Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Selasa, 03 Maret 2009

Budaya Korupsi




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

“Korupsi di Indonesia telah membudaya”. Pernyataan singkat dan lugas ini dikemukakan oleh salah seorang tokoh proklamator Republik Indonesia, almarhum Bung Hatta. Usia pernyataan ini, sejak pertama kali dikemukakan hingga sekarang telah berumur puluhan tahun.
Pernyataan di atas didukung oleh hasil survai beberapa tahun yang lalu yang dilakukan oleh sebuah LSM, PERC (Political and Economic Risk Consultancy Ltd), yang berkedudukan di Hongkong. Dalam laporannya yang berjudul The Asian Intelligence Report, menyebutkan Indonesia sebagai negara terkorup di antara 12 negara di kawasan Asia.
Laporan internasional tentang tingginya tingkat korupsi di Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Lembaga Transparancy Internasional melalui majalah Der Spiegel, edisi Juli 1995, pernah mencantumkan Indonesia sebagai negara terkorup di antara 41 negara di dunia yang mereka survai. Majalah Asiaweek juga pernah melakukan survai dengan hasil serupa.
Dari kalangan domestik ¾bahkan dari lembaga resmi pemerintah¾ juga kerap muncul penilaian serupa. Penilaian ini terutama dikemukakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Dan akhir-akhir ini BPK juga mengumumkan berbagai bentuk “kebocoran” yang terjadi dalam proses penggunaan dana untuk pembangunan.
Data di atas memperlihatkan keprihatinan mengenai tingkat korupsi di Indonesia telah menjadi keprihatinan yang relatif umum. Dalam konteks ini, bahwa hasil survai PERC yang sebetulnya mengidap bias dan kelemahan metodologis, akan lebih produktif dipahami sebagai pemerkuat keprihatinan yang sebetulnya telah kita miliki bersama.

Makna Budaya Korupsi

Persoalan yang menarik untuk diperbincangkan dalam kaitan ini adalah, apa dan bagaimana makna dari kalimat, bahwa “korupsi di Indonesia telah membudaya” itu ? Satu hal yang jelas adalah, bahwa masalah kebudayaan hanya ada dan hanya dimiliki oleh makhluk yang bernama manusia. Dikaitkan dengan istilah korupsi, maka pengertian “budaya” dalam hal ini adalah berkaitan dengan masalah perilaku, kelakuan, sikap dan tindak tanduk. Maka dengan demikian, budaya korupsi berarti bahwa perilaku bangsa Indonesia telah menyatu dengan apa yang disebutkan dengan korup.
Gejala korupsi bukan hanya milik bangsa Indonesia saja. Gejala ini ada di setiap negara dan di tiap zaman. Yang menjadi persoalan adalah, seandainya gejala korupsi ini begitu membengkak hingga dia menguasai tingkah laku, bukan saja birokrasi negara, tetapi juga dunia usaha swasta, dan malahan seluruh anggota masyarakat.
Seandainya dibiarkan hingga mencapai tingkat ini, maka akan amat sulit memberantasnya, karena hampir seluruh anggota masyarakat telah terlibat di dalamnya. Dalam kaitan ini yang perlu dipertanyakan adalah, bisakah rakyat jelata yang tidak punya kedudukan apapun dalam jabatan pemerintahan dapat melakukan perbuatan korupsi ?
Kalau kita merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku, maka semua orang, baik pejabat maupun rakyat, penguasa maupun pengusaha, baik dia itu pegawai negeri sipil maupun TNI, semuanya berpeluang untuk melakukan perbuatan korupsi.
Sinyalemen yang berkembang di tengah-tengah kehidupan masyarakat mengesankan, bahwa seolah-olah yang dapat melakukan perbuatan korupsi itu hanyalah para pejabat pemerintah saja. Sinyalemen ini tidak benar sama sekali. Sebab semua orang, seperti diuraikan di atas, dapat melakukan perbuatan korupsi. Kalau demikian adanya, mungkinkah tukang becak atau pedagang sayur yang berjualan di pasar dapat melakukan perbuatan korupsi ? Bisa dan sangat bisa sekali.
Untuk membuktikan bahwa sebenarnya pedagang sayurpun juga dapat melakukan perbuatan korupsi, penulis akan mengutip ketentuan hukum yang mengatur hal tersebut. Pasal 5 jo Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan aturan tentang larangan sogok menyogok atau suap menyuap. Penyuap dan yang disuap, menurut ketentuan ini, sama-sama dihukum, yaitu minimal 1 tahun penjara dan maksimal 5 tahun.
Suap menyuap berdasarkan ketentuan tersebut di atas, adalah termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999. Dan aturan ini hanyalah sebagian kecil dari apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi. Ruang lingkup perbuatan korupsi yang diatur dalam UU ini sebenarnya cukup luas. Peristiwa robohnya bangunanpun dapat pula dikaitkan dengan terjadinya perbuatan korupsi. Adalah terlalu panjang kalau harus diuraikan cakupan perbuatan korupsi menurut UU ini, namun satu hal yang jelas adalah, bahwa dari sudut materil, ketentuan ini cukup memadai untuk menanggulangi perbuatan korupsi di Indonesia, persoalannya adalah tergantung pada masalah law enforcement-nya.
Dalam tataran realitas kehidupan keseharian masyarakat, ada kecenderungan, bahwa setiap orang tua, sejak awal berupaya mengumpulkan uang sebagai cadangan dana untuk menyogok pejabat manakala anaknya kelak ikut testing penerimaan calon pegawai negeri. Sehingga dalam pergaulan masyarakat sering muncul pertanyaan secara terbuka untuk mencari tahu perbandingan pembayaran, “Berapa bapak bayar untuk testing anak bapak yang kemarin ?” Kalimat pertanyaan seperti ini sepertinya sudah merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah, bukan lagi dipandang sebagai suatu yang salah atau “dosa”.
Pola fikiran seperti ini, bukan hanya milik rakyat pedesaan, tapi sudah merupakan milik semua orang. Agaknya, sikap-sikap fikiran seperti inilah yang oleh Bung Hatta yang dimaksud dengan korupsi sudah membudaya. Salahkah mereka yang menyogok pejabat demi kelulusan anaknya menjadi Pegawai Negeri Sipil ?

“Uang Pelicin”

Sulit untuk mengatakan siapakah diantara mereka yang bersalah, pihak yang menyogok ataukah si penerima sogok. Secara yuridis formal, kedua-duanya jelas salah. Tapi jika dilihat dari sistem sosial budaya, tidak dapat dituding dengan begitu saja secara hitam putih, sebab, persoalannya sudah demikian kompleks dan telah memasuki belantara hutan belantara yang penuh onak dan duri.
Mungkin kebanyakan dari kita, disadari atau tidak, telah mengikuti apa yang pernah dikatakan oleh Pahlawan Nasional, Ronggo Warsito, “Kalau kita tidak ikut edan di dunia ini justru kitalah yang dianggap edan” (?). Ini artinya adalah, bahwa jika kita tidak ikut “permainan” sogok menyogok, justru anak kita tidak akan pernah lulus menjadi pegawai negeri sipil.
Telah lama terdengar selentingan bahwa untuk menjadi pegawai negeri kerap butuh “uang pelicin”. Kini selentingan itu dibenarkan terjadi, setidaknya di lingkungan Depdagri. Adalah Suryatna Subrata yang menyatakan hal tersebut. Praktek ini hampir terjadi di seluruh Indonesia. Selain menggunakan uang pelicin, faktor lain seperti koneksitas, nepotisme, dan fasilitas juga mempengaruhi sistem rekrutmen penerimaan calon pegawai negeri sipil.
Dalam rangka memperjuangkan si buah hati belahan jantung untuk “gol” menjadi Pegawai Negeri Sipil, si orang tua yang tak punya koneksitas, sepertinya jalan yang harus ditempuh adalah menyogok sang pejabat. Persoalannya adalah, bisakah si pejabat itu dihukum ? Secara yuridis formal, si pejabat itu bisa saja dihukum. Namun persoalan lain yang muncul, Apakah semudah membalikkan telapak tangan untuk dapat menghukum pejabat yang menerima suap tersebut ?
Ada satu pendapat yang menarik untuk kita cermati, yang mengatakan, bahwa korupsi di Indonesia sudah menjadi satu sistem yang menyatu dengan penyelenggaraan pemerintahan negara dan bahkan dikatakan bahwa pemerintahan justru akan hancur apabila korupsi diberantas. Dari pendapat ini, sulit kita dapat mengatakan siapa yang bersalah: rakyat, pejabat ataukah sistemnya ?
Kalau sistemnya yang memang korup, maka pemberantasan KKN sebagai salah satu agenda reformasi, hanyalah sebatas slogan sepanjang sistemnya tidak dibenahi. Mahasiswa sebagai motor penggerak lahirnya era reformasi, harus berpuas diri hanya dengan teriakan, berantas KKN. Mengapa ? Karena tidak ada satu ketentuan Hukumpun yang dapat menghukum kesalahan yang dilakukan oleh sebuah sistem. Hukum hanya dapat menghukum manusia yang melakukan pelanggaran hukum. Kalau sistemnya yang keliru, maka semua orang ikut bersalah dan menanggung “dosa”. Tapi sebaliknya, jika sistemnya relatif sempurna, maka orang yang melakukan kesalahan itu, secara pribadi harus menanggung resiko.
Dari pendapat yang mengatakan, bahwa sistem dan struktur pemerintahan yang dibangun dengan latar belakang korupsi akan menjadi struktur yang korup dan akan hancur manakala korupsi tersebut dihilangkan, hal ini mengindikasikan, bahwa sebenarnya budaya dan gejala korupsi yang begitu membengkak terjadi di indonesia, sedikit atau banyak juga ikut diwarnai oleh sistem yang ada tersebut.
Sehingga dengan demikian, terjadinya pembengkakan perbuatan korupsi di Indonesia, disamping faktor sistemnya, ternyata juga didukung oleh struktur budaya masyarakat. Seperti diuraikan di atas, anggota masyarakat sendiri ternyata juga ikut berperan secara aktif menumbuh-suburkan perbuatan suap menyuap sebagai bagian dari perbuatan korupsi. Dengan kata lain, masyarakat sendiri sebenarnya mentolerir terjadinya perbuatan korupsi di Indonesia.
Andaikan sebagian besar penduduk Indonesia berpola fikiran anti korupsi, anti suap, maka perbuatan korupsi, walaupun tidak mungkin dihapuskan sama sekali, paling tidak bisa diminimalisir.
Dengan metode berfikir seperti ini, sulit kita mencari “kambing hitam” sebagai biang penyebab terjadinya pembengkakan perbuatan korupsi di Indonesia. Karena, seperti diuraikan di atas, hampir seluruh komponen telah terkontaminasi dengan perilaku (dan sistem) yang korup, mulai dari lembaga penegak hukum, instansi pemerintah, pengusaha sampai pada tataran rakyat jelata. Sekali lagi, orang, pejabat ataukah sistemnya yang salah ?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj