Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXan0aS

Selasa, 17 Februari 2009

Mobil Dinas dan Tindak Pidana Korupsi




Oleh Zul Akrial
(Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum dan Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru)
(http://zulakrial.blogspot.com E-mail: zul_akrial@yahoo.co.id)

Penyelengaraan suatu negara, di negara manapun di dunia ini, dilakukan oleh suatu lembaga yang bernama lembaga pemerintahan. Sebagai suatu kelembagaan, maka roda pemerintahan dijalankan oleh manusia yang diberi nama dengan aparatur pemerintah. Aparatur pemerintah inilah yang membuat dan sekaligus mewujudkan segala kebijakan yang ada. Dalam kaitannya dengan Negara Republik Indonesia, aparatur pemerintah ini diberi kedudukan sebagai abdi negara, abdi bangsa dan abdi rakyat. Dalam tataran normatif, abdi rakyat artinya adalah, bahwa seluruh aparatur pemerintah bertugas melayani kepentingan rakyat; ia mengabdi untuk kepentingan rakyat.
Secara singkat, bahwa yang disebut dengan aparatur pemerintah itu adalah mereka-mereka yang berposisi sebagai pegawai negeri, baik sipil maupun TNI. Dalam pengertian sempit, yang dikatakan dengan pemerintah itu adalah apa yang sering diistilahkan dengan lembaga eksekutif. Sedangkan dalam pengertiannya yang luas, di samping eksekutif meliputi pula lembaga legislatif dan yudikatif. Namun dalam pengertian sehari-hari, yang dikatakan pemerintah itu adalah dalam pengertiannya yang sempit, yaitu Presiden, para menteri, Gubernur dan jajarannya ke bawah; Bupati camat dan seterusnya.
Dalam rangka penyelenggaraan tugasnya melayani kepentingan masyarakat, aparatur pemerintah ini, sesuai dengan kebutuhan, diberi berbagai fasilitas, seperti rumah dinas, mobil dinas, biaya perjalanan dinas, dan lain-lain. Semua fasilitas ini semata-mata diberikan adalah dalam rangka percepatan pelayanan kepada warga masyarakat, sehingga segala kepentingan masyarakat dapat dicover secara lebih maksimal dan produktif. Dari sejumlah fasilitas tersebut, maka yang menarik untuk dikedepankan adalah menyangkut fasilitas mobil dinas. Latar belakang pemikiran untuk mengedepankan diskursus ini adalah berkaitan dengan masalah mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban yang tidak jelas. Disamping itu, juga tidak terdapat kejelasan tentang ukuran dan kriteria pengadaan mobil dinas untuk masing-masing pejabat.

Penggunaan Mobil Dinas Dalam Praktek

Pengadaan sarana mobil dinas pada prinsipnya, seperti diuraikan di atas, adalah dibutuhkan untuk kepentingan pelayanan terhadap publik (warga masyarakat). Namun ternyata dalam tataran praktek, pengadaannya bukan ditentukan oleh kebutuhan publik, tapi justru lebih pada alasan gengsi pribadi sang pejabat, terutama untuk pejabat pada level pusat dan provinsi. Yang paling memenuhi kebutuhan publik barangkali adalah mobil dinas pengangkut sampah. Tapi untuk yang lain, apakah memang publik membutuhkan, misalnya para Menteri dan Gubernurnya menggunakan mobil dinas yang mewah berharga ratusan juta rupiah ? Dimana letak kepentingan publik pada mobil dinas dengan harga selangit itu ? Kalau sudah begini, untuk dan demi kepentingan siapakah sebenarnya fasilitas mobil dinas itu diadakan: masih dapatkah dikatakan untuk kepentingan pelayanan terhadap rakyat (publik) ? Tidak. Penulis bisa memastikan, publik level manapun yang akan ditanya, tidak akan memberikan persetujuan terhadap pengadaan mobil dinas seperti itu. Oleh karena kekuasaan untuk mengadakan mobil dinas tersebut tidak berada di tangan publik tapi pada pejabat publik, maka pengadaannyapun menjadi tergantung pada selera dan gengsi sang pejabat; bukan tergantung pada kepentingan publik.
Namun sebelum memberikan analisis lebih lanjut, sebaiknya perlu dikemukakan secara tajam perbedaan antara mobil pribadi dengan mobil dinas. Bagaimana sesungguhnya perbedaan antara mobil dinas dengan mobil pribadi itu ? Pertanyaan ini muncul dikarenakan dalam praktek pengunaan kedua jenis mobil tersebut hampir sama, tiada berbeda. Untuk menjawab pertanyaan ini, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Jika dilihat dari sudut pandang warna plat, maka mobil pribadi mempunyai dua macam warna plat yaitu, plat hitam dan plat kuning. Plat hitam digunakan untuk kepentingan pribadi, dan plat kuning digunakan untuk kepentingan bisnis atau komersial. Sedangkan mobil dinas mempunyai tiga macam warna plat, tergantung dari instansi mana mobil dinas itu berasal. Jika mobil itu berasal dari instansi pemerintah, platnya adalah berwarna merah. Sedangkan Polri dan TNI mempunyai warna plat yang lain pula.
Di lihat dari sisi sumber keuangan untuk pengadaannya, mobil pribadi dibeli dengan menggunakan uang pribadi. Sedangkan mobil dinas dibeli dengan menggunakan uang negara atau uangnya rakyat. Mobil pribadi, karena dibeli dengan uang pribadi, maka adalah wajar jika digunakan sesuka hati oleh pemiliknya, kapan dan kemanapun juga ia suka. Bisa di bawa ke kebun, untuk rekreasi keluarga; di bawa pada siang hari, tengah malam mapun pada waktu subuh.
Berlainan dengan mobil pribadi, oleh karena mobil dinas dibeli dengan menggunakan duit negara, maka adalah wajar jika penggunaannyapun harus disesuaikan pula dengan kebutuhan dan kepentingan negara. Pemanfaatan mobil dinas tidak dapat disamakan dengan mobil milik pribadi yang dapat digunakan sesuka hati, kemana dan kapapun.
Apa yang dapat kita katakan dengan mobil dinas yang bersileweran di jalan raya ? Apa dan siapa yang dapat menjamin bahwa mobil dinas itu betul-betul digunakan untuk kepentingan dinas ? Adakah lembaga yang mengawasi dan diberi wewenang untuk “menjewer” terhadap pemanfataan mobil dinas yang digunakan tidak untuk dinas ? Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan pengawasan itu sesungguhnya ? Sejauhmana pengertian dinas, sehingga penggunaan fasilitas mobil dinas itu masih dalam batas toleransi ? Apakah jika anak si pejabat yang menggunakan mobil dinas bapaknya itu, untuk berpacaran misalnya, masih dalam batas kedinasan bapaknya ? Semua ini menghendaki transparansi. Sebab, konsep mobil dinas berlainan dengan mobil pribadi yang dapat digunakan oleh siapa saja dan kemanapun ia suka.
Penulis belum pernah mendengar tindakan yang diambil karena terbukti bahwa sang pejabat telah menggunakan mobil dinas yang menyimpang dari tujuan kedinasannya. Jika memang betul asumsi ini, bukankah ini berarti telah terjadi pembalikan makna pelayanan dan pengabdian ? Bukankah ini artinya rakyatlah yang justru melayani aparatur pemerintah, yakni dengan membayar harga mobil dinasnya itu sendiri plus biaya BBM atau biaya penggantian onderdil yang telah aus, demi kenyamanan dan kebahagiaan sang pejabat beserta keluarganya.
Dalam kehidupan keseharian, sesungguhnya penyimpangan terhadap penggunaan mobil dinas ini dapat disaksikan secara vulgar dan dengan mata telanjang. Konsekuensinya adalah, bahwa kita semakin sulit membedakan antara mana yang pejabat dan mana pula yang penjahat.

Tindak Pidana Korupsi

Adakah hubungan antara penggunaan mobil dinas dengan tindak pidana korupsi ? Penulis hanya sekedar mengingatkan aparat penyidik tindak pidana korupsi, yaitu Jaksa, bahwa penyimpangan terhadap penggunaan fasilitas mobil dinas adalah merupakan suatu bentuk kejahatan bukan hanya sekedar sebuah pelanggar ringan, tapi adalah sebuah kejahatan berat. Penyalahgunaan mobil dinas yang digunakan oleh siapa saja yang bukan bertujuan untuk dinas adalah termasuk dalam kategori tindak pidana korupsi (Kejahatan).
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menetapkan, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama dua puluh tahun dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak satu miliar rupiah.
Unsur dari Pasal 3 ini secara singkat dapat diuraikan sebagai berikut: setiap pejabat yang dengan tujuan menguntungkan orang lain (anaknya), menyalahgunakan sarana (mobil dinas) yang ada padanya karena jabatan, yang dapat merugikan keuangan negara.
Inti dari tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian negara. Dalam kaitannya dengan penyalahgunaan mobil dinas ini, dimanakah letak kerugian negara itu ? Secara logika, bahwa mobil yang digunakan oleh satu orang akan lebih hemat pemakaiannya dibandingkan dengan digunakan oleh banyak orang. Paling tidak, kehematan itu adalah dari ausnya ban dan keroposnya mesin. Jika mobil dinas itu digunakan oleh banyak orang, bukankah ban-nya akan cepat aus. Biaya penggantian ban yang aus ini adalah ditanggung oleh negara. Dari sudut logika ini, maka sesungguhnya setiap orang yang menggunakan mobil dinas yang tidak bertujuan untuk dinas sesungguhnya orang tersebut telah melakukan tindak pidana korupsi (kejahatan).
Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa adalah tidak mungkin seorang petani, pedagang, mahasiswa ataupun karyawan swasta mendapat sarana mobil dinas dalam pengertian di atas. Mobil dinas hanya diberikan kepada pegawai negeri karena jabatannya yang memerlukan sarana mobil dinas untuk tujuan efektifitas dan efesiensi pelayanan terhadap publik, bukan untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Jaksa Harus Pro-Aktif
Saya belum pernah mendengar adanya sikap pro-aktif dari pihak kejaksaan untuk menyeret kasus penggunaan mobil dinas yang digunakan secara tidak sah ini. Padahal, untuk membuktikannya begitu mudah dan terjadi setiap hari di depan kepala mata kita semua, termasuk di depan mata para aparat penegak hukum. Sehingga kejahatan korupsi jenis ini, ternyata telah terjadi proses pembiaran yang lama dan hampir tidak ada yang peduli.
Kalau penggunaan atau pemanfaatan mobil dinas ini identik dan sama dengan mobil pribadi, maka sesungguhnya tidak perlu ada tindak pidana korupsi. Sebab, konsep tindak pidana korupsi baru diperkenalkan ketika telah terjadi pemisahan secara tegas antara kekayaan publik dengan kekayaan pribadi.
Dulu, ketika Indonesia masih dikuasai oleh raja-raja, istilah tindak pidana korupsi belum dikenal. Sebab, antara harta kekayaan kerajaan dengan harta kekayaan milik sang raja tidak ada pemisahan yang jelas dan tegas, keduanya menyatu. Tapi sekarang, pemisahan itu secara hukum telah ditetapkan secara tegas dan jelas. Apalagi berkaitan dengan masalah mobil dinas ini. Mobil dinas bukan milik pribadi, melainkan adalah masuk dalam kategori harta kekayaan milik negara atau publik. Salah satu tanda yang membedakannya, dimana masyarakat luas juga mengetahui yaitu dari warna plat yang dipergunakan.
Celakanya, si anak yang menggunakan mobil dinas sang bapak yang jelas-jelas berplat merah itu, seperti layaknya menggunakan mobil milik pribadi, tanpa merasa bersalah dan berdosa. Padahal sesungguhnya, berdasarkan Pasal 3 di atas, si anak secara tidak disadari telah menggunakan harta kekayaan rakyat secara tidak sah. Bukankah terlalu naif, apabila menantu, anak, kemenakan, dan seluruh anggota keluarga dari seorang pejabat terlibat dalam pemakaian mobil dinas yang sebenarnya bukanlah haknya untuk memanfaatkan mobil tersebut. Tapi anehnya, baik aparat hukum (kejaksaan) maupun rakyat (sebagai pemilik mobil dinas tersebut) bungkam seribu bahasa. Mengapa ini bisa terjadi ? Akibat ketidaktahuan ataukah memang adanya sikap toleran ?
Penggunaan mobil dinas secara tidak sah, kelihatannya merupakan masalah spele, tapi kalau dikaji secara mendalam dan objektif, dan dibiarkan terus merajalela, maka sesungguhnya akan membawa dampak kerugian besar yang harus dipikul oleh rakyat. Kalau mobil dinas itu hanya berjumlah hitungan jari, mungkin tidak ada persoalan, tapi jika jumlahnya membengkak sampai ratusan atau bahkan ribuan unit ? Rakyatlah yang pada akhirnya akan memikul beban terhadap segala biaya operasional pemakaian mobil dinas itu.
Anehnya, dan ini seringkali terjadi pada level daerah Provinsi, Kota dan Kabupaten, dimana mantan pejabat, walaupun sudah disurati supaya mengembalikan mobil dinas yang ada ditangannya, namun secara terang-terangan bertahan untuk tetap menggunakan mobil dinas yang sebenarnya sudah berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatannya. Menghadapi sikap mantan pejabat yang membandel seperti ini, menurut hemat penulis, bukan lagi berada dalam lingkup tindakan administratif, melainkan sudah memasuki wilayah kewenangan jaksa, karena sudah merupakan suatu bentuk kejahatan/tindak pidana, yaitu tindak pidana korupsi. Dengan demikian, ada atau tidaknya laporan, seharusnya aparat kejaksaan proaktif melakukan pengusutan terhadap mantan pejabat yang tetap membandel menggunakan “harta kekayaan negara” secara tidak sah.
Menurut hemat penulis, sikap mantan pejabat seperti diuraikan di atas jauh labih jahat dibandingkan dengan penyalahgunaan mobil dinas oleh si anak pejabat untuk kepentingan berpacaran misalnya, walaupun substansinya sama yaitu sama-sama merugikan keuangan negara karena menggunakan harta negara secara tidak sah. Namun sekali lagi, mengapa masyarakat lebih memilih bungkam terhadap gejala ini dan aparatur hukum kurang bergairah untuk melakukan pengusutan ?
Sebagaimana halnya dengan tindak pidana korupsi pada umumnya, bahwa memang korban dari tindak pidana jenis ini tidak jelas dan abstrak. Atas dasar inilah mungkin masyarakat tidak melakukan reaksi, diam seribu bahasa, karena memang merasa tidak menjadi korban dari penyalahgunaan mobil dinas. Makna korban dalam pemahaman masyarakat awam lebih pada pengertian korban yang konvensional yaitu, kongkrit dan kerugian yang ditimbulkan bisa dikalkulasikan. Padahal korban dari tindak pidana korupsi sesungguhnya jauh lebih dahsyat dan merugikan jika dibandingkan dengan korban dalam pengertian konvensional, seperti korban pembunuhan, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya.

Merazia Mobil Dinas
Penulis juga belum pernah mendengar, aparat kepolisian melakukan tindakan razia terhadap penyimpangan penggunaan mobil dinas. Untuk mengetahui penggunaan mobil dinas ini secara tidak sah, barangkali aparat kepolisian dapat menggelar razia pada waktu sore atau malam hari, sebab pada waktu ini, pada umumnya bukanlah waktu dinas.
Oleh sebab itu, agar tidak terjadi penyalahgunaan yang terlalu lama terhadap tindakan penggunaan mobil dinas ini, maka sudah saatnya, secara bertahap, mulai dari tindakan preventif dalam rangka shock therapy, yaitu berupa tindakan razia, yang pada tahap awal cukup dengan hanya memberikan tegoran atau peringatan, “bahwa mobil yang saudara bawa ini adalah mobil dinas, bukan mobil untuk kepentingan pribadi”, sampai dengan tindakan represif yaitu dengan menerapkan ketentuan Pasal 3, seperti diuraikan di atas.
Sehingga penulis berpandangan, adalah tepat kasus penyalahagunaan mobil dinas ini dijadikan sebagai bentuk kejahatan yang termasuk dalam ruang lingkup tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, sudah saatnya aparatur hukum di negeri ini memulai beraksi untuk mengcover kasus ini, sekaligus dalam rangka menghapus budaya “aji mumpung”. Semoga !

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/07/cara-memasang-widget-sosial-bookmark.html#ixzz2DmXp3iTj