Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 11 April 2012

PROBLEMATIK KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PERADILAN PIDANA




Oleh Dr. Zul Akrial, S.H., M. Hum.
(Penulis adalah dosen Hukum Pidana pada Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Merujuk pada ketentuan Pasal 1 butir 28 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan keterangan ahli adalah “keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Persoalan yang muncul sehubungan dengan rumusan ketentuan tersebut adalah: apa yang menjadi tolok ukur atau kriteria untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai atau memiliki “keahlian khusus” ?
Perlu ditegaskan, bahwa istilah “keahlian khusus” merupakan sebuah konsep yang sifatnya masih abstrak, sama halnya dengan istilah miskin, kaya, tinggi, rendah adalah merupakan istilah-istilah atau konsep yang bersifat abstrak. Ketika sebuah konsep yang bersifat abstrak itu akan diimplementasikan atau diaplikasikan dalam alam kenyataan, maka mau tidak mau harus dibuatkan tolok ukur atau baromater yang jelas dan terhindar dari multi tafsiran.
Misalnya ketika ada BLT (Bantuan Langsung Tunai) dari pemerintah yang akan diberikan pada orang miskin, sebelum BLT itu didistribusikan kepada masyarakat penerima, maka terlebih dahulu harus dibuatkan tolok ukur atau kriteria masyarakat miskin seperti apa yang akan mendapatkan BLT itu. Jika tidak didudukan kriterianya secara akurat dan jelas, penulis yakin dalam impelementasinya yang terjadi bukan ketertiban melainkan adalah kekacauan, malah mungkin yang akan terjadi bentrokan fisik. Demikian juga halnya dengan konsep ahli yaitu orang yang mempunyai “keahlian khusus”. Apa tolok ukur untuk dapat dikatakan seseorang itu mempunyai “keahlian khusus” ?
Penentuan tolok ukur terhadap konsep “keahlian khusus” adalah penting dalam rangka membantu aparat penegak hukum sekaligus untuk menghindari terjadinya peradilan yang error, baik kesalahan dalam subjek, objek maupun penerapan hukumnya dalam proses pemeriksaan dan peradilan pidana.
Satu hal yang jelas adalah, bahwa menurut hemat penulis istilah “keahlian khusus” yang dikehendaki oleh Pasal 1 butir 28 KUHAP tersebut, dalam hal ini selalu berkaitan dengan masalah kemampuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan terhadap suatu objek tertentu dalam rangka membantu proses peradilan pidana. Kemampuan ini bisa berdasarkan pada  lingkup pengalaman dan/atau pengetahuan. Istilah “pengalaman” biasanya dilekatkan pada dunia empiris, dan sebaliknya istilah “pengetahuan” lazimnya dilekatkan pada ranah teoretis; namun tidak menutup kemungkinan seseorang dapat saja dikatakan sebagai mempunyai “keahlian khusus” karena memang menyandang dua profesi sekaligus, yaitu sebagai teoritisi sekaligus juga sebagai praktisi. Persoalan lebih lanjutnya adalah, apa yang menjadi tolok ukur untuk dapat dikatakan bahwa seseorang itu mempunyai pengalaman dan/atau pengetahuan tentang sesuatu hal itu sehingga karenanya dapat dikatakan sebagai mempunyai “keahlian khusus”.
Di samping apa yang diuraikan di atas, masalah tolok ukur ini penting pula dalam kaitannya dengan rumusan ketentuan Pasal 224 KUHP yang menetapkan bahwa: “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya, diancam: 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan”.
Bertolak dari ketentuan di atas, dapat dikatakan bahwa memenuhi surat panggilan dari aparat penegak hukum tersebut merupakan sebuah kewajiban hukum dari seseorang yang dipanggil. Maka sebelum aparat penegak hukum melakukan pemanggilan terhadap seseorang, tentu secara yuridis normatif sudah tersedia format seperti apa ahli yang diperlukan dan yang dibutuhkan, karena konsekuensi dari seseorang yang tidak datang memenuhi panggilan, merupakan sebuah perbuatan pidana dan dapat dipidana. Maka oleh sebab itu, perlu ketegasan dan tolok ukur terhadap konsep “ahli”, sehingga tidak menjadikan seseorang itu sebagai tersangka manakala tidak memenuhi surat panggilan, sekaligus untuk menghindari kemungkinan terjadinya error in persona.
Hal lain yang juga tidak kalah penting untuk dikritisi sehubungan dengan ketentuan Pasal 224 KUHP adalah, bahwa aturan ini hanya membebankan kewajiban tanpa dibarengi dengan pengaturan hak bagi seseorang yang dipanggil baik sebagai ahli maupun sebagai saksi. Secara empiris, bagaimanapun juga seseorang yang dipanggil untuk menghadap, maka seseorang itu pasti akan mengorbankan waktu dan biaya untuk datang memenuhi panggilan tersebut. Memang di dalam Pasal 229 KUHAP diatur tentang hak bagi orang yang dipanggil, yang selengkapnya berbunyi: “(1) Saksi atau ahli yang telah hadir memenuhi panggilan dalam rangka memberikan keterangan di semua tingkat pemeriksaan, berhak mendapat penggantian biaya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pejabat yang melakukan pemanggilan wajib memberitahukan kepada saksi atau ahli tentang haknya sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1).”
Aturan di atas sangat wajar dan masuk akal, karena seseorang yang telah datang memenuhi panggilan bagaimanapun juga ia telah mengorbankan waktu dan biaya. Yang paling memedihkan adalah nasib seseorang yang dipanggil sebagai saksi, sepengetahuan penulis, mereka tidak mendapat penggantian biaya, belum lagi keselamatan jiwanya setelah memberikan keaksian, juga tidak mendapat perhatian negara negara.
Ahli yang diapnggilpun juga tidak ada jaminan akan mendapat penggantian biaya dari negara. Karena Pasal 229 KUHAP ini tidak dibarengi dengan peraturan pelaksana, sehingga menjadi Pasal banci, hanya ada diatur tapi tidak bisa dilaksanakan. Konsekuensinya adalah, aparat kepolisian seringkali menjadi kebingungan manakala pihak kejaksaan meminta kepada aparat kepolisian untuk mendatangkan seorang ahli, persoalannya dari mana sumber dana untuk membayarkan transportasi dan akomodasi bagi si ahli yang dipanggil itu. Dari sinilah mulai “kericuhan hukum” terjadi dalam pengertian pihak kepolisian lalu menggunakan strategi “pandai-pandai”.
Di satu pihak “negara” menginginkan seorang ahli yang mumpuni, berkualitas  dan disegani yang diharapkan dapat membantu aparatur penegak hukum dalam mengungkap suatu kasus, tapi di pihak lain tidak dibarengi dengan pengaturan honorarium yang pasti. Seolah-olah negara dalam hal ini menganut prinsip: “dengan modal yang sekecil-kecilnya dan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Bagaimana mungkin mendapatkan seorang ahli yang berkualitas dan mumpuni tanpa dibarengi dengan bayaran/honorarium yang memadai ?
Disinilah awal mula kemungkinan akan terjadinya petaka dalam proses peradilan pidana. Coba bayangkan, bagaimana jika terdakwa mampu membayar seorang ahli yang bergelar Prof. Dr., untuk hadir memberikan keterangan ahli di sidang pengadilan, sementara “negara” yang dalam hal ini diwakili oleh aparat penegak hukum, yaitu Jaksa Penuntut Umum, karena kekurangan atau “ketidakjelasan” sumber dana, hanya mampu menghadirkan seorang ahli yang level formalnya bergelar magister, dan bahkan dia mendapatkan gelar magister yang salah satu gurunya adalah Prof. Dr. itu tadi ? Jadi kesimpulannya adalah, “negara” dalam hal ini hanya mampu menghadirkan kualitas seorang ahli sebatas “murid”, sementara terdakwa mampu menghadirkan seorang ahli dengan level “guru” dari murid tersebut. Sehingga bagaimanapun juga, sedikit banyak, secara psikologis, majelis hakim tentu punya perbedaan perasaan hormat antara keterangan yang disampaikan oleh seorang “guru” dengan keterangan yang disampaikann oleh sang “murid” tadi, walaupun kedua-duanya sama-sama bernilai sebagai alat bukti keterangan ahli, tapi secara kualitas tentu punya perbedaan yang signifikan.
Kalau memang negara tidak punya dana untuk membayar honorarium seorang ahli atau saksi pada umumnya, menurut hemat penulis, sebaiknya pembebanan kewajiban hukum terhadap seorang ahli atau terhadap saksi itu, tidak lagi berbunyi “wajib datang menghadap......” melainkan ketentuan itu dirobah menjadi “setiap orang yang ditetapkan sebagai saksi atau ahli wajib menunggu kedatangan aparat hukum ............ “ . Sehingga yang datang menghadap bukan lagi saksi atau ahli, melainkan aparat penegak hukum yang berkepentingan itulah yang justru harus proaktif mendatangi dan menyesuaikan waktu dengan si saksi atau si ahli, yang terjadi sekarang ini justru adalah pemaksaan kehendak. Pokoknya harus hadir jam sekian hari Sabtu misalnya, di tempat ini. Pokoknya harus !! Kalau tidak awas !!
Dengan demikian, keberadaan saksi dan ahli dalam proses peradilan pidana sangat dilematis dan memedihkan. “Negara” hanya membebankan kewajiban tanpa dibarengi dengan pengaturan hak yang jelas, padahal hak dan kewajiban merupakan dua hal seperti dua sisi mata uang.

1 komentar:

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj