Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Rabu, 01 April 2009

ANTARA POLISI, PELAKU DAN “PENONTON” KEJAHATAN




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Saat ini kita memasuki era globalisasi yang ditandai dengan kemajuan teknologi, bidang transportasi dan telekomunikasi yang telah berkembang dengan begitu cepat. Di bidang telekomunikasi, misalnya telah memungkinkan penyelenggaraan komunikasi yang lebih luas dari pada hanya sekedar suara dan tulisan. Bahkan telah dapat pula dinikmati gambar, foto, dokumen, data atau pket data dengan peralatan seperti pesawat telepon, teleks/faksimile, telephoto, telewriter dan komunikasi antar komputer.
Ini semua membawa konsekuensi-konsekuensi yang sangat dahsyat terhadap nilai-nilai yang semula dianut oleh masyarakat suatu bangsa. Sehingga pengaruh budaya luar itu, baik positif maupun negatif terhadap berbagai aspek kehidupan keseharian menjadi tidak terbendung lagi. Kemajuan ini telah menjadikan dunia seolah tanpa batas (borderless world).
Ada yang menarik, jika mencermati kejahatan yang akhir-akhir ini kembali meruyak, terutama jenis kejahatan berupa penjarahan harta milik orang lain dengan mempergunakan senjata api, clurit dan senjata tajam lainnya, yang disertai dengan tindakan penganiayaan terhadap korbannya. Terdapat pula suatu kecenderungan, dimana kejahatan itu justru dilakukan di depan khalayak ramai. Kemajuan teknologi komunikasi seperti diuraikan di atas, agaknya bisa diasumsikan mempunyai korelasi terhadap timbulnya corak kejahatan tersebut.
Sekarang ini, kejahatan terhadap harta benda, terutama di kota-kota besar, sepertinya tidak lagi bersifat konvensional dalam arti secara sembunyi-sumbunyi, melainkan telah dilakukan secara terang-terangan di siang hari bolong dan di tengah masyarakat ramai. Yang justru menarik untuk dicermati bukannya pelaku kejahatan, melainkan adalah reaksi “penonton” (warga masyarakat yang kebetulan hadir/berada di TKP saat berlangsungnya kejadian), yang justru hanya diam dan bungkam seribu bahasa alias cuek.

Masyarakat yang cuek

Gejala apakah gerangan yang sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat kita ? Bukankah katanya masyarakat Indonesia itu bersifat gotong royong dan saling membantu ? Dan bukankah juga masyarakat Indonesia itu tidak bersifat individualistis, yang hanya mementingkan diri sendiri, seperti yang selama ini ditudingkan pada masyarakat Barat ? Atau mungkin semua itu hanya sebuah mitos belaka tanpa makna dalam realitas ?[1]
Dari keadaan atau sikap “penonton” yang demikian itu, paling tidak terdapat tiga hal yang menjadi latar belakangnya, dan sekaligus memberikan indikasi adanya pergeseran nilai sebagai akibat dari arus globalisasi yang memang mustahil untuk dibendung dengan sarana fisik.
Pertama, dari segi psikologis, adanya perasaan takut jika mencoba memberikan bantuan (termasuk teriakan). Dengan asumsi, akan menjadi bumerang jika pertolongan diberikan, dimana penjahat akan beralih posisi menggasak dirinya. Maka dari itu, orang kemudian berprinsip lebih baik tidak menghiraukan daripada terkena sasaran. Dan kalau perlu mengambil posisi menjauh seraya menghindar dari kemungkinan terjadinya bentrokan (fisik).
Kedua, dari sudut ekonomis. Realitas kehidupan memberikan gambaran bahwa saat ini agaknya sudah semakin sulit bagi kita untuk mendapatkan orang-orang yang bekerja (memberikan bantuan/pertolongan pada sesama) tanpa pamrih. Bantuan yang diberikan seringkali dan kebanyakan mengharapkan keuntungan-keuntungan tertentu yang sifatnya lebih pada tekanan materi.
Lihat saja, misalnya dalam kasus kecelakaan lalu lintas, para warga yang berada di TKP (tempat kejadian perkara) di saat kejadian itu, pada umumnya enggan untuk bertindak sebagai saksi, kalau tidak karena dipaksa oleh ketentuan perundang-undangan yang berlaku, seperti tercantum dalam Pasal 216 KUHP, “Bahwa seseorang yang ditunjuk sebagai saksi, wajib datang jika dipanggil, dengan ancaman pidana penjara empat tahun dua minggu atau denda paling banyak enam ratus rupiah bila ia tidak memenuhi panggilan”, tentulah saksi tersebut tidak akan datang.
Jika dipandang dari sudut kepentingan ekonomi, maka dengan memenuhi panggilan sebagai saksi, tentu saja pekerjaan sehari-harinya, suka atau tidak suka, harus ditinggalkan untuk sementara waktu. Konsekuensinya adalah, apabila ia misalnya membuka usaha warung kelontong, maka sekian rupiah yang seharusnya menjadi keuntungannya pada hari itu, lalu menjadi hilang. Maka lebih baik menghindar dari pada direpotkan menjadi saksi.
Ketiga, dari sudut pembagian tugas. Sebagai sebuah ilustrasi yaitu kasus Kitty Genovase yang terjadi di Amerika Serikat. Ketika ia hendak diperkosa tepat di depan pintu gerbang pagar rumahnya, warga tetangga yang bersebelahan dengan rumahnya, justru hanya menatap kejadian tersebut dari balik terali dan tirai jendela, tanpa sedikitpun berusaha memberikan bantuan, misalnya dengan berteriak untuk menghalau si pemerkosa.
Sikap seperti ini agaknya memang bukan suatu hal yang aneh untuk ukuran masyarakat yang berpahamkan individualistis. Karena mereka berpendapat masalah kejahatan adalah merupakan persoalan penegak hukum (polisi). Dan untuk itu mereka telah membayar pajak yang salah satu realisasinya adalah untuk menggaji polisi tersebut.
Kalau hal ini yang menjadi faktor bungkamnya “penonton” terhadap kejahatan yang terjadi, maka tentu saja keadaan akan semakin fatal dan runyam, karena rasio antara polisi dengan jumlah penduduk Indonesia secara nasional adalah 1 : 1.200. artinya, bahwa tiap-tiap satu orang polisi akan mengayomi seribu dua ratus orang penduduk, Sedangkan rasio ideal menurut badan dunia PBB adalah 1: 400. Maka kondisi di Indonesia masih sangat jauh untuk dapat mencapai keadaan yang ideal tersebut. Hal ini baru dilihat dari sudut kuantitas, tapi jika dilihat dari segi kualitas (dalam arti kemampuan) antar personel polisi, tentu saja keadaannya akan sangat beragam.
Berdasarkan apa yang diuraikan di atas, apalagi ditambah dengan faktor geografis yang berjauhan, maka adalah sangat mustahil polisi akan dapat memberikan bantuan dalam waktu yang cepat (dan seketika) terhadap korban kejahatan. Terutama di pelosok-pelosok yang sulit dijangkau, dimana jarak antara kantor polisi dengan daerah-daerah yang menjadi tanggung jawabnya saling berjauhan. Hal itu ditambah lagi dengan masih belum memadainya sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat kepolisian.

Ramai = sepi

Itu semua memberikan gambaran, telah semakin tipisnya perasaan sosial antar sesama. Ketakutan warga tidak lagi terbatas pada penjahat. Bahkan sudah tercipta ketakutan semua terhadap orang yang tidak dikenalnya. Sehingga percuma memberikan pertolongan kalau akhirnya diri sendiri yang akan menjadi korban. Maka saling mencurigai antar sesama akan menjadi suatu fenomena tersendiri sebagai akibat dari semakin tipisnya rasa toleransi dan solidaritas diantara warga tersebut.
Ketakutan terhadap para penjahat tidak lagi terbatas pada lokasi-lokasi yang sunyi dan sepi yang nota bene korban kesulitan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain. Sekarang ini, karamaian bukan lagi kendala bagi penjahat untuk melakukan aksinya, apalagi di tempat yang sunyi, korban akan menjadi bulan-bulanan penjahat.
Sehingga, tempat-tempat yang sepi dan atau ramai menjadi sama saja, alias tidak berbeda. Korban harus mampu secara sendirian mencari kiat dalam menghadapi penjahat antara menyerah atau melawan, antara mati konyol meladeni celurit/senjata api atau merelakan segepok uang demi mempertahankan nyawa.
Sudah sepesimis itukah harapan untuk mendapatkan bantuan dari orang lain dalam menghadapi aksi kejahatan ? Satu hal agaknya masih bisa diharapkan adanya suatu bentuk spontanitas dari warga masyarakat, tapi secara yuridis, mereka akan dihadapkan pada tuduhan melakukan “tindakan main hakim sendiri”. Sementara itu, ukuran untuk menentukan Pasal 49 ayat (1) KUHP (noodweer) sebagai alasan pembenar bagi orang yang telah membantu atau menolong korban kejahatan dalam menghadapi suatu kejahatan, belum terdapat pandangan yang seragam, dan Ini masih harus dibuktikan dalam praktek penegakan hukum pidana di lapangan.
Maka dengan demikian, rasa aman, saat ini menjadi semakin mahal dan langka. Ketidakamanan bukan lagi monopoli rumah-rumah penduduk yang jauh dari keramaian. Tapi justru daerah-daerah, seperti terminal bus, stasiun kereta api atau tempat-tempat hiburan yang banyak dikunjungi orang yang seharusnya sebagai tempat minta bantuan, tapi malah tidak mempunyai arti apa-apa, mereka-mereka itu tidak lebih hanya sekedar penonton yang setia, yang hanya menyaksikan korban bergulat dengan pelaku kejahatan, tanpa memberikan bantuan.
Sehingga dengan semakin individualistis sifat warga, akan memberikan peluang semakin merajalelanya penjahat dalam melakukan aksinya. Konsekuensinya adalah bahwa rasa aman lalu menjadi komoditas yang harus dibayar dengan harga mahal. Siapa yang mampu membayar “preman” sebagai pendamping perjalanan, maka ia akan aman. Maka warga yang serba tanggung inilah yang akhirnya akan menanggung beban dari kebuasan penjahat.


[1] Baca lebih lanjut, Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1994 !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj