(Penulis
adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas
Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Merujuk pada ketentuan Pasal 1
butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan, bahwa yang dimaksud
dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Persoalan yang muncul sehubungan
dengan rumusan ketentuan tersebut adalah: apa yang menjadi tolok ukur atau
kriteria untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai atau memiliki
“keahlian khusus” ?
Perlu ditegaskan, bahwa istilah
“keahlian khusus” merupakan sebuah konsep yang sifatnya masih abstrak, sama
halnya dengan istilah miskin, kaya, tinggi, rendah adalah merupakan istilah-istilah
atau konsep yang bersifat abstrak. Ketika sebuah konsep yang bersifat abstrak
itu akan diimplementasikan atau diaplikasikan dalam alam kenyataan, maka mau
tidak mau harus dibuatkan tolok ukur atau baromater yang jelas dan terhindar
dari multi tafsiran.
Misalnya ketika ada BLT
(Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah yang akan diberikan pada orang miskin,
sebelum BLT itu didistribusikan kepada masyarakat penerima, maka terlebih
dahulu harus dibuatkan tolok ukur atau kriteria masyarakat miskin seperti apa yang
akan mendapatkan BLT itu. Jika tidak didudukan kriterianya secara akurat dan
jelas, penulis yakin dalam impelementasinya yang terjadi bukan ketertiban
melainkan adalah kekacauan, malah mungkin yang akan terjadi bentrokan fisik.
Demikian juga halnya dengan konsep ahli yaitu orang yang mempunyai “keahlian
khusus”. Apa tolok ukur untuk dapat dikatakan seseorang itu mempunyai “keahlian
khusus” ?
Penentuan tolok ukur terhadap
konsep “keahlian khusus” adalah penting dalam rangka membantu aparat penegak
hukum sekaligus untuk menghindari terjadinya peradilan yang error, baik kesalahan dalam subjek, objek maupun penerapan
hukumnya dalam proses pemeriksaan dan peradilan pidana.
Satu hal yang jelas adalah,
bahwa menurut hemat penulis istilah “keahlian khusus” yang dikehendaki oleh
Pasal 1 butir 28 KUHAP tersebut, dalam hal ini selalu berkaitan dengan masalah
kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu
dalam rangka membantu proses peradilan pidana. Kemampuan ini bisa berdasarkan
pada lingkup pengalaman dan/atau
pengetahuan. Istilah “pengalaman” biasanya dilekatkan pada dunia empiris, dan
sebaliknya istilah “pengetahuan” lazimnya dilekatkan pada ranah teoretis; namun
tidak menutup kemungkinan seseorang dapat saja dikatakan sebagai mempunyai
“keahlian khusus” karena memang menyandang dua profesi sekaligus, yaitu sebagai
teoritisi sekaligus juga sebagai praktisi. Persoalan lebih lanjutnya adalah,
apa yang menjadi tolok ukur untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai
pengalaman dan/atau pengetahuan tentang sesuatu hal itu sehingga karenanya
dapat dikatakan sebagai mempunyai “keahlian khusus”.
Di
samping apa yang diuraikan di atas, masalah tolok ukur ini penting pula dalam
kaitannya dengan rumusan ketentuan Pasal 224 KUHP yang menetapkan bahwa: “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut
undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang
yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara
paling lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling
lama enam bulan”.
Bertolak dari ketentuan di
atas, dapat dikatakan bahwa memenuhi surat panggilan dari aparat penegak hukum tersebut
merupakan sebuah kewajiban hukum dari seseorang yang dipanggil. Maka sebelum
aparat penegak hukum melakukan pemanggilan terhadap seseorang, tentu secara
yuridis normatif sudah tersedia format seperti apa ahli yang diperlukan dan
yang dibutuhkan, karena konsekuensi dari seseorang yang tidak datang memenuhi
panggilan, merupakan sebuah perbuatan pidana dan dapat dipidana. Maka oleh
sebab itu, perlu ketegasan dan tolok ukur terhadap konsep “ahli”, sehingga
tidak menjadikan seseorang itu sebagai tersangka manakala tidak memenuhi surat
panggilan, sekaligus untuk menghindari kemungkinan terjadinya error in persona.
Hal lain yang juga tidak kalah
penting untuk dikritisi sehubungan dengan ketentuan Pasal 224 KUHP adalah, bahwa
aturan ini hanya membebankan kewajiban tanpa dibarengi dengan pengaturan hak
bagi seseorang yang dipanggil baik sebagai ahli maupun sebagai saksi. Secara
empiris, bagaimanapun juga seseorang yang dipanggil untuk menghadap, maka
seseorang itu pasti akan mengorbankan waktu dan biaya untuk datang memenuhi
panggilan tersebut. Memang di dalam Pasal 229 KUHAP diatur tentang hak bagi
orang yang dipanggil, yang selengkapnya berbunyi: “(1) Saksi atau ahli yang
telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua
tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib
memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam
Ayat (1).”
Aturan di atas sangat wajar dan
masuk akal, karena seseorang yang telah datang memenuhi panggilan bagaimanapun
juga ia telah mengorbankan waktu dan biaya. Yang paling memedihkan adalah nasib
seseorang yang dipanggil sebagai saksi, sepengetahuan penulis, mereka tidak
mendapat penggantian biaya, belum lagi keselamatan jiwanya setelah memberikan
keaksian, juga tidak mendapat perhatian negara negara.
Ahli yang diapnggilpun juga
tidak ada jaminan akan mendapat penggantian biaya dari negara. Karena Pasal 229
KUHAP ini tidak dibarengi dengan peraturan pelaksana, sehingga menjadi Pasal
banci, hanya ada diatur tapi tidak bisa dilaksanakan. Konsekuensinya adalah,
aparat kepolisian seringkali menjadi kebingungan manakala pihak kejaksaan
meminta kepada aparat kepolisian untuk mendatangkan seorang ahli, persoalannya
dari mana sumber dana untuk membayarkan transportasi dan akomodasi bagi si ahli
yang dipanggil itu. Dari sinilah mulai “kericuhan hukum” terjadi dalam
pengertian pihak kepolisian lalu menggunakan strategi “pandai-pandai”.
Di satu pihak “negara”
menginginkan seorang ahli yang mumpuni, berkualitas dan disegani yang diharapkan dapat membantu
aparatur penegak hukum dalam mengungkap suatu kasus, tapi di pihak lain tidak
dibarengi dengan pengaturan honorarium yang pasti. Seolah-olah negara dalam hal
ini menganut prinsip: “dengan modal yang sekecil-kecilnya dan mendapatkan
keuntungan yang sebesar-besarnya”. Bagaimana mungkin mendapatkan seorang ahli
yang berkualitas dan mumpuni tanpa dibarengi dengan bayaran/honorarium yang
memadai ?
Disinilah awal mula kemungkinan
akan terjadinya petaka dalam proses peradilan pidana. Coba bayangkan, bagaimana
jika terdakwa mampu membayar seorang ahli yang bergelar Prof. Dr., untuk hadir memberikan
keterangan ahli di sidang pengadilan, sementara “negara” yang dalam hal ini
diwakili oleh aparat penegak hukum, yaitu Jaksa Penuntut Umum, karena
kekurangan atau “ketidakjelasan” sumber dana, hanya mampu menghadirkan seorang
ahli yang level formalnya bergelar magister, dan bahkan dia mendapatkan gelar
magister yang salah satu gurunya adalah Prof. Dr. itu tadi ? Jadi kesimpulannya
adalah, “negara” dalam hal ini hanya mampu menghadirkan kualitas seorang ahli
sebatas “murid”, sementara terdakwa mampu menghadirkan seorang ahli dengan level
“guru” dari murid tersebut. Sehingga bagaimanapun juga, sedikit banyak, secara
psikologis, majelis hakim tentu punya perbedaan perasaan hormat antara
keterangan yang disampaikan oleh seorang “guru” dengan keterangan yang
disampaikann oleh sang “murid” tadi, walaupun kedua-duanya sama-sama bernilai
sebagai alat bukti keterangan ahli, tapi secara kualitas tentu punya perbedaan
yang signifikan.
Kalau memang negara tidak punya
dana untuk membayar honorarium seorang ahli atau saksi pada umumnya, menurut
hemat penulis, sebaiknya pembebanan kewajiban hukum terhadap seorang ahli atau
terhadap saksi itu, tidak lagi berbunyi “wajib datang menghadap......”
melainkan ketentuan itu dirobah menjadi “setiap orang yang ditetapkan sebagai
saksi atau ahli wajib menunggu kedatangan aparat hukum ............ “ .
Sehingga yang datang menghadap bukan lagi saksi atau ahli, melainkan aparat
penegak hukum yang berkepentingan itulah yang justru harus proaktif mendatangi
dan menyesuaikan waktu dengan si saksi atau si ahli, yang terjadi sekarang ini justru
adalah pemaksaan kehendak. Pokoknya harus hadir jam sekian hari Sabtu misalnya,
di tempat ini. Pokoknya harus !! Kalau tidak awas !!
Dengan demikian,
keberadaan saksi dan ahli dalam proses peradilan pidana sangat dilematis dan
memedihkan. “Negara” hanya membebankan kewajiban tanpa dibarengi dengan
pengaturan hak yang jelas, padahal hak dan kewajiban merupakan dua hal seperti
dua sisi mata uang.
Setuju!!!
BalasHapus