Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Senin, 23 Februari 2009

KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN KORBAN




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Pertama-tama diucapkan terima kasih kepada penyelenggara acara ”Pelatihan Advokasi dan Bantuan Hukum Se-Provinsi Riau”, dengan tema: ”Memperkuat Basis Profesionalitas Kader, Ikhtiar HMI Dalam Penegakan Hukum Di Riau”, yang telah memberikan kepercayaan kepada kami untuk ikut tampil berpartisipasi secara aktif sebagai pembicara pada acara ini. Materi yang dibebankan oleh panitia kepada kami adalah berkenaan dengan ”Perlindungan Saksi dan Pelapor”.
Dari materi yang dibebankan kepada kami tersebut, perlu dijelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban, terlihat bahwa pengaturan saksi dan korban adalah merupakan satu paket yang tidak terpisahkan. Maka oleh sebab itu, dari materi awal yang disampaikan oleh panitia, kami memandang perlu ditambahkan unsur ”korban”, sehingga dapat terakomodasi kedua hal tersebut, yaitu saksi dan korban. Sedangkan pelapor merupakan hal lain dari saksi, yang justru saat ini sedang dalam perdebatan karena ternyata Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tidak mengakomodir konsep pelapor, yang juga bagian yang tidak terpisahkan dari diskursus ini nantinya.
Sekilas Tentang Korban
Dengan adanya berbagai permasalahan mengenai jenis korban dalam kehidupan masyarakat, maka ini pulalah yang melatarbelakangi lahirnya cabang ilmu baru yang disebut dengan “viktimologi.”[3] Walaupun disadari, bahwa korban-korban kejahatan itu, disatu pihak dapat terjadi karena perbuatan/tindakan seseorang (orang lain), seperti korban pencurian, pembunuhan dan sebagainya (yang lazimnya disebut sebagai korban kejahatan), dan dilain pihak, korban dapat pula terjadi oleh karena peristiwa alam yang berada di luar “jangkauan” manusia (yang lazimnya disebut sebagai korban bencana alam), yaitu seperti korban letusan gunung berapi, korban banjir, korban gempa bumi dan lain-lain. Walaupun kategori korban di atas sungguh-sungguh terjadi berdasarkan realita, akan tetapi menurut Andi Mattalatta,[4] pengertian korban yang mendasari lahirnya kajian viktimologi, pada awalnya hanya terbatas pada korban kejahatan. Maka atas dasar ini pulalah, tanpa mengecilkan arti dari upaya pengkajian jenis korban selain dari korban kejahatan yang ada dalam masyarakat tersebut, pengkajian masalah korban dalam tulisan ini hanya difokuskan pada jenis korban yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran terhadap ketentuan hukum pidana materil, yang lazimnya, seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai korban kejahatan. Korban dalam konteks ini merupakan korban dalam pengertian yang konvensional dan sekaligus sebagai cikal bakal yang menjadi objek kajian pada awal lahirnya viktimologi (klasik).
Pada waktu hukum pidana masih merupakan hukum perdata, setiap orang yang menderita kerugian atau menjadi korban sebagai akibat dari tindakan orang lain, mempunyai hak untuk melakukan atau menuntut balas atas kerugian/penderitaan yang dialaminya.[5]
Pembalasan itu pada umumnya tidak hanya merupakan hak dari seseorang yang dirugikan atau yang terkena tindakan, melainkan meluas menjadi kewajiban dari seluruh keluarga, famili, dan bahkan dalam beberapa hal menjadi kewajiban dari anggota masyarakat.[6]
Perkembangan lebih lanjut, diantara warga masyarakat timbul suatu kebutuhan atau hasrat untuk mengambil tindakan terhadap mereka yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan perseorangan itu, yaitu dengan suatu kesadaran, bahwa perbuatan-perbuatan yang merugikan kepentingan perseorangan itu sesungguhnya juga merupakan pelanggaran terhadap kepentingan masyarakat. Sehingga untuk mengakhiri terjadinya balas dendam yang timbal balik atau berlakunya asas ius talionis (hukum balas membalas), diputuskanlah oleh warga masyarakat bahwa seseorang yang telah menimbulkan kerugian pada kepentingan orang lain itu, harus membayar ganti kerugian kepada orang yang dirugikan sekaligus juga kepada masyarakat.[7] Hal ini, menurut L.H.C. Hulsman,[8] telah berlangsung dari abad pertengahan sampai abad ketiga belas, dimana sebagian besar konflik-konflik antarmanusia diselesaikan dalam rangka ganti rugi.
Sementara itu tingkat pemikiran masyarakat semakin maju, sehingga masalah ganti rugi inipun mengalami perubahan. Ganti rugi tersebut dihapuskan dan diganti dengan hukuman publik, karena pada fase ini hukuman tidak lagi dijatuhkan (ditentukan) oleh perorangan yang menjadi korban, tetapi adalah oleh masyarakat (negara).[9] Demikian juga menurut S.R. Sianturi, “pada mulanya jumlah ganti rugi (denda) ini lebih banyak tergantung pada keinginan dari pihak yang dirugikan, kemudian dikendalikan dan ditentukan oleh penguasa.”[10]
Bertolak dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa pada mulanya, reaksi terhadap suatu pelanggaran yang menimbulkan kerugian dan penderitaan pada pihak lain, sepenuhnya merupakan hak dari pihak yang dirugikan (korban) untuk menuntut balas. Efek samping dari tuntutan balasan ini, telah menimbulkan suatu keadaan, tindakan balasan yang dilakukan oleh pihak korban, seringkali tidak setimpal dibandingkan dengan tindakan yang telah dilakukan oleh pelaku, hal ini terjadi sebagai akibat dari emosi yang berlebihan dari pihak korban. Dalam perkembangannya kemudian, akibat dari dendam yang sering tidak berkesudahan (talionis) ini, telah pula menimbulkan suatu keadaan, kerugian/penderitaan yang dialami oleh seseorang itu lambat laun dapat diganti dengan membayar sejumlah harta kepada korban. Kemudian oleh karena pelanggaran yang terjadi itu tidak hanya merupakan hubungan (urusan) antara pelaku dan korban, melainkan pelaku pelanggaran dianggap juga telah mengganggu “keseimbangan” ketertiban dalam masyarakat, sehingga yang terjadi adalah juga gangguan dalam “keseimbangan” antara pelaku dan masyarakat.
Sehubungan dengan uraian di atas, dalam praktek penerapan hukum pidana, ternyata pada akhirnya gangguan terhadap keseimbangan ketertiban dalam masyarakat inilah yang lebih diperhatikan, sehingga masyarakat (negara) merasa sebagai satu-satunya yang berhak untuk menuntut “balas” atau ganti rugi dari pelaku. Korban sendiri dalam hal ini kehilangan haknya untuk melakukan tindakan.[11] Hal yang sama juga dinyatakan oleh Arif Gosita,[12] secara berangsur-angsur negara mengambil alih tanggung jawab pelaksanaan hukum dari pihak korban. Ini berakibat pada sentralisasi dalam sistem hukum pidana. Negara bertindak sebagai “wakil perdamaian” dalam masyarakat dan pihak korban. Situasi kongkrit “sebagai yang dirugikan” dan keadaan “perdamaian” yang memberikan perlindungan terhadap kerugian ini, kemudian diabstrahir menjadi “tertib hukum.” Pengertian ini kemudian dijadikan yang utama. Suatu tindak pidana tidak lagi dilihat, terutama sebagai kerugian terhadap manusia yang terdiri atas jiwa dan raga, tetapi adalah sebagai “pelanggaran terhadap suatu tertib hukum.” Dengan kata lain, bahwa suatu tindak pidana bukanlah suatu perbuatan yang merugikan orang yang mempunyai darah, daging dan perasaan, akan tetapi adalah sebagai sesuatu yang melawan hukum, yaitu bertentangan dengan sesuatu yang abstrak yang dinamakan ketertiban hukum.[13]
Sehingga dengan demikian, sekarang ini, reaksi terhadap pelaku delik merupakan hak penuh dari negara untuk “penyelesaian” lebih lanjut melalui aparat penegak hukumnya.[14] Sementara itu, korban dari kejahatan tersebut, “dapat” hadir dalam proses peradilan pidana dengan 2 (dua) kualitas yang berbeda. Pertama, korban hadir sebagai saksi. Fungsi korban disini adalah memberi kesaksian dalam rangka pengungkapan kejahatan yang sedang dalam proses pemeriksaan, baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun pada tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua, korban hadir sebagai pihak yang dirugikan. Fungsi korban dalam hal ini adalah mengajukan tuntutan ganti kerugian terhadap pelaku kejahatan yang telah mengakibatkan atau menimbulkan kerugian/penderitaan pada dirinya.[15]
Dalam kaitannya dengan masalah tuntutan ganti kerugian yang diajukan oleh korban, maka persoalan yang muncul kemudian adalah apabila kepentingan yang diprioritaskan oleh pihak penyidik dan atau penuntut umum dalam menangani kasus pidana tersebut tidak sesuai atau tidak seiring dengan kepentingan korban untuk memperoleh penggantian kerugian dari terdakwa/pelaku (atau dari negara). Apalagi bila ditelaah lebih jauh, penyidik dan penuntut umum dalam menangani suatu perkara pidana tidak hanya mempertimbangkan kepentingan korban. Kepentingan korban hanyalah satu dari sekian banyak kepentingan yang mungkin dipertimbangkan.[16]
Pemihakan pada “kepentingan lain” untuk ikut pula dipertimbangkan oleh penuntut umum maupun aparat Kepolisian memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu dengan diadakannya lembaga diskresi[17] (untuk aparat Kepolisian) dan lembaga opportunitas[18] (untuk penuntut umum).[19]
Berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia ditetapkan, bahwa “Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.” Dari ketentuan ini jelas, bahwa selain melakukan tugas di bidang peradilan, Kejaksaan merupakan pula lembaga politik negara.[20] Hal ini membawa konsekuensi pada penambahan muatan bagi aparat Kejaksaan untuk ikut pula mempertimbangkan unsur politik dalam proses penuntutan, di samping mempertimbangkan kepentingan korban seperti diuraikan di atas. Sehingga, jika mengacu pada pola pemikiran seperti ini, maka kepentingan korban kejahatan seringkali terabaikan dan bahkan terjadi penelantaran perhatian, karena dengan konstruksi seperti diuraikan di atas menunjukan, bahwa kesempatan yang diberikan kepada korban untuk memperoleh ganti kerugian amat bergantung pada kepentingan yang diprioritaskan dan kemampuan dari pihak penyidik dan penuntut umum dalam melaksanakan tugas mereka masing-masing.
Selain itu, hukum pidana yang sekarang berlaku, mengasumsikan pula bahwa pihak korban telah memperoleh kepuasan keadilan dengan dipidananya pelaku kejahatan, karena pelaku kejahatan dalam hal ini telah merasakan juga penderitaan sebagaimana yang dialami/diderita oleh korban. Asumsi ini barangkali hanya berada dalam lingkup kepuasan moril, akan tetapi jika dihubungkan dengan keadaan korban yang menderita luka fisik, terutama bagi korban yang tidak mampu secara finansial, maka dengan pemenuhan aspek kepuasan moril saja belum dapat dikatakan sebagai adanya suatu keseimbangan perlakuan antara pelaku dan korban.[21]
L.H.C. Hulsman dalam kaitan ini juga menyorot masalah korban, “adalah sangat serius, dipandang secara prinsip, untuk beranggapan bahwa pelanggar harus dipidana supaya korban dapat menemukan ketenangan kembali.”[22] Apalagi jika dikaji tujuan pemidanaan[23] saat ini yang tidak lagi berorientasi pada penjeraan/ pembalasan, melainkan lebih berorientasi pada perbaikan atau pembinaan si pelaku, yaitu dengan berbagai sebutan antara lain seperti: rehabilitasi, reformasi, treatment of offenders, reedukasi, readaptasi sosial, resosialisasi, pemasyarakatan dan lain-lain.[24]
Dengan demikian, kedudukan korban yang terabaikan ini, jelas merupakan suatu ketidakadilan. Kalaupun korban difungsikan dalam proses peradilan pidana, tidak lebih hanya sebagai pendukung penguasa (Jaksa Penuntut Umum) dalam rangka “penegakan ketertiban,” sementara itu “nasibnya” sendiri sebagai pihak yang dirugikan oleh suatu perbuatan pidana, terisolasi atau paling tidak, kurang mendapat perhatian, teracuhkan. Korban dalam hal ini menurut Arif Gosita,[25] “hanya difungsikan/dimanfaatkan sebagai sarana pembuktian saja..”[26]
Di samping itu, dengan semakin meningkatnya perhatian terhadap pembinaan narapidana, yaitu melalui berbagai bentuk perumusan kebijakan, seringkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang tidak berkaitan dengan pemenuhan kepentingan korban secara langsung, sehingga dengan demikian, tidak mengherankan apabila perhatian terhadap korban semakin jauh dari peradilan pidana.[27]
Senada dengan uraian di atas, Mulyana W. Kusumah[28] menulis, “Masalah kejahatan senantiasa berkisar pada pertanyaan apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan tak seorangpun yang mempertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat adalah satu-satunya sumber kesulitan-kesulitan bagi korban.”
Dengan perkembangan pemikiran tentang tujuan pemidanaan, yang antara lain didasarkan kepada perlunya pembinaan si pelaku (terpidana) agar dapat kembali dalam kehidupan masyarakat, menurut Stephen Schafer,[29] “telah dibarengi dengan kenyataan sangat berkurangnya perhatian kepada korban. Dan, kalaupun ada perhatian terhadap korban kejahatan, hal itu dianggap tidak boleh menghalangi pembinaan terpidana.”
Korban sebagai pihak yang dirugikan dalam hal terjadinya suatu kejahatan, seyogyanya juga harus mendapat perhatian dan pelayanan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap kepentingannya.[30] Pelayanan dalam hal ini bukan diartikan sebagai suatu kesamaan perlakuan, melainkan adalah digantungkan pada situasi dan kondisi dengan mempertimbangkan berbagai faktor, terutama yang menyangkut faktor keterlibatan korban itu sendiri (shared responsibility) dalam hal terjadinya delik. Maka oleh sebab itu, adalah penting dalam rangka kajian kriminologi, penologi dan viktimologi untuk memberikan perhatian dan perlakuan kepada pembuat kejahatan dan korbannya secara seimbang, baik mengenai hak maupun kewajiban agar dapat mencerminkan rasa tanggung jawab atas peran sertanya masing-masing dalam hal terjadinya kejahatan. Hak dan kewajiban pembuat kejahatan dan korbannya memang berbeda, dan bahkan dalam beberapa hal bertentangan.[31] Dalam kaitan ini, Andi Mattalatta[32] berpendapat, “Hakekat dari suatu kejahatan seharusnya juga dilihat sebagai sesuatu yang menimbulkan kerugian pada korban, maka dengan demikian, pidana yang dijatuhkan kepada pelaku harus pula memperhatikan kepentingan korban.” Karena terjadinya suatu kejahatan, menurut Stphen Schafer,[33] dalam teorinya yang terkenal dengan Criminal-Victim Relationship, adalah karena antarhubungan korban dengan pembuat kejahatan, sehingga di dalamnya terdapat functional responsibility.
Berdasarkan teori Criminal-Victim Relationship ini, maka keterlibatan korban akan berpengaruh pada tingkat kesalahan pelaku kejahatan. Lebih lanjut, tingkat kesalahan ini akan berpengaruh pula pada aspek pertanggungjawaban pidana. Maka sebaliknya, seharusnya keterlibatan korban itu sendiri juga mempengaruhi aspek pelayanan dalam mewujudkan perlindungan terhadap kepentingannya,[34] baik dalam wujud kompensasi maupun restitusi, sehingga fungsi dan peranan korban dalam hal ini tidak semata-semata berorientasi pada kepentingan peradilan pidana atau dalam rangka penegakan ketertiban seperti diuraiakan di atas, melainkan seyogyanya juga berorientasi pada perlindungan terhadap kepentingannya secara kongkrit.
Bertolak dari uraian di atas, menurut Iswanto,[35] “maka masalah utama atau obyek hukum pidana seyogyanya meliputi, di samping masalah tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pidana, juga masalah korban.”[36]
Mengingat kebijakan kriminal yang ditempuh saat ini lebih berorientasi pada pelaku, terbukti tidak berhasil memberantas kejahatan, sehubungan dengan itu tentu saja akibat negatif terhadap korban, baik korban dalam pengertian individu maupun kolektif juga tidak dapat dihindari, sehingga dengan demikian kebijakan kriminal perlu diubah, yaitu di samping berorientasi pada pelaku kejahatan juga terhadap korban secara seimbang.
Dalam kaitan ini, Made Darma Weda berpendapat, negara melalui aparatnya berkewajiban untuk menyelenggarakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Oleh karena itulah kejahatan yang terjadi adalah tanggung jawab negara. Hal ini berarti timbulnya korban merupakan tanggung jawab negara pula.[37] Sehingga, di samping melakukan pengusutan (tindakan) terhadap pelaku kejahatan, negara juga harus memperhatikan kepentingan-kepentingan korban, dalam arti hak-hak korban juga harus diberdayakan dalam sistem peradilan pidana.
Di samping apa yang diuraikan di atas, Andi Mattalatta[38] menambahkan, “Keterlibatan negara dan masyarakat umum dalam menanggulangi beban penderitaan korban bukan karena hanya negaralah yang memiliki fasilitas-fasilitas pelayanan umum, tetapi juga disertai dengan dasar pemikiran, bahwa negara berkewajiban untuk memelihara dan meningkatkan kesejahteraan para warganya. Terjadinya korban kejahatan dapat dianggap gagalnya negara dalam memberikan perlindungan yang baik kepada warganya.”
Dalam kaitannya dengan keterlibatan negara untuk melindungi secara konkret dan individual terhadap korban, Mardjono Reksodiputro menulis ada dua arus bawah yang perlu diketahui yang mungkin telah membawa viktimologi (sebagai ilmu yang mempelajari tentang korban) mencuat ke atas dan menarik perhatian para ilmuwan. Pertama, adalah berdasarkan pada kerangka pemikiran, bahwa negara turut bersalah dalam hal terjadinya penimbulan korban, dan karena itu sewajarnyalah negara memberikan kompensasi (compensation) kepada si korban, di samping kemungkinan adanya restitusi (restitution) yang diberikan oleh si pelaku kepada korban. Kedua adalah aliran pemikiran baru dalam kriminologi yang meninggalkan pendekatan positivistis (yang mencari sebab musabab kejahatan, etiologi kriminal) dan lebih memperhatikan proses-proses yang terjadi dalam sistem peradilan pidana dan struktur masyarakatnya (pendekatan kriminologi kritis, critical criminology). Kedua pemikiran di atas telah membuka dimensi-dimensi baru dalam melihat gejala kejahatan ini, cara-cara penanggulangannya dan peranan negara serta masyarakat dalam terjadinya peristiwa kejahatan itu.

Hak-Hak Saksi dan Korban
Selama ini, saksi hanya dibebani kewajiban dan tidak mempunyai hak. Hal ini seperti dapat disimpulkan dari redaksi Pasal 224 KUHP:
“Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, dalam perkara pidana, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan…”
Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Saksi dan Korban dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 64, walaupun belum maksimal, namun perhatian terhadap saksi dan korban telah mulai mendapat pengaturan, yaitu sebagaimana tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, yang selengkap berbunyi:
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksiannya yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungandan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapat identitas baru;
j. Mendapat tempat kediaman baru;
k. Memperoleh penggantian biayatransportasi sesuai dengan kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum; dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 membedakan dua jenis hak korban. Korban kejahatan ”konvensional” ternyata tidak berhak atas bantuan medis dan bantuan rehabilitas psiko-sosial.[39] Hak ini hanya diberikan kepada korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Di samping itu, korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat, melalui LPSK, berhak mengajukan kompensasi dan restitusi. Sedangkan korban kejahatan “konvensional” hanya berhak mengajukan restituís saja.

Bibliografi
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Kumpulan Karangan. Jakarta: Akademika Perssindo, 1983. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
______, Relevansi Viktimologi dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan). Jakarta: Ind-Hill-Co, 1987. Cetakan Pertama.
______, Viktimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban. Jakarta: Akademika Perssindo, 1995. Cetakan Ketiga.
Badan Kontak Profesi Hukum lampung (ed.), Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan. Bandung: Alumni, 1977. Cetakan Pertama.
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia). Pidato Pengukuhan Diucapkan Pada Peresmian Penerimaan Jabatan Guru Besar Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 25 Juni 1994.
______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996a. Cetakan Pertama.
______, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996b. Cetakan Kedua (Edisi Kedua).
______, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1998. Cetakan Pertama.
I.S. Susanto, Kriminologi. Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1995a. Tanpa Cetakan.
Iswanto, “Restitusi Kepada Korban Mati Atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lalu Lintas,” Disertasi Dalam Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995.
Iswanto, Yazid Effendi dan Angkasa, Viktimologi. Purwokerto: Penerbit Universitas Jenderal Soedirman, 1998. Cetakan Pertama.
J. E. Sahetapy (ed.), Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987. Cetakan Pertama.
______, (ed.), “Karya Ilmiah Para Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi.” Bandung: PT Eresco, 1995. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
L.H.C. Hulsman, Afscheid Van Het Strafrecht een Pleidooi Voor Zelfregulering, atau Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa. Regulasi, Terjemahan Wonosutanto, Surakarta: Forum Studi Hukum Pidana, 1988. Cetakan Pertama. Jilid Kedua.
Made Darma Weda, Kriminologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996. Cetakan Pertama.
Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994a. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
______, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994b. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
______, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1994c. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
______, Pembaharuan Hukum Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 1995. Cetakan Pertama (Edisi Pertama).
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni, 1985. Tanpa Cetakan.
______, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Cetakan Pertama.
______, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1997. Cetakan Pertama.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni, 1992a. Cetakan Kedua (Edisi Revisi).
Roeslan Saleh, Hukum Pidana Sebagai Konfrontasi Manusia dan Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983a. Cetakan Pertama.
______, Beberapa Asas Hukum Pidana Dalam Perspektif. Jakarta: Aksara Baru, 1983b. Cetakan Pertama.
______, Segi Lain Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984. Cetakan Pertama.
______, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Dengan Penjelasannya. Jakarta: Aksara Baru, 1987a. Cetakan Ketiga.
______, Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara baru, 1987b. Cetakan Kelima.
______, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 1988. Cetakan Pertama.
Romli Atmasasmita, „Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,” Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992a.
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 2002. Cetakan Ketiga.
Satochid Kartanegara. Telah Dikupas Kedalam bahasa Indonesia Dari Bahasa Belanda, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara dan Pendapat2 Para Ahli Hukum Terkemuka. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa ahun terbit. Bagian Satu dan Dua).
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986a. Cetakan keempat.
______, Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1986b. Cetakan Kedua.


[1] Makalah ini disampaikan pada acara “Pelatihan Advokasi dan Bantuan Hukum Se-Provinsi Riau”, dengan tema: “Memperkuat Basis Profesionalitas Kader, Ikhtiar HMI Dalam Penegakan Hukum Di Riau”, pada tanggal 15 – 19 Januari 2007, penyelenggara HMI Cabang Pekanbaru.
[2] Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau, Pekanbaru.
[3] Viktimologi atau victimology (istilah dalam bahasa Inggris) berasal dari istilah Latin, yaitu victima yang berarti korban, sedangkan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Maka secara singkat, viktimologi adalah ilmu yang mempelajari korban dari berbagai aspek (I.S. Susanto, Kriminologi [Semarang, 1995a], halaman 89). Lihat juga Made Darma Weda, “Beberapa Catatan Tentang Korban Kejahatan Korporasi,” Karya Ilmiah Pakar Hukum, Bunga Rampai Viktimisasi, (ed.) J.E. Sahetapy (Bandung 1995), hal. 199 -200 ! Sedangkan menurut Muladi, “secara keseluruhan viktimologi bertujuan untuk: a) menganalisis pelbagai aspek yang berkaitan dengan korban; b) berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musabab terjadinya viktimisasi; c) mengembangkan sistem tindakan guna mengurangi penderitaan manusia (Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana [Semarang, 1995], halaman 65).
[4] Andi Mattalatta, “Santunan Bagi Korban,” Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, (ed.) J.E. Sahetapy (Jakarta, 1987), hal. 43 – 44.
[5] Lihat juga Prasaran Purwoto S. Gandasubrata, “Masalah Ganti Rugi Dalam/Karena Perkara Pidana,” Penegakan Hukum Dalam Mensukseskan Pembangunan, (ed.) Badan Kontak Profesi Hukum lampung (Bandung, 1977), halaman 116 et. Seqq. !
[6] S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya (Jakarta, 1989), halaman 39. Lihat juga Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme (Bandung, 1995), halaman 61 !
[7] Satochid Kartanegara, Telah Dikupas Kedalam Bahasa Indonesia Dari Bahasa Belanda, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Prof. Satochid Kartanegara dan Pendapat2 Para Ahli Hukum Terkemuka (Bagian Kesatu Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun Terbit), halaman 24.
[8] L.H.C. Hulsman, Afscheid van Het Strafrecht een Pleidooi voor Zelfregulering, atau Selamat Tinggal Hukum Pidana Menuju Swa Regulasi, terj. Wonosutanto (Surakarta, 1988), Jilid II, halaman 29. Hal yang sama lebih dipertegas lagi, seperti dapat disimak dalam uraian tulisan Romli Atmasasmita, “Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,”Majalah Hukum Nasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1992a, halaman 24.
[9] Satochid Kartanegara, tanpa tahun terbit (Bagian Kesatu), Op. Cit, halaman 25.
[10] S.R. Sianturi, 1989, Op. Cit, halaman 40. Pada periode ini, segala upaya pengendalian sosial masih berada di tangan individu-individu, hubungan pelaku dan korban masih merupakan perjuangan untuk survive (Romli Atmasasmita, “Masalah Santunan Terhadap Korban Tindak Pidana,” Majalah Hukum Nasional Departemen Kehakiman Jakarta, 1992a) halaman 24).
[11] Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Jakarta, 1994b) halaman 75.
[12] Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Kumpulan Karangan (Jakarta, 1983), halaman 118.
[13] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana (Bandung, 1986a), halaman 184; perhatikan juga pendapat Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung, 1998), halaman 55 – 56 !
[14] Sejarah perkembangan zaman keemasan korban hingga kemunduran perhatian terhadap korban, dalam konsep restitusi, oleh Jacob telah diklasifikasikan dalam beberapa tahap, yaitu:
1. balas dendam pribadi;
2. balas dendam kolektif;
3. proses negosiasi dan komposisi;
4. pengadopsian hal-hal yang berhubungan dengan jumlah kompensasi yang harus diterima korban pada proses kompensasi;
5. tingkat intervensi para penguasa sebagai mediator dan jumlah bayaran yang mereka peroleh dengan menghitung berdasarkan persentase nilai kompensasi;
6. pengambil-alihan proses peradilan dan penghapusan restitusi dari hukum pidana (Iswanto, Yazid Effendi dan Angkasa, Viktimologi [Purwokerto, 1998], halaman 18).
[15] Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, halaman 35
[16] Ibid., halaman 45.
[17] Dalam bahasa sederhana dan sehari-hari, “diskresi” dapat dijelaskan sebagai kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif (Roeslan Saleh, Dari Lembaran Kepustakaan Hukum Pidana [Jakarta, 1988], halaman 155). Tentang lembaga diskresi ini, lihat juga Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, yang menetapkan: “Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.” Dalam penjelasannya dijelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘bertindak menurut penilaiannya sendiri’ adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.” !
[18] Asas ini memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk meniadakan penuntutan hukum terhadap seseorang yang disangka telah mewujudkan suatu perbuatan berdasarkan pertimbangan bahwa lebih menguntungkan kepentingan umum jikalau tidak diadakan penuntutan (Hendi Suhendi, “Penerapan Asas Opportunitas dalam Penegakan Hukum [Suatu Tinjauan Yuridis dan Sosiologis],” Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, (ed.) Andi Hamzah (Jakarta, 1986), halaman 151; lihat juga Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana (Jakarta, 1994c), halaman 98 – 99 !; serta lihat juga Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung, 1996a), halaman 94 !
[19] Tentang kedua lembaga ini, lihat juga Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Di Indonesia (Jakarta, 1993), halaman 94 !
[20] Menurut Hendi Suhendi, “Dilihat dari struktur ketatanegaraan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Jaksa Agung atau Kejaksaan tidak tercantum di dalamnya (penulis: termasuk di dalamnya Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen juga tidak tercantum) … dari ketentuan ini nampak jelas, menempatkan posisi Kejaksaan dalam posisi sebagai tergolong dalam kekuasaan eksekutif” (Hendi Suhendi, 1986, Op. Cit, halaman 148 – 149).
[21] Iswanto, “Restitusi Kepada Korban Mati atau Luka Berat Sebagai Syarat Pidana Bersyarat Pada Tindak Pidana Lau Lintas Jalan” (Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1995), halaman 2.
[22] L.H.C. Hulsman, 1988, Op. Cit, halaman 31.
[23] Penulis dalam hal ini menggunakan istilah “tujuan pemidanaan” dengan mengacu pada pendapat P.A.F Lamintang, bahwa pidana pada hakekatnya merupakan nestapa, oleh karena itu ia merupakan “alat” untuk mencapai “tujuan,” sehingga pidana itu sendiri bukan tujuan, dan memang tidak bisa menjadi tujuan. Maka istilah yang tepat digunakan adalah “tujuan pemidanaan” yang mengandung arti, untuk tujuan apa pidana itu diterapkan, apakah untuk tujuan pembalasan atau untuk prevensi (P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Di Indonesia [Bandung, 1984], halaman 12).
[24] Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara (Semarang, 1996b), halaman 86.
[25] Arif Gosita, Relevansi Viktimologi, Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan (Beberapa Catatan) (Jakarta, 1987), halaman 29.
[26] Padahal menurut Iswanto, Viktimologi sebagai suatu disiplin ilmu pengetahuan yang mandiri (!) mendasarkan pada antarhubungan pembuat dan korban kejahatan menekankan pada pengakuan terhadap peranan dan tanggung jawab korban bukan hanya sebagai saksi korban dalam peradilan pidana, tetapi merupakan bagian utama serta suatu pemecahan fungsional terhadap masalah kejahatan dalam peradilan pidana. selain itu, viktimologi menuntut agar supaya pembuat kejahatan bertanggung jawab terhadap kerugian baik fisik, moril maupun nyawa korban, oleh karena itu dapat dijadikan dasar politik kriminal pada umumnya dan perlakuan terhadap korban serta keluarganya dan pembuat pada khususnya (Iswanto, 1995, Op. Cit, halaman 68)
[27] Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, halaman 39. Dalam kaitan ini kaum Abolisionisme mengkritik keberadaan sistem peradilan pidana dengan mengatakan, “para korban kejahatan tidak pernah memperoleh manfaat dari hasil akhir suatu sistem peradilan pidana.” (Romli Atmasasmita, 1995, Op. Cit, halaman 98)
[28] Mulyana W. Kusumah, Aneka Permasalahan Dalam Ruang Lingkup Kriminologi (Bandung, 1981), halaman 2.
[29] Mardjono Reksodiputro, 1994b, Op. Cit, halaman 76.
[30] Terutama dalam keadaan tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengasuransikan diri mereka pada perusahaan asuransi yang bonafid, seperti halnya dengan di Indonesia, maka menurut Romli Atmasasmita, negara dalam hal ini memiliki kewajiban melindungi warga negaranya yang telah menjadi korban tindak pidana yaitu antara lain dengan memberikan kompensasi kepada korban atau keluarganya (Romli Atmasasmita, 1992a, Op. Cit, halaman 28).
[31] Iswanto, 1995, Op. Cit, halaman 3.
[32] Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, halaman 42.
[33] Mardjono Reksodiputro, 1994c, Op. Cit, halaman 103.
[34] Periksa Ninik Widiyanti dan Yulius Waskita, Kejahatan Dalam Masyarakat dan Pencegahannya (Jakarta, 1987), halaman 135 !
[35] Iswanto, 1995, Op. Cit, halaman 4
[36] Cof. Pendapat Barda Nawawi Arief, 1996a, Op. Cit, halaman 87 !
[37] Made Darma Weda, 1996, Op. Cit, halaman 91.
[38] Andi Mattalatta, 1987, Op. Cit, halaman 37.
[39] Lihat Pasal 6 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006

1 komentar:

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj