Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com
E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)
Polri merupakan aparatur pemerintah penegak hukum dan pembina kamtibmas. Dengan demikian, polri tidak hanya bertindak preventif dan represif, tetapi juga pre-emptive, yaitu harus bisa menghilangkan berbagai faktor korelatif kriminogen maupun viktimogen (faktor-faktor yang dapat menimbulkan kejahatan dan menimbulkan korban).
Dengan ruang lingkup tindakan pre-emptive ini, menjadikan tugas polri sebagai suatu tugas yang tanpa batas. Bahkan bukan saja tanpa batas, tetapi tugas polri terkesan sebagai keranjang sampah. Karena hampir setiap aktivitas dan kegiatan manusia dalam kehidupan bermasyarakat dapat mengarah dan berimplikasi kepada tugas polri.
Tugas polri yang paling banyak kita ketahui adalah melakukan penangkapan dan penahanan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak kejahatan. Padahal jika kita cermati tugas polri di bidang pre-emptive, sesungguhnya cukup luas dan mempunyai ruang lingkup yang tak terhingga. Mengutip tulisan Anton Tabah (1991:383), anda mungkin tertawa, mengapa polisi mendata babu (pembantu rumah tangga). Anda pun boleh tertawa, ketika melihat polisi ikut sibuk memberantas hama wereng. Anda pun heran, mengapa polisi Jawa Tengah beberapa waktu lalu, ikut dalam kegiatan pembasmian eceng gondok di Rawa Pening, Ambarawa. Bahkan mungkin anda tambah tak mengerti, mengapa polisi ikut sibuk ketika ada seekor kerbau menyelonong di jalan raya.
Di hati anda barangkali timbul pertanyaan, adakah pak polisi kurang kerjaan, lalu ikut ngurusin hal-hal sesepele itu ? Anton Tabah yang tulisannya saya kutip ini dan sekaligus sebagai seorang perwira polisi, memberi jawaban, anda keliru. Sebab apa yang dilakukan oleh polisi di atas adalah merupakan hal yang serius, tidak sesepele yang kita sangka. Dampaknyapun sangat luas. Dapat mempengaruhi gangguan kamtibmas.
Jika memang tugas polri, dalam tataran ideal, demikian luas dan merambah ke segala bidang kehidupan, maka adalah wajar jika dalam tataran praktek masih banyak "onak dan duri" yang belum tertangani. Di samping kendala personil juga terdapat hambatan di bidang perlengkapan.
Perbandingan jumlah personil polri dengan penduduk Indonesia adalah 1:1.200. Artinya, tiap-tiap satu orang polisi bertugas mengayomi 1.200 orang penduduk. Ini adalah rasio secara nasional. Saya tidak bisa bayangkan bagaimana kalau perbandingan itu dilihat per-polsek, boleh jadi angka perbandingan itu akan membengkak menjadi satu berbanding dua ribu lima ratus. Luar biasa. Ini adalah data secara kuantitas. Bagaimana pula kalau kita lihat secara kualitas, tentu akan sangat beragam dan mempunyai variasi yang berbeda-beda. Ada personil polisi yang hanya tamat SMP, SLTA dan sebagainya.
Dengan demikian, pelaksanaan tugas polri perlu dilakukan berdasar data yang valid sehingga dapat diprioritaskan mana yang sangat penting, penting, kurang penting dan tidak penting.
Bertolak dari uraian di atas dalam kaitannya dengan tugas polri di bidang pre-emptive, maka sorotan berikut ini akan saya arahkan pada persoalan razia yang dilakukan oleh polri.
Asumsi saya terhadap pandangan masyarakat adalah, bahwa setiap kali polisi menggelar tindakan razia, masyarakat hanya mengetahui bahwa tindakan razia itu lebih populer dan lebih banyak ditujukan hanya pada pemeriksaan surat-surat kendaraan (SIM dan STNK), perlengkapan kendaraan (lampu, kaca spion dan lain-lain), serta helm bagi pengendara kendaraan roda dua.
Bersamaan dengan pelaksanaan tindakan razia konvensional seperti diuraikan di atas, penulis mengajukan suatu gagasan, yaitu menambah objek yang harus dirazia, dan hal ini, menurut hemat penulis cukup signifikan dan urgen untuk dilakukan tindakan razia.
Dalam rangka mengemban tugas pre-emptive seperti diuraikan di atas, dari sudut kriminologis, polri berwenang melakukan tindakan-tindakan pencegahan terhadap sumber-sumber atau musabab yang secara potensial dapat menimbulkan kejahatan. Artinya, sebelum suatu kejahatan itu benar-benar terjadi, baru dalam bentuk gejala akan terjadinya kejahatan, maka polri sudah berwenang untuk melakukan serangkaian tindakan preventif, pencegahan. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir frekuensi terjadinya tindak kejahatan. Artinya, segala sebab atau faktor yang dapat mengarah kepada terjadinya kejahatan, semaksimal mungkin harus dicegah, agar kejahatan itu tidak sampai terjadi.
Priit Busana Bikini !
Sehubungan dengan apa yang diuraikan di atas, sejauh pengetahuan penulis, tidak ada satu peraturan perundang-undanganpun yang memberi kewenangan secara tegas kepada polisi untuk mempriit atas wanita yang berbusana bikini atau yang bercorak you can see. Padahal kalau kita mau jujur, keadaan wanita yang mengenakan busana seperti itu, sangat potensial sekali untuk menimbulkan kejahatan, khususnya kejahatan pemerkosaan atau pelecehan seksual.
Secara yuridis formal, wanita yang berbusana bikini itu, bukan merupakan suatu hal yang dilarang, akan tetapi hal itu secara potensial dapat menjadi sumber bagi terjadinya jenis kejahatan lain, yaitu perkosaan atau pelecehan seksual. Tidak patutkah untuk dicegah hal seperti itu ?
Tindakan Polantas memprit orang yang tidak memakai helm, semata-mata hanya demi keselamatan si pengendara itu sendiri. Tapi kalau polantas memprit seorang wanita yang mengenakan busana bikini atau sejenisnya itu, maka sesungguhnya tindakan pak polantas sudah menyelamatkan kedua belah pihak sekaligus. Yaitu pihak si wanita itu sendiri dan pihak anggota masyarakat pada umumnya dari kemungkinan pelampiasan nafsu birahi secara sewenang-wenang, sebagai akibat dari keadaan busana wanita yang ikut memancing "spaning".
Untuk mendukung pernyataan penulis di atas, berikut ini penulis mencoba mengedepankan suatu analogi dalam masalah lain. Bahwa sesungguhnya kemiskinan itu bukanlah sebagai suatu hal yang dilarang. Artinya, tidak ada satu Ayat Qur'an dan Hadist Nabipun, demikian juga halnya tidak ada satu peraturan perundang-undanganpun yang melarang orang untuk menjadi miskin, tapi pemerintah justru mencegah dengan berbagai bentuk program dalam rangka pengentasan kemiskinan. Mengapa ? Karena berdasarkan ilmu Kriminologi, salah satu bentuk implikasi dari kemiskinan itu dapat menjadi faktor penyebab terjadinya kejahatan, antara lain adalah kejahatan pencurian.
Kembali kepada soal pakaian bikini dan seksi. Apa sih tujuan seorang wanita berbusana yang bersifat you can see itu ? Adakah bertujuan untuk mempertinggi nilai seni ? Seperti buku/album De Syuga milik Dewi Soekarno yang pernah diperdebatkan belakangan ini, yang dalam album tersebut penuh dengan photo-photo porno dan telanjang miliknya. Ketika itu ia berkilah, bahwa album miliknya tersebut mempunyai nilai seni yang tinggi. Saya tercenung saat mendengar pernyataan polos itu. Apa betul, jika seorang wanita bertelanjang bulat lalu diekspos pada khalayak ramai, mempunyai nilai seni yang tinggi ? Bukankah itu namanya aib ? Bagaimana sebenarnya kita memberi koridor antara seni dan aib ?
Sekali lagi, bahwa berpakaian seksi bukan suatu hal yang dilarang oleh hukum negara, tapi sangat berpotensi untuk menimbulkan kejahatan (perkosaan). Maka oleh sebab itu, dalam rangka kewenangan pre-emptive, kepada polri diharapkan juga memprit wanita-wanita yang berbusana bikini, yang walaupun bukan untuk diajukan ke sidang pengadilan, tapi paling tidak dapat memberikan tegoran sebagai upaya untuk memperkecil penyebab bagi timbulnya kejahatan lain (kejahatan perkosaan). walaupun hanya sebatas tegoran, tapi pengaruhnya sangat besar sekali pada pribadi seseorang yang terkena prit, yaitu sepanjang wanita itu masih mempunyai perasaan malu.
Tindakan polri mempriit wanita itu mempunyai alasan pembenar, karena dilatarbelakangi oleh posisinya sebagai pejabat publik, sehingga kewenangannyapun juga bersifat publik.
Di samping kewenangannya yang bersifat publik, ada satu analogi yang menarik untuk kita renungkan. Pada suatu kesempatan, almarhum Prof. Dr. K.H. E.Z. Muttaqin pernah berkata, bahwa polisi dan ulama tak jauh berbeda. Keduanya mempunyai tugas yang sama, yakni sama-sama amar ma'ruf nahi munkar. Menyuruh orang berbuat baik dan mencegah orang berbuat jahat. Perbedaannya hanya terletak pada aturan "yuridis". Kalau pak polisi bisa memaksa orang lain supaya tidak berbuat jahat, sedangkan ulama tidak bisa memaksa. Kalau ulama melihat pelanggaran hukum yang terjadi cuma diperbolehkan berdo'a mudah-mudahan si pelanggar hukum tersebut sadar dan insyaf. Sedangkan polisi dilarang keras cuma berdo'a apabila ada pelanggaran hukum yang terjadi (Anton Tabah, 1991:83).

Tidak ada komentar:
Posting Komentar