat, bahwa aksi demonstrasi ini bukan bertujuan untuk destruksi, tapi adalah untuk interupsi. Sehingga konsep demonstrasi seperti ini menghendaki “kinerja” yang memerlukan kemampuan intelektual.
Kalau kita sudah sepakat dengan keberadaan demonstrasi serta duduk persoalan tentang boleh tidaknya sekelompok orang menggelar aksi demonstrasi atau unjuk rasa, maka persoalan selanjutnya adalah kemana aksi harus diarahkan ?
Bagi kebanyakan orang yang tinggal di daerah, lembaga DPRD agaknya masih tetap menjadi sasaran yang favorit sebagai tempat untuk menyampaikan/”melampiaskan” “keluhan”. Mengapa harus ke DPRD ?
Ada banyak alasan yang dapat dikedepankan tentang mengapa sasaran penyampaian “keluhan” itu harus diarahkan ke DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Salah satu diantaranya adalah bahwa para anggota DPRD itu merupakan wakil rakyat, termasuk dalam pengertian rakyat adalah para kelompok demonstran itu sendiri. Konsekuensinya adalah, bahwa para anggota DPRD dianggap mengetahui beraneka ragam aspirasi yang hidup dan berkembang di tengah dinamika kehidupan masyarakat yang diwakilinya.
Aksi demonstrasi dalam hal ini hanyalah sebagai pemberitahuan untuk mengingatkan para wakilnya yang duduk di DPRD, tentang adanya masalah di dalam kehidupan masyarakat yang diwakilinya itu.

Sama Dengan Kantor Pos ?

Kalau DPRD sebagai wakil rakyat hanya berfungsi sebagai penyalur aspirasi dan kepentingan masyarakat ke pihak eksekutif, penulis berpandangan adalah terlalu mahal gaji yang harus diterima oleh para anggota DPRD kalau hanya sebatas fungsi tersebut yang diembannya. Dan kenyataannya memang seperti itu. Ketika para demonstran diterima dan dipersilahkan memasuki ruangan oleh anggota DPRD, maka dialog penyampaian aspirasi, keluhanpun dimulai oleh juru bicara kelompok demonstran, seperti yang sering terlihat, kesimpulan akhir yang muncul dari para wakil rakyat adalah “aspirasi dan persoalan yang telah saudara-saudara kemukakan itu, kami tampung, kemudian akan kami sampaikan kepada pihak yang berwenang”.
Fungsi seperti di atas persis sama dengan fungsi dari sebuah kantor pos. Para petugas kantor pos menerima surat dan kemudian menyampaikan/menyalurkan surat tersebut sesuai dengan alamat yang tertera di amplop. Masalah bagaimana nasib dari surat itu, bukanlah tanggung jawab tukang pos.
Sehubungan dengan uraian di atas, maka yang perlu dipersoalkan adalah, bagaimana sesungguhnya makna kongkrit dari konsep DPRD sebagai wakil rakyat itu ? dalam pemahaman penulis, kalau memang lembaga DPRD berkedudukan sebagai wakil rakyat, tentu segala kepentingan dan aspirasi yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat sedikit banyak diketahui oleh para wakil rakyat. Sehingga, dalam tataran idealis, sebenarnya semakin sering terjadi aksi demonstrasi, maka dapat dikatakan bahwa anggota DPRD sebenarnya sudah tidak berfungsi lagi sebagai wakil rakyat.
Kalau memang DPRD sebagai lembaga yang mewakili kepentingan rakyat, tentu saja tidak perlu ada aksi demonstrasi. Konsekuensinya adalah, bahwa semakin sering terjadinya aksi demonstrasi, maka seharusnya ada semacam rasa malu yang tumbuh di kalangan anggota DPRD. Logikanya adalah, bahwa rakyat memilih anggota dewan dengan tujuan dapat memperjuangkan kepentingannya. Tapi ternyata wakil rakyat baru mengetahui kepentingan rakyatnya setelah diberitahu melalui aksi demonstrasi. Pemberitahuan inipun seperti diuraikan di atas, ……..selanjutnya “ditampung dan disalurkan”…….. Tentang bagaimana sesungguhnya bentuk dan upaya perjuangan untuk merealisasikan aspirasi dari rakyat itu ? Wallahu’alam.
Yang jelas, hingga kini belum pernah terbetik khabar dan berita ada anggota DPRD mengundurkan diri hanya gara-gara pihak eksekutif tidak menggubris aspirasi rakyat yang diperjuangkannya. Tak berlebihan pula jika disebutkan tak satupun sejarah mencatatnya.
Akibatnya adalah, para demonstran seringkali menunggu hasil perjuangan DPRD dalam penantian yang semu dan jangka waktu yang tidak pasti. Tak salahlah bila pada aksinya, demonstran sering mengultimatum (memberi batas waktu) ke dewan. Penantian yang tidak pasti ini juga yang memicu para demonstran kembali menggelar aksi berikutnya.


[1] Penulis adalah Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru
[2] Ketentuan Pasal 28 UUD 1945, setelah amandemen menjadi Pasal 28-E UUD 1945 berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj